Dengan fakta ini, dapat dipahami mengapa pihak sekolah atau instansi terkait lainnya menjadi kesulitan menyediakan guru pembimbing mapel Agama Buddha di sekolah sepertri itu, tidak "ekonomis".Â
Muridnya langka, gurunya juga langka karena umatnya sendiri langka. Daripada memaksakan menyediakan guru pembimbing, menurut saya lebih baik kita Buddhis mengupayakan agar mapel Agama Buddha dihapuskan saja dari kurikulum nasional.Â
Sebagai gantinya, siswa beragama Buddha di seluruh Indonesia mengikuti mapel Budi Pekerti atau yang semacam itu, yang intinya mapel yang mengajarkan etika dan kebajikan universal tanpa bau-bau agama.Â
Dengan begini, siswa beragama Buddha tetap mendapatkan pelajaran tentang kebajikan dan etika serta moralitas universal yang pasti tidak bertentangan dengan nilai-nilai Buddhistik.
Lalu bagaimana generasi penerus Buddhis bisa memupuk saddha dan mengembangkan kebijaksanaannya jika tidak ada bimbingan dalam pariyatti Buddha Sasana?
Kita bisa atasi hal ini dengan mengupayakan suatu kanal online khusus yang dibuat mudah diakses, murah bahkan gratis dan menarik, yang bermaterikan video-video pariyatti Dhamma serta aninasi-animasi dan tanya jawab interaktif realtime. Dan langkah ini ditunjang juga dengan upaya dari wihara-wihara yang menggiatkan kegiatan pelatihan Agama Buddha secara berkala bagi semua kalangan.
Lalu bagaimana nasib masa depan para sarjana Agama Buddha yang dihasilkan oleh STAB seluruh Indonesia, apa mereka dibiarkan nganggur? Ya tidaklah. Masa depan sebenarnya tanggungjawab sendiri-sendiri, pihak luar seperti komunitas dan pemerintah hanya menyediakan sarana penunjangnya saja. Â
Para sarjana yang sudah terlanjur berprofesi guru Agama Buddha dan terancam nganggur gara-gara usul orang usil tadi (yang mengusulkan menghapus mapel Agama Buddha.Â
Kurang ajar, ya, nih orang? Ckckckck....) bisa diarahkan untuk menjadi pembina sekolah minggu di wihara-wihara, menjadi pandita plus Dhammaduta profesional sebagai pelayan umat dalam hal-hal yang bersifat ritualistik dan formalitas serta administrasi kependudukan (yang mana hal-hal demikian tidaklah mungkin atau pantas dilakukan oleh seorang bhikkhu/ni).Â
Atau bagi mereka yang bercita-cita lebih tinggi, para mantan guru mapel Agama Buddha itu bisa diarahkan untuk menjadi calon bhikkhu/ni dan lanjut menjadi bhikkhu/ni.Â
Selanjutkan STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) dirancang sebagai tempat pembekalan bagi calon bhikkhu atau pandita profesional Buddhis, jadi bukan lagi dengan tujuan mencetak guru-guru mapel Agama Buddha. Â Â