Mohon tunggu...
Christie Stephanie Kalangie
Christie Stephanie Kalangie Mohon Tunggu... Akuntan - Through write, I speak.

Berdarah Manado-Ambon, Lahir di Kota Makassar, Merantau ke Pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berawal dari Rumah

29 Oktober 2020   20:31 Diperbarui: 5 November 2020   06:44 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi. Source Photo: ou.org 

"Apa yang terpancar dari wajahmu melalui apa yang kamu kenakan setiap hari, apa yang kamu kerjakan dengan kedua tanganmu dan kemana pun kedua kakimu melangkah, kata-kata apa yang keluar dari mulutmu, dan apapun yang dilihat orang darimu, adalah apa yang kamu dapatkan dan kamu terima dari rumahmu, dari lingkungan keluargamu." 

Ya, itu adalah sepenggal kalimat dari keluarga saya, yang selalu saya ingat dan jadikan pedoman di tengah kerasnya perjalanan hidup dewasa ini. 

Saya berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari hari ke hari, berusaha menjadi orang yang baik kepada siapa pun, tutur kata yang baik, juga selalu menerapkan pentingnya sopan santun dimana pun, kapan pun dan terhadap siapa pun. 

Sebagai manusia biasa, terkadang saya menginginkan hal yang baik itu juga terjadi kepada saya. Ketika saya sudah berusaha melakukan yang terbaik di dalam setiap aspek kehidupan, saya pun sedikit-banyak berharap menerima perlakuan yang baik juga. 

Tapi tak jarang, saya malah menerima yang buruk dari orang lain. Entahlah, apakah kesabaran saya sedang diuji, memang kehidupan manusia dewasa se-tidak adil ini, ataukah memang saya sedang diajar untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi terhadap apapun selain tetap berbuat baik saja. 

Tidak ingin menyinggung siapa pun, hanya ingin berbagi cerita. Kisah ini bermula saat saya masih bekerja di perusahaan lama. 

Setelah lulus masa probation, saya pun mengerjakan pekerjaan saya seperti karyawan biasa, berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tepat pada waktunya. 

Tanpa saya sadari, ada orang yang menguntit. Tentu saja orang tersebut bukan staff seperti saya. Beliau memiliki jabatan yang tinggi dan juga kabarnya telah memiliki keluarga. 

Di divisi lain, ada atasan yang cenderung marah tanpa sebab, senang mencari kesalahan dan kekurangan orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Senang mengorek kehidupan pribadi bawahannya lalu dijadikan senjata untuk menyerang mereka suatu waktu. 

Kami sebagai bawahan pun merasa risih, tapi harus tetap bekerja secara professional dengan dalih, "Ya, kami tetap disini secara professional karena kami masih butuh uang dan kami sadar akan posisi kami." 

Tapi ternyata, hal ini tidak baik untuk terus dibiarkan. Secara pribadi, saya semakin merasa terganggu. Tentu saja saya sangat sedih dan stres. Rasanya, tempat ini sudah tidak aman bagi saya. 

Kedua, saat memiliki atasan yang hanya bisa marah tanpa menunjukkan kinerjanya yang baik untuk bawahannya. Lagi, saya merasa tidak ada tempat untuk saya berlindung disini. 

Untuk orang yang memiliki sikap 'bodo amat' di dalam hidup terhadap sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya, mereka akan dengan sangat mudah menghakimi saya karena terlalu berlebihan dalam menyikapi suatu hal. 

Tapi, bagi orang seperti saya yang sangat pemikir, hal ini tentu saja sangat menggangu. Berita buruknya, hal-hal semacam ini pun membuat saya sempat jatuh sakit selama berhari-hari. 

Hal yang saya takutkan adalah bahwa saya terserang virus, tapi ternyata setelah melakukan berbagai macam check-up, tak ada satu pun virus yang menyebabkan saya sakit selama berhari-hari. Kata dokter, "Saya juga bingung ada apa dengan kamu, apa mungkin kamu kurang bahagia? Kamu ada masalah di tempat kerja?" 

Pernyataan dan pertanyaan dari dokter lalu membuat saya tersentak. Setibanya di kamar, saya lalu menangis sejadi-jadinya dan menyadari beberapa hal. 

Pertama, hidup ini memang tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Hidup ini akan jauh lebih indah karena adanya masalah. Bayangkan jika tidak ada masalah di kehidupan, pastinya tidak seru karena terlalu monoton. Apa yang membuat hidup ini seru karena adanya masalah dan jalan keluar yang semesta berikan untuk kita lalui. 

Kedua, meski saya berusaha baik, berusaha menyenangkan semua orang, tapi ada hal yang saya harus sadari, bahwa ekspektasi saya tidak boleh terlalu tinggi untuk menerima kembali hal-hal baik yang telah saya berikan kepada individu lainnya. 

Tetap berbuat baik, itu perlu dan harus. Wajib hukumnya. Tapi untuk berharap menerima kebaikan yang sama dari orang lain, sebaiknya jangan. Biarkan Tuhan saja yang membalas perbuatan kita menurut pandangan-Nya. Lalu, jika suatu saat kita menerima perlakuan yang buruk dari orang lain, terima dan jalani saja, kembali pada poin pertama bahwa masalah itu membuat hidup menjadi semakin seru. 

Ketiga, pahami bahwa semua orang bisa jadi bos/atasan, tapi tidak semua orang bisa memiliki jiwa pemimpin. Ya, semua orang tentu bisa berusaha dengan segala cara untuk berada di posisi atas, untuk menjadi bos. 

Karena tentu saja, saat kamu menjadi bos/atasan, kamu punya kekuasaan itu, kamu punya hak untuk melakukan apa saja seturut dengan kehendakmu. Tapi, apakah dengan begitu kamu bisa dikatakan pemimpin yang baik? Karena pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengajar, mengayomi, dan menjadi teladan bagi siapa pun, terutama bagi bawahannya. 

Tapi, sekali lagi, inilah hidup, terlalu beragam, dan sepertinya hidup memang akan lebih seru dan ada tantangan dengan adanya orang-orang seperti demikian. 

Setelah saya menangis sejadi-jadinya dan memiliki banyak waktu untuk bertenang diri di rumah, secara keseluruhan saya kembali mengingat bahwa ada satu hal penting yang membuat mereka seperti ini. 

Rumor yang beredar, bahwa mereka ternyata adalah dua manusia yang datang dari latar keluarga yang kurang lengkap dan kurang harmonis. 

Setelah diusut lebih jauh, ia dan pasangannya sibuk dengan masing-masing pekerjaan mereka. Tidak ada waktu komunikasi antara kedua belah pihak. Akhirnya, sang suami pun berusaha mencari 'kebahagiaan lain' di tempat kerja, tempat dimana ia seharusnya bekerja dan memimpin dengan baik. 

Untuk atasan yang sering marah tanpa alasan yang jelas dan mencari tahu kehidupan pribadi orang lain, ternyata ia pernah disakiti oleh pasangannya, sehingga di umurnya yang telah lansia ini, ia memilih untuk sendiri. 

Dengan kata lain, ia sangat trauma dan kesepian. Di tengah trauma dan kesepiannya, ia juga tampak bingung untuk melampiaskan perasaan dan emosinya kepada siapa, sehingga kami yang berada di tempat kerjalah yang menjadi sasaran empuk. 

Saya tidak tahu betul apa yang terjadi dengan masa lalu atasan saya dan pria yang pernah ia cintai. Tapi, jika ia pernah disakiti, bukankah hampir semua orang dewasa pernah merasakan yang namanya disakiti? 

Disini, yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita melawan rasa sakit itu dan berkeinginan untuk maju dan bangkit, tidak terpuruk dan berlarut dalam masalah. Karena kenyataannya, truma yang ia alami berdampak negatif serta merugikan orang banyak, kan? 

Selain itu, penting untuk memiliki pengendalian diri. Tak mengapa jika kamu memilih sendiri untuk kehidupan selanjutnya, tapi alangkah baiknya jika kamu tidak membiarkan emosi yang tidak stabil dibawa dan dilempar ke kantor untuk para bawahan yang sebenarnya tidak tahu apa yang sedang dialami oleh dirimu dan oleh hatimu. 

Setelah saya berusaha memahami posisi mereka di rumah, saya tidak lagi mengasihani diri saya sendiri karena masalah di kantor. Saya pun merasa iba akibat apa yang menimpa kedua atasan saya dan membagi rasa kasihan itu kepada mereka juga. 

Iba dengan cara apa? Saya tentu harus tetap bersikap wajar dan bijak. Di hadapan mereka saya terus berusaha professional dalam pekerjaan, namun di belakang mereka saya berusaha mendoakan yang terbaik untuk keluarga masing-masing mereka.  

Intinya, akar segala yang terjadi bermula dari hati, dari diri sendiri, dari lingkungan keluarga, dari rumah. Karena apa yang kamu berikan bagi orang banyak untuk mereka lihat dari dirimu, adalah apa yang juga akan mereka nilai dari isi rumahmu, dari keluargamu. 

Semua memang berasal dari rumah, dan rumah yang saya maksud disini adalah hati. Jika hatimu baik, tulus dan bersih, maka tindakanmu pun akan mengikuti. Semua memang berawal dari hatimu, dari rumahmu. 

Pada akhirnya, setiap umat manusia pasti punya masalahnya masing-masing dengan berbagai macam cerita. Tapi semua kembali lagi dari bagaimana cara kita menyikapi, dan tentunya kembali lagi dari ajaran apa yang kita biarkan masuk dan tertanam di hati dan pikiran kita sehingga kita mampu melewati semuanya dengan baik, atau malah sebaliknya. 

Jakarta, 2020.
Christie Stephanie Kalangie. 

Artikel ini juga telah tayang di Secangkir Kopi Bersama. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun