Kuambil minumannya, namun enggan aku minum.
Aku takut, jika tak ada bayangan di dalam ampas tersebut atau ternyata yang tampak bukanlah Bram.
Bram lagi, Bram lagi. Harus bagaimana aku melupakannya, jika dalam segala cara yang sudah aku tempuh malah membuat aku semakin jatuh cinta padanya.
Persetan dengan peringatan untuk tidak melangkah terlalu jauh, aku memang tak mau kembali. Untuk apa aku kembali jika dengan kembali hanya akan membuat hidupku makin tidak karuan.
"Nona, Nona manis."
"Tak ada pelayan seperti yang tadi, namun suaranya sangat aku kenal."
"Bangun, apa perlu aku kecup agar putri cantikku kembali menjelma menjadi sosok penuh cinta?"
Bram tepat di depanku. Seingatku aku sudah kunci pintu kamarku, lalu bagaimana caranya Bram bisa masuk ke kamarku?
"Kamu lelap sekali tidurnya, memang semalam tidur jam berapa sih?. Pasti kamu tidak shubuh. Mandi sana kita dzuhur bareng yuk!"
"Sebentar, ngapain kamu di sini. Ganggu mimpi orang saja. Pulang sana!"
Bram beranjak dari tempat tidurku dan dia benar-benar meninggalkan aku. Aku tak percaya dengan pemandangan ini. Tapi baiklah. Pergilah kau Bram, aku tak perlu kamu. Aku tak perlu pendamping, aku tak perlu laki-laki. Karena buatku sama saja, semua laki-laki yang diciptakan di sekelilingku, tugasnya hanya untuk menyakiti aku, membuatku menangis, rapuh, lemah dan tidak berdaya.
Bagus jika kamu pergi Bram, setidaknya aku tidak akan buang waktuku untuk menunggumu di setiap pagi dan setiap hari.