Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ke Manakah Burung Pipit Itu Pergi?

7 Juli 2022   18:38 Diperbarui: 7 Juli 2022   18:43 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu aku baru bangun tadi pagi, tiba-tiba ada suara yang bergema seperti suara genta kecil memanggilku. "Papa, papa, lihat sini!" Dengan sedikit malas karena masih mengantuk, kuhampiri Una si genta kecil itu. Kutemui sesosok gadis kecil usia lima tahun yang manis, yang rambutnya panjang seperti sutera. "Ada apa, Una manis?" aku menyapanya lembut.

"Lihat Pa, apa yang Una temukan di halaman kita."

"Apa sih?"

"Itu Pa, di atas pohon itu ada seekor burung kecil. Una tidak tahu itu burung apa, tapi ia sepertinya jinak sekali."

Sambil berkata begitu telunjuknya menunjuk ke sebuah pohon. Aku coba mengarahkan mataku ke pohon yang ditunjuk Una, dan memang benar ada seekor burung kecil di sana. Sama seperti putriku, aku juga tidak dapat mengenali jenis burung itu.

"Mungkin itu burung pipit, sayang," kataku coba menebak.

"Burung pipit ya, Pa? Makanannya apa sih?"

"Entahlah, Papa tidak tahu, Una. Tapi kamu bisa coba berikan remahan rotimu padanya."

Karuna, putriku itu, segera mengambil remahan rotinya dan meletakkannya di telapak tangannya. Dengan suaranya yang bening seperti suara genta kecil,  ia coba memanggil-manggil si  burung pipit. "Burung pipit, kemarilah. Ada remahan roti untukmu di sini." Dan benar saja, burung itu memang tampak jinak. Dengan tangkas ia segera terbang menghampiri putriku, lalu mematuk-matuk remahan roti yang ada ditangannya. "Papa, burung ini senang sekali dengan roti yang Una berikan." Aku tersenyum melihat binar matanya, dan berkata, "Ya Una sayang, tapi sekarang hari sudah mulai siang nih. Ayo kita masuk ke dalam. Bukankah kamu harus pergi ke sekolah? Dan Papa pun harus pergi kerja."

Kami lalu bergandengan tangan masuk ke dalam rumah, tempat ratuku sudah menunggu kami.

Seorang anak seringkali mengejutkan orangtuanya. Kadang kita sebagai orangtua dikejutkan oleh tingkah laku mereka yang tak terduga, tetapi lebih sering kita dikejutkan oleh pertanyaan-pertanyaan mereka yang bahkan kita orang dewasa pun belum tentu bisa atau berani menjawabnya.

Terutama sekarang ini, di masa globalisasi dan teknologi informatika sedang berkuasa, ketika kehidupan kita dibanjiri oleh informasi dari segala penjuru dunia tanpa dapat kita cegah. Internet, televisi, dan segala macam media cetak datang mengetuk pintu rumah kita, memaparkan pada kita peristiwa-peristiwa yang terjadi detik ini di suatu tempat di sebuah negara yang mungkin tak kita ketahui bahwa tempat atau negara itu memang ada. Luar biasa!

Dalam situasi seperti itu, coba bayangkan bagaimana kalau anak kita yang sudah dapat membaca itu bertanya tentang apa itu ejakulasi, pemerkosaan, masturbasi, atau apa itu keperawanan sebab ia baru saja habis membaca rubrik konsultasi seks di koran langganan orangtuanya? Atau, bagaimana kita sebagai orangtua menjelaskan tentang kematian pada anak kita yang menanyakan hal itu, karena ia baru saja menonton di tv tentang bom bunuh diri yang menewaskan orang-orang Israel dan Palestina? Betapa repotnya menjadi orangtua di masa kini, bukan?  

Seperti yang terjadi hari ini, ketika putri kecil itu bertanya padaku. "Papa, kalau kita mati, kemanakah kita akan pergi?" Dalam keterkejutanku, aku cepat berpura-pura bersikap tenang, seolah-olah pertanyaannya itu pertanyaan biasa saja. "Memangnya ada apa, Una?" aku coba mencari tahu.

"Una sedih Pa, burung pipit itu tidak pernah datang lagi."

"Lalu?" aku masih coba mengorek lebih dalam.

"Ya, Pa. Una kira burung itu sudah mati sekarang." Kulihat mata putriku mulai berkaca-kaca. Aku tahu ia sedih karena mengira burung pipit sahabatnya itu sudah mati. Tetapi bagaimanapun, lega hatiku mendengar penjelasannya. Ternyata lagi-lagi ini soal si burung pipit. Baiklah, aku bergumam pada diriku sendiri. Akan kuberi putriku jawaban terbaik yang dapat kuusahakan untuknya.  

Maka, sambil memeluk dan meraihnya ke dalam pangkuanku, aku berkata padanya, "Una, kamu bertanya tentang kematian. Itu pertanyaan yang sulit bahkan untuk Papa," aku mencoba jujur pada putriku. "Tentang kemana kita akan pergi waktu kita mati, itu tergantung pada perbuatan kita sendiri." "Perbuatan apa, Pa?"

"Perbuatan baik atau buruk. Kalau kita sering berbuat baik, pada waktu mati kita akan pergi ke surga. Kalau kita sering berbuat jahat, kita akan pergi ke neraka." "Surga itu seperti apa, Pa?"

"Mmmm," aku berpikir sejenak sebelum menjawab. Bagaimana cara menjelaskan surga yang begitu abstrak pada anak berusia lima tahun? Tolong, ada yang bisa membantuku?

Rasanya waktu berjalan begitu lambat ketika akhirnya aku memutuskan untuk menjawab pertanyaan terakhir putriku itu. Baru saja aku ingin mengucapkan kata pertama, tiba-tiba dari arah jalan raya terdengar suara musik yang khas sekali, suara musik yang sangat disukai oleh anak-anak."Horee, ada tukang es krim. Papa, kita beli es krim yuk." Suara si putri kecil sudah berubah jadi riang  kembali. Aku lega, karena ia tak sedih lagi. "Baiklah tuan putri."  Lalu kugandeng tanganya menuju halaman depan rumah kami.

Sejenak tampaknya damai hadir di bumi, tetapi perkiraanku meleset. Sebab, sambil menjilati es krimnya, si putri kecil bertanya lagi,"Papa, apakah di surga ada es krim?" "Tentu ada, sayang," aku cepat-cepat menyahut.

"Ada coklat, ada boneka, ada kolam renang juga?"

"Tentu, tentu, mengapa tidak?" aku mengangguk-angguk mengiyakan. Mata putriku berbinar ceria mendengar jawabanku. Kutatap binar matanya, lalu aku berkata,"Una sayang, suatu saat nanti, jika kebijaksanaanmu sudah makin bertambah, kau akan mengerti juga akhirnya tentang hidup dan kehidupan ini. Tentang pertemuan dan perpisahan, tentang cinta dan kematian. Tentang surga dan neraka, dan tentang jalan untuk meraih kebahagiaan tertinggi yang diimpikan oleh semua makhluk. Kau akan belajar semua itu secara bertahap, putriku." Ia nampak asyik dengan es krimnya, dan tak begitu peduli dengan semua omonganku. Barangkali ia tak mengerti, tapi tak apalah. Yang penting sekarang aku setidaknya sudah berhasil lulus dari sebuah ujian sulit yang terkadang membuat setiap orangtua merasa terjebak.

Lalu kugandeng tangannya masuk ke rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun