Mohon tunggu...
Christie Stephanie Kalangie
Christie Stephanie Kalangie Mohon Tunggu... Akuntan - Through write, I speak.

Berdarah Manado-Ambon, Lahir di Kota Makassar, Merantau ke Pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Jadi, Standar Kekayaan Itu Seperti Apa?

29 Agustus 2020   21:15 Diperbarui: 30 Agustus 2020   20:29 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah dunia yang serba materialistis dewasa ini, banyak manusia yang menjalani hidup layaknya robot. Setiap hari terpenjara dengan rutinitas pekerjaan yang seakan tiada henti demi mencapai satu tujuan; kekayaan. 

Benda ini dan itu disanjung dan diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Cara mencarinya tidak penting lagi, yang penting harus mendapatkannya. 

Banyak yang lupa bahwa hidup ini ternyata tidak selamanya. Banyak yang lupa bahwa hidup ini bukan hanya sekedar mengumpulkan pundi-pundi kekayaan saja. Banyak yang lupa bahwa hidup ini tidak hanya tentang materi semata. 

Namun tak bisa disangka juga, karena semua ini terjadi akibat pikiran manusia yang sudah tertutup oleh nafsu duniawi yang tak pernah puas dengan apa yang dimiliki. 

Saat belum punya kendaraan pribadi, ingin punya motor. Saat sudah punya motor, ingin punya mobil. Saat sudah punya 1 mobil, ingin 2 mobil, dan begitu seterusnya, tak ada habisnya. 

Kali ini, penulis mendapat kesempatan untuk berbincang serta bertukar pikiran dengan orang-orang mengenai pendapat mereka secara luas tentang uang, harta atau kekayaan, juga proses dalam mencapai kekayaan versi dirinya. 

Berusaha keras menampilkan yang baik-baik saja di hadapan semua orang, padahal di dalam sana aku selalu menangis sendiri. - Karin, 27 tahun 

"Bekerja disalah satu perusahaan internasional dengan jabatan yang tinggi serta gaji 2 digit, juga didukung dengan lingkungan yang berkelas, membuat aku merasa sedang berada di atas awan. Bagaimana tidak, gaya hidup seperti ini yang diinginkan para pekerja di Ibukota.

Jabatan yang tinggi di usia muda membuat aku bisa datang dan pulang sesuka hati, akhir pekan selalu dihabiskan dengan hura-hura, memiliki tempat tinggal yang sangat nyaman dengan harga yang fantastis dan memiliki kendaraan pribadi yang sebenarnya hanya untuk 'pride'. 

Semua yang aku miliki hingga saat ini adalah hasil kerja kerasku sejak aku memulai berkarir setelah lulus kuliah. Sayangnya, semua kekayaan ini tidak diimbangi dengan pengertian dari keluarga, terutama si Mama. 

Sejak Papa meninggal, Mama memilih menikah dengan pria yang baru saja ia kenal. Namun nahas, ia kemudian ditinggal oleh pria tersebut dalam keadaan berbadan dua.

Tak berhenti sampai disitu, Mama mengulangi hal bodoh tersebut dengan ketiga pria lainnya. Hingga aku dewasa, gaya hidup Mama yang seperti ini membuatku terus merasa muak, namun di sisi lain ia tetap orang tuaku, ibu kandungku. 

Dengan kata lain, aku bekerja keras demi memenuhi gaya hidup Mama dengan pria-pria tidak jelas itu. Belum lagi, aku harus membiayai pendidikan adik tiri serta usaha kakak dan iparku yang tidak menetap. Rasanya, gaji 2 digit yang begitu diinginkan semua orang dariku ini tak pernah cukup, aku selalu merasa kurang. 

Tak hanya itu saja, pacarku yang diawal aku anggap bisa membantuku dari segi ekonomi, ternyata tidak bisa diandalkan. Mungkin terlalu jauh jika membahas ekonomi bersama pacarku ini, tapi aku rasa, ia pun terlalu cupu untuk berhubungan serius denganku.

Bayangkan saja, kami telah berpacaran selama hampir 5 tahun, namun ia terkesan terlalu lambat untuk mengajakku ke jenjang yang lebih serius. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sehingga mengabaikanku, mengabaikan kesiapanku untuk berumah tangga. Entah hubungan macam apa yang sedang aku pertahankan ini. 

Aku lelah menjalani hidup yang seperti ini. Aku lelah dianggap sebagai pengganti Ayah di rumah dalam urusan keuangan. Aku lelah bekerja dengan kepura-puraan saja demi mendapatkan perhatian dari teman-temanku bahwa aku sekaya dan semampu ini. Aku lelah dengan hubungan percintaanku. Aku sangat lelah dengan semuanya. 

Sisi lain kehidupan yang buruk ini tidak mungkin aku tunjukkan di hadapan teman kantor dan teman sepermainanku. Aku memaksakan diri untuk terlihat kuat walau sebenarnya aku sangat rapuh. Aku bekerja keras sehingga mendapatkan uang yang banyak demi kekayaan melimpah, mendapatkan tempat yang nyaman di dalam lingkungan pertemananku, membantu memenuhi gaya hidup keluargaku, tetepi ternyata hatiku terasa hampa. Semua yang aku lakukan tidak membuatku bahagia. 

Kalian boleh memiki pandangan tersendiri mengenai materi yang aku punya, tapi percayalah, aku selalu merasa kekurangan. Aku tak pernah merasa cukup dan puas. Entah seberapa banyak gaji yang sebenarnya aku inginkan."

Aku menyingkirkan kebahagiaan orang lain demi kebutuhanku, demi kepuasan duniawi. - Nindy, 22 tahun 

"Aku lahir dan dibesarkan dari keluarga yang tidak utuh. Ibuku meninggal saat usiaku masih 3 tahun, dan setelah kepergian Ibu, Ayahku menitipkan aku ke keluarga besar Ayah sedang ia pergi jauh entah kemana dan baru kembali kepada kami saat aku mulai beranjak dewasa. 

Kembalinya Ayah kepada kami tentu tak sendiri, ia membawa istri baru juga ketiga anaknya yang masih kecil. Bagaimana dengan hidupku selama ditinggal Ayah? Aku tidak mendapatkan kasih sayang seorang Ibu juga Ayah meski tinggal bersama keluarga besar Ayah. 

Tak hanya kasih sayang saja, materi yang cukup pun tak pernah kudapatkan. Sejak kecil hingga dewasa aku harus berjualan kue di sekolah demi mendapatkan uang sekolah dan uang jajan untuk diriku sendiri.

Sengsaranya hidupku tak berhenti sampai disitu, setelah lulus dari bangku SMA, aku tak bisa melanjutkan kuliahku karena tidak ada biaya dari orang tua, dan tentu saja hasil menjual kue tak mampu menutupi biaya kuliah yang sangat mahal. 

Akhirnya, aku memutuskan untuk bekerja sebagai Sales Promotion Girl di salah satu perusahaan otomotif. Pekerjaan itu mengharuskan aku berpenampilan semenarik mungkin agar mendapat perhatian pelanggan, terutama para pria agar mereka mau mampir ke tempat kami. 

Meski mendapat gaji yang tetap serta bonus yang melimpah, tetap saja semua ini masih kurang bagiku. Bagaimana tidak, Ayah yang sudah menelantarkanku sejak kecil tak pernah absen untuk menagih gaji bulananku, belum lagi biaya kebutuhan hidupku sehari-hari yang terbilang 'mahal' sejak menjadi bagian dari perusahaan ini, dan masih banyak pengeluaran lainnya yang harus aku atur sendiri dengan gaji seadanya ini. 

Hingga suatu hari, ada seorang pria yang datang dan mengubah hidupku. Apakah itu adalah hari keberuntungan atau awal boomerang bagiku, entahlah. 

Pria jangkung dengan dompetnya yang tebal menghampiriku bukan karena tertarik dengan pameran otomotif yang ada di tempat kami, tapi ternyata ia lebih tertarik dengan kemolekan tubuhku. Kemudian ia mengajakku berkenalan serta menjadikanku pelampiasan dari masalah dengan keluarganya, atau lebih tepatnya masalah dengan istri dan anak-anaknya. 

Di sisi lain aku merasa bersalah, aku membayangkan bagaimana dosaku tak akan diampuni karena sudah menjadi perebut suami orang. Tapi apa daya, aku membutuhkan uangnya, aku membutuhkan kekayaan pria ini. 

Sebaliknya, ia membutuhkan perhatianku yang tidak ia dapatkan dari istrinya dan juga membutuhkan tubuhku. Bukankah manusia saling membutuhkan? Hubungan gelap kami adalah contoh nyata betapa manusia saling membutuhkan. 

Pria ini menyuruhku berhenti dari pekerjaanku agar ia bisa dengan bebas menikmati tubuhku setiap kali ia ingin ke tempat tinggalku. Tak lupa, tempat tinggal serta fasilitas di dalamnya yang sangat mewah adalah pemberian gratis dari pria kaya ini. 

Kalau kalian harus bersusah payah bekerja dalam sebulan dan menerima upah hanya di akhir bulan, sangat berbeda denganku. Aku memiliki penghasilan tetap setiap minggunya dari hasil melayani kebutuhan berahinya saja.

Dengan uang yang ia berikan padaku, aku bisa membantu Ayah, Ibu dan adik-adik tiriku, aku bisa memiliki gadget yang terbaru, aku bisa membeli barang-barang branded, bahkan aku bisa melanjutkan kuliahku di universitas swasta termahal yang ada di kotaku. 

Hubungan gelap ini sudah berjalan selama hampir 3 tahun, apakah aku merasa bersalah dan takut? Tentu saja. Meski aku begitu terlena dengan kenikmatan dunia ini, tapi percayalah bahwa jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku juga merasa tak tega dengan istri dan anak-anaknya yang selama ini telah kami kelabui. 

Sejujunya, aku tak tahu harus bagaimana, aku sudah sangat bahagia dengan hidup bersama suami orang dan tidur di atas kekayaannya, kekayaan yang sebenarnya bukan milikku. Dengannya, aku merasa mendapatkan kasih sayang dari seorang Ayah, suami, pacar, sekaligus sahabat. Suami orang ini adalah harta kekayaan berjalan bagiku."  

Keluarga, pertemanan dan pekerjaan boleh baik-baik saja, namun aku merasa miskin kasih sayang dari seorang pria. - Kartika, 43 tahun 

"Sama seperti wanita-wanita tua yang tidak menikah lainnya, aku pernah merasakan kesepian juga khawatir yang berlebih. Usia sudah berkepala 4 namun belum atau bahkan tidak akan memiliki pasangan hidup, belum memiliki aset yang tetap, bahkan bisa dibilang belum bisa membahagiakan orang tua. 

Diumur yang sudah setua ini, aku masih menumpang di rumah orang tuaku meski jabatan dan gaji di kantor yang aku miliki sudah cukup tinggi. Sejujurnya, aku juga merasa malu dengan saudara-saudaraku yang sudah sukses dari segi percintaan hingga ekonomi mereka. 

Saat sedang ramai, sekilas aku melupakan apa yang terjadi di dalam hidupku, sekilas aku merasa lupa dengan kesendirian dan kehampaan hidupku selama kurang lebih 40 tahun ini. 

Namun saat aku harus kembali ke rutinitas hidupku seperti biasa, aku kembali mengingat betapa kesepiannya aku, betapa menyusahkannya aku, betapa miskin dan tidak bergunanya aku. 

Aku berusaha menutupi kekhawatiranku dengan banyak berteman dan bergabung dengan komunitas yang membangun di lingkunganku. Aku berusaha agar terlihat biasa-biasa saja, bahkan ingin terlihat kuat. 

Hingga suatu ketika, saat aku sedang menonton salah satu acara televisi yang diisi oleh motivator ternama, saat itu juga aku merasa hidupku diubahkan.

Intinya, sejak saat itu aku mulai mengerti arti kehidupan ini, ternyata hidupku ini terlalu indah dan sangat berharga. 

Orang tuaku menerima aku dengan sangat baik di rumahnya walau aku sudah setua ini. Sanak saudara tidak pernah membandingkan dan memaksakan aku harus seperti mereka. Aku berada di tengah lingkungan pertemanan yang tepat. Aku memiliki pekerjaan tetap dengan jabatan dan juga gaji yang tinggi. Meski hingga saat ini aku belum menemukan jodohku, namun itu tak sebanding dengan hal lain yang sudah aku miliki. 

Sejak saat itu aku belajar bahwa mulutku memang pernah tak berhenti mengeluh, namun sekarang hatiku memilih untuk terus bersyukur." 

Jika ingin menilik lebih jauh lagi, sebenarnya dunia ini memang penuh dengan orang-orang yang hatinya rapuh. Semua ingin menampilkan yang baik-baik saja namun menyimpan luka yang membusuk di hati mereka, terkesan seperti menjadi 'budak' dunia. 

Percayalah, hidup ini terlalu indah dan berharga bila dihabiskan hanya untuk mengejar kekayaan dunia dan seisinya yang bersifat fana. Kekayaan yang sesungguhnya berupa keberkahan hidup, kesehatan fisik dan mental, juga kebersamaan dengan keluarga tercinta. Karena kekayaan bukanlah dari banyaknya harta benda, namun yang utama adalah kekayaan hati. 

Kekayaan hati itu tidak diukur dari seberapa banyak kekayaan materi yang dimiliki, namun kekayaan hati adalah perasaan hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang ada. Entah itu sedikit, banyak, ada, bahkan tidak ada sekalipun, namun tetap merasa cukup, puas dan bersyukur. 

Bersyukur mulai dari hal yang sangat sederhana, misalnya bersyukur karena hari ini masih bisa bangun dengan keadaan tubuh dan semua organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik, banyak orang di luar sana yang tidak dapat menggunakan organ tubuhnya dengan baik lagi karena berbagai penyakit yang diderita. 

Bersyukur karena masih memiliki baju di lemari untuk dipakai, bersyukur untuk kebutuhan selama sehari bahkan sebulan kedepan masih terpenuhi, bersyukur untuk gadget dan kuota yang masih terisi sehingga masih bisa update dengan keadaan sekitar, banyak orang yang tidak seberuntung kita saat ini dan harus meminta-minta di jalanan. 

Bersyukur untuk pekerjaan yang dimiliki saat ini, banyak orang di luar sana yang tidak bisa lagi bekerja karena menerima PHK. 

Bersyukur untuk lingkungan pekerjaan dengan apapun kondisinya saat ini. Meski lingkungan pekerjaan yang tak lepas dari masalah dan tak akan bisa dihindari, tapi tetaplah bersyukur dan percaya karena keadaan itu akan mengasah diri serta mental untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. 

Bersyukur karena masih memiliki kendaraan walau mungkin masih diangsur hingga beberapa bulan kedepan, banyak orang yang masih menggunakan trasnportasi seadanya bahkan berjalan kaki, mereka tidak seberuntung kita. 

Bersyukur untuk orang tua, sanak saudara, dan pasangan yang masih menemani hingga saat ini, banyak orang di luar sana yang harus hidup sendiri karena sudah kehilangan orang-orang yang dikasihi, dan masih banyak lagi hal sederhana yang perlu disyukuri. 

Perasaan murka terhadap keadaan hidup sehingga ingin mengeluh itu akan terus ada, namun tetaplah pastikan untuk selalu menyeimbangi hidup ini dengan porsi bersyukur yang lebih banyak dibanding dengan porsi mengeluh.

Jangan terlalu sibuk melihat ke atas sehingga membandingkan diri dengan mereka yang ada diatas, lalu lupa bersyukur saat melihat ke bawah dan mendapati mereka yang tidak seberuntung kita. 

Bersyukur itu membuat kita merasakan kekayaan hati yang sesungguhnya. Jadi, setujukah kita kalau standar kekayaan itu ternyata dimulai dari bersyukur? 

Jakarta, 2020.
Christie Stephanie Kalangie.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun