Terutama sekarang ini, di masa globalisasi dan teknologi informatika sedang berkuasa, ketika kehidupan kita dibanjiri oleh informasi dari segala penjuru dunia tanpa dapat kita cegah. Internet, televisi, dan segala macam media cetak datang mengetuk pintu rumah kita, memaparkan pada kita peristiwa-peristiwa yang terjadi detik ini di suatu tempat di sebuah negara yang mungkin tak kita ketahui bahwa tempat atau negara itu memang ada. Luar biasa!
Dalam situasi seperti itu, coba bayangkan bagaimana kalau anak kita yang sudah dapat membaca itu bertanya tentang apa itu ejakulasi, pemerkosaan, masturbasi, atau apa itu keperawanan sebab ia baru saja habis membaca rubrik konsultasi seks di koran langganan orangtuanya? Atau, bagaimana kita sebagai orangtua menjelaskan tentang kematian pada anak kita yang menanyakan hal itu, karena ia baru saja menonton di tv tentang bom bunuh diri yang menewaskan orang-orang Israel dan Palestina? Betapa repotnya menjadi orangtua di masa kini, bukan? Â
Seperti yang terjadi hari ini, ketika putri kecil itu bertanya padaku. "Papa, kalau kita mati, kemanakah kita akan pergi?" Dalam keterkejutanku, aku cepat berpura-pura bersikap tenang, seolah-olah pertanyaannya itu pertanyaan biasa saja. "Memangnya ada apa, Una?" aku coba mencari tahu.
"Una sedih Pa, burung pipit itu tidak pernah datang lagi."
"Lalu?" aku masih coba mengorek lebih dalam.
"Ya, Pa. Una kira burung itu sudah mati sekarang." Kulihat mata putriku mulai berkaca-kaca. Aku tahu ia sedih karena mengira burung pipit sahabatnya itu sudah mati. Tetapi bagaimanapun, lega hatiku mendengar penjelasannya. Ternyata lagi-lagi ini soal si burung pipit. Baiklah, aku bergumam pada diriku sendiri. Akan kuberi putriku jawaban terbaik yang dapat kuusahakan untuknya. Â
Maka, sambil memeluk dan meraihnya ke dalam pangkuanku, aku berkata padanya, "Una, kamu bertanya tentang kematian. Itu pertanyaan yang sulit bahkan untuk Papa," aku mencoba jujur pada putriku. "Tentang kemana kita akan pergi waktu kita mati, itu tergantung pada perbuatan kita sendiri." "Perbuatan apa, Pa?"
"Perbuatan baik atau buruk. Kalau kita sering berbuat baik, pada waktu mati kita akan pergi ke surga. Kalau kita sering berbuat jahat, kita akan pergi ke neraka." "Surga itu seperti apa, Pa?"
"Mmmm," aku berpikir sejenak sebelum menjawab. Bagaimana cara menjelaskan surga yang begitu abstrak pada anak berusia lima tahun? Tolong, ada yang bisa membantuku?
Rasanya waktu berjalan begitu lambat ketika akhirnya aku memutuskan untuk menjawab pertanyaan terakhir putriku itu. Baru saja aku ingin mengucapkan kata pertama, tiba-tiba dari arah jalan raya terdengar suara musik yang khas sekali, suara musik yang sangat disukai oleh anak-anak."Horee, ada tukang es krim. Papa, kita beli es krim yuk." Suara si putri kecil sudah berubah jadi riang  kembali. Aku lega, karena ia tak sedih lagi. "Baiklah tuan putri."  Lalu kugandeng tanganya menuju halaman depan rumah kami.
Sejenak tampaknya damai hadir di bumi, tetapi perkiraanku meleset. Sebab, sambil menjilati es krimnya, si putri kecil bertanya lagi,"Papa, apakah di surga ada es krim?" "Tentu ada, sayang," aku cepat-cepat menyahut.