Mohon tunggu...
Christianus Hadi Winjaya
Christianus Hadi Winjaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengaduk kopi

Suka senyum-senyum sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petuah Sakti Berujung Refleksi

1 Juli 2019   01:18 Diperbarui: 1 Juli 2019   01:26 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumen Pribadi Fr. Firminus Marianto, CM

Segera aku terima secangkir kopi dari tangan kanannya. Tanpa sabar aku seruput cairan hitam pekat bertemperatur tinggi itu. Seketika rasa pahit bercampur asam berlari-lari di dalam indera pengecapku. "Pasti ini jenis kopi arabika," asumsiku petang itu.

Setelah mencicipi kopi darinya, aku pun balas menimpali seruannya, "Mantap Frater, terima kasih, pas sekali." Aku biasa memanggilnya frater lantaran ia masih menempuh pendidikan sebagai seorang calon pemuka agama Katolik.

Ia pun turut duduk di sebelah kananku. Tak lupa untuk mendampingi secangkir kopi hitam miliknya, sebungkus rokok ia keluarkan dari dalam saku celananya. Ia ambil sebatang, lalu dibakar dengan korek apinya.

Lelaki yang mengaku memiliki paras seperti bule ini cukup menikmati tiap isapan dari ujung batang rokoknya. "Kita santai dulu sambil menunggu teman-teman yang lain datang," ucapnya sambil mengeluarkan asap putih dari dalam mulut dan lubang hidungnya. Kepalaku hanya mengangguk memberikan isyarat setuju dengan ucapannya.

Setelah kami menunggu dengan menghabiskan berbatang-batang rokok, akhirnya satu demi satu teman-teman muda datang. Total ada sembilan belas orang yang hendak bepergian, itu sudah termasuk dengan kami berdua, salah seorang pastor, dan trio ibu rumah tangga.

Rombongan kami pun terbagi menjadi dua. Sebagian besar berangkat naik mobil, sisanya berboncengan dengan sepeda motor. Butuh waktu tempuh sekitar 20-30 menit dari tempat kami berkumpul untuk bisa tiba di tujuan.

Kala itu aku berboncengan dengan Frater Rinto (26), begitulah nama kecil biarawan muda ini. Lelaki yang lahir seminggu lebih awal dari waktu kelahiranku ini pun menyalakan kuda besi berwarna biru yang akan kami tunggangi.

Aku duduk di jok belakang, sedangkan si Frater bertindak sebagai pengemudi. Dia mulai memuntir gas dan secara bersamaan melepas kopling di tangan kirinya dengan perlahan. Bersama dengan rombongan sepeda motor yang lain, kami pun meluncur menuju lokasi.

Jalanan cukup ramai malam itu, namun lalu lintas masih terlihat lancar. Kondisi ini disebabkan karena sebagian besar warga dari kota besar yang tampaknya masih menikmati momen lebaran di kota kecil ini. Kampung halamannya.

Dalam perjalanan bersama rombongan, kami berdua memutuskan untuk mengendarai sepeda motor di urutan paling belakang. Alasannya agar kami bisa mengawasi rekan-rekan lain yang berada di deretan depan. Namun alasan tersebut hanya alasan sekunder, alasan utama sesungguhnya ialah kami berdua tidak mengetahui arah dan tujuan menuju lokasi.

Selama dalam perjalanan hawa dingin terus sibuk menembus jaket tebal yang melekat pada tubuhku. Namun saat aku coba beradaptasi dengan hawa dingin, lelaki di depanku tampak tenang-tenang saja. Padahal ia tak mengenakan baju hangat atau semacamnya. "Mungkin ia sudah terbiasa," dugaanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun