Dasar laki-laki tidak peka. Jauh-jauh kau dari hidupku. Aku kuat. Aku yakin aku kuat.
Tuhan memberiku banyak ujian. Ya aku yakin ini ujian, aku sudah ikut kelas Tuhan sedemikian banyak. Sebisa mungkin aku hadir di setiap kelas-Nya. Sampai saat ini Tuhan kira aku kuat. Aku masih berjibaku dengan perjuanganku.
Baiklah Tuhan, aku kuat, aku yakin aku kuat. Tak akan ada tangis. Jika Bram juga bukan untukku, silakan saja. Aku bisa sendiri. Aku terbiasa sendiri.
Penghuni dunia mentertawakan kesedihanku. Segera kuambil air wudhu. Kuikhlaskan segalanya.
Sajadah terhampar dengan mukena cantik berwarna pastel. Setangkai bunga dan selembar kertas berbunyi "Jika kau izinkan aku untuk jadi imammu, tunggu aku."
Bau Bram menyengat hebat, tangisku pecah.
"Terlalu rindukah aku hingga kamu selalu hadir disetiap penolakanku?"
"Aku sudah wudhu, aku siap jadi imammu."
Ya Tuhan rupanya Bram tidak pergi.
Mataku tak dapat lagi berbohong. Semoga Bram mampu membaca harap yang kutitipkan pada tatapanku.
Harmonika aku tiup, aku sudah terlalu jauh melangkah.