"Lantas, nama asli Kakak siapa?" tanya Deni, mewakili rasa penasaran teman-temannya.
"Ooo...kalau soal itu, rahasia," jawab Jomblo tangkas. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
"Yeee...curang, main rahasia-rahasiaan."
Jomblo tertawa melihat mimik muka mereka yang kecewa. "Ah, ngomongin soal lain saja, yuk? Kalian di sini apakah semuanya sudah tidak berayah-ibu?"
"Tidak semua, Kak," jawab Deni. "Beberapa dari kami ada yang masih memiliki ayah atau ibu, tapi semua dari kami sama-sama berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi sehingga ayah atau ibu kami menitipkan kami di sini supaya tetap bisa bersekolah."
"Apakah pihak panti menetapkan syarat tertentu yang harus dipenuhi sehingga kalian bisa diterima di sini? Misalnya seperti prestasi di sekolah?"
"Ya, betul. Harus dapat nilai rapor yang bagus. Lalu perilaku, juga kedisiplinan. Ada hukuman bagi yang melanggar atau tidak memenuhi syarat."
"Dipecat dari panti?"
"Ya, tapi itu untuk pelanggaran yang sangat berat. Jarang ada yang sampai dipecat karena kami semua sadar bahwa tanpa panti ini hidup kami akan suram."
Jomblo mengangguk-angguk. Dia kagum anak sekecil itu telah mengerti untuk tahu diri dan bersyukur. Dia melihat ke sekeliling. Tak ada suasana sedih atau muram, semua nampak gembira. Kadang orang melihat anak-anak yatim piatu sebagai makhluk-makhluk malang yang perlu dikasihani.Â
Orang-orang seperti ini sering mengulurkan bantuan atas dasar rasa kasihan kepada makhluk-makhluk yang, menurut mereka, kurang beruntung dibandingkan diri mereka. Dari tampak luar tidak ada yang salah dengan sikap seperti itu. Bukankah wajar kita memberi bantuan karena merasa trenyuh, jatuh iba kepada orang yang memerlukan bantuan?