Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Usul Usil dari Buddhis untuk Para Buddhis

2 September 2022   16:52 Diperbarui: 2 September 2022   17:03 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila usul usil ini secara ajaib disepakati dan bim sala bim terwujud, saya yakin tidak akan ada lagi cerita siswa penganut Buddha yang cengar-cengir tidak pernah ikut pelajaran Agama Buddha tapi yakin lulus ujian mapel Agama Buddha karena soal yang diujikan selalu sama dari tahun ke tahun. 

Juga tak ada lagi kerepotan pihak sekolah atau instansi terkait mengupaya guru pembimbing mapel Buddha hanya untuk mengajari seorang siswa, atau siswa Buddha yang harus pergi ke sekolah lain setelah selesai jam pelajaran hanya supaya bisa mengikuti pelajaran agama Buddha bersama siswa-siswa lain. 

Atau guru mapel Agama Buddha yang bekerja 6 hari seminggu dengan berkeliling mengajar dari satu sekolah ke sekolah lainnya, yang pada hari minggu beliau terpaksa tidak bisa turut Ayah pergi ke kota naik delman istimewa...eh, yang pada hari minggu beliau masih harus mengajar pula di sekolah minggu di wihara setempat....kasihan, kan?

2. Penganut Buddha di Indonesia adalah kelompok yang minoritas dalam jumlah, tetapi yang pada satu bagian tertentu punya perilaku mirip dengan kelompok mayoritas: senang dan bersemangat membangun tempat ibadah di mana-mana. 

Bagi penganut ajaran lain yang jumlahnya lebih mayoritas, hal-hal demikian mungkin tidak menjadi masalah karena jumlah umatnya banyak dan ajarannya juga berbeda dalam hal penekanan praktik tertentu sehingga keberadaan tempat ibadah menjadi lebih relevan,

Sejauh yang saya ketahui dan yakini, di Buddhisme kita tidak mementingkan bentuk-bentuk luar seperti ritual kebaktian. Konon, di negara-negara Buddhis seperti Thailand dan Myanmar tidak ada kebaktian tiap hari minggu seperti di Indonesia.

Lalu, apa berarti ritual tidak penting? Kebaktian tiap minggu mau diusul-usilkan dihapus juga? Suka main hapus-hapusan saja nih orang, ya?

Ya, tidak begitu juga, sih, hehehehe.....

Ritual, pada tataran latihan tertentu, masih diperlukan. Kebaktian tiap minggu oke-oke saja, kok. Banyak juga manfaatnya kalau kebaktian dijalankan dengan baik dan benar. Bisa bersosialisasi sesama warga Buddhis, mendengarkan Dhamma, makan siang gratis atau ikut mendonorkan darah selesai kebaktian.

Tapi jika kondisi yang digambarkan oleh hasil riset organisasi pelajar Buddhis dan cerita dari seorang bhikkhu pada ceramah Dhamma-nya itu masih eksis hingga kini, keberadaan wihara-wihara yang berlebihan dan kekurangan umat hingga terbengkalai, dan sampai harus "mnengundang" umat daerah lain untuk berkunjung, bukankah itu suatu kesia-siaan dan kemubaziran yang bahkan oleh Buddha sendiri, saya yakin, akan dicela-Nya?

Jadi, usul usil saya begini: Para Buddhis, bagaimana kalau kita mengupayakan suatu gerakan nasional untuk memetakan keberadaan wihara-wihara (dalam hal ini saya ciutkan ke tradisi Theravada saja dulu, karena di tradisi inilah saya berada) di Indonesia berbanding dengan para umat pengisi wihara-wihara itu? Wihara-wihara yang sudah lama tidak aktif dan terbengkalai bisa kita tutup, aset-asetnya dijual dan dananya dipakai untuk membangun sekolah Buddhis atau wihara di daerah lain yang umatnya berlimpah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun