Meli cengo. Awal dia bertemu Nyai kagetnya bukan main, pingin digampar ini pelanggan. Maen was wes wos aja itu mulut . Bukan apa-apa, Meli Cuma takut salah catat lantas Nyai protes. Modelan kaya Nyai biasanya kalo protes se RT turun semua. Berisiknya bukan main cing.
Sekarang begini aja deh, mana ada cerita Es Kopi ga pake es, ya pasti pake es lah. Lalu mana ada Tahu Garam ga pake garam, kan mubazir aja pesannya . Bisa kali pesannya begini,
"Mel pesan Es Kopi No Sugar dan Tahu Pedas" lebih sederhana kan? Kuping Meli juga ga sia-sia dengerinnya.Â
Itulah Nyai, yang Ko Aseng selalu ingat. Maka ketika Nyai datang ke kedai dengan menenteng Mac dan Novel Saman lalu di selipan jari cerutu lengkap dengan pemantiknya, Ko Aseng yakin Nyai sedang tidak baik-baik saja.Â
Tidak ada tas kosmetik, tidak ada dompet juga tak ada tas yang dia gendong. Artinya Nyai berangkat dari rumah hanya untuk menuju kedai saja, berlama-lama membaca Novel yang semakin buluk, karena Ko Aseng sudah terlalu sering melihat Saman di tangan Nyai dan berulang kali Nyai Khatam soal Saman ini lantas setelah itu Nyai akan menulis kisah yang dia lihat agar bisa membuat Saman versi Nyai , begitu menurut Nyai tempo hari.Â
Cangkir ketiga dan singkong goreng kedua, dalam ribuan detik rindu yang semakin terpendam hanya bisa Nyai nikmati melalui segelas Tubruk Mandailing.
Dia yang mengenalkan kopi untuk Nyai, dia yang membuat Nyai ingin belajar banyak tentang kopi, dia pula akhirnya Nyai bisa membedakan berbagai macam rasa kopi. Sebelumnya Nyai hanya minum kopi sekenanya, asal mulut absen di pagi hari dan asal perut bisa bersih karena konon kopi dapat melarutkan lemak di perut.Â
Dengan dia, Nyai menemukan banyak hal.Â
Ko Aseng menarik kursi, duduk tepat di depan Nyai.
"Kalau dengannya hanya membuatmu berubah,sebaiknya tinggalkan!" Ko Aseng asal jeplak.
"Apaan sih Kooooh, lagi cari inspirasi ini. Novel ga kelar-kelar"
"Alah, modus. So jadi penulis handal, muka berantakan begitu. Kamu ga bisa boong"Â