Mohon tunggu...
Christie Stephanie Kalangie
Christie Stephanie Kalangie Mohon Tunggu... Akuntan - Through write, I speak.

Berdarah Manado-Ambon, Lahir di Kota Makassar, Merantau ke Pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Jadi, Standar Kekayaan Itu Seperti Apa?

29 Agustus 2020   21:15 Diperbarui: 30 Agustus 2020   20:29 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Papa meninggal, Mama memilih menikah dengan pria yang baru saja ia kenal. Namun nahas, ia kemudian ditinggal oleh pria tersebut dalam keadaan berbadan dua.

Tak berhenti sampai disitu, Mama mengulangi hal bodoh tersebut dengan ketiga pria lainnya. Hingga aku dewasa, gaya hidup Mama yang seperti ini membuatku terus merasa muak, namun di sisi lain ia tetap orang tuaku, ibu kandungku. 

Dengan kata lain, aku bekerja keras demi memenuhi gaya hidup Mama dengan pria-pria tidak jelas itu. Belum lagi, aku harus membiayai pendidikan adik tiri serta usaha kakak dan iparku yang tidak menetap. Rasanya, gaji 2 digit yang begitu diinginkan semua orang dariku ini tak pernah cukup, aku selalu merasa kurang. 

Tak hanya itu saja, pacarku yang diawal aku anggap bisa membantuku dari segi ekonomi, ternyata tidak bisa diandalkan. Mungkin terlalu jauh jika membahas ekonomi bersama pacarku ini, tapi aku rasa, ia pun terlalu cupu untuk berhubungan serius denganku.

Bayangkan saja, kami telah berpacaran selama hampir 5 tahun, namun ia terkesan terlalu lambat untuk mengajakku ke jenjang yang lebih serius. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sehingga mengabaikanku, mengabaikan kesiapanku untuk berumah tangga. Entah hubungan macam apa yang sedang aku pertahankan ini. 

Aku lelah menjalani hidup yang seperti ini. Aku lelah dianggap sebagai pengganti Ayah di rumah dalam urusan keuangan. Aku lelah bekerja dengan kepura-puraan saja demi mendapatkan perhatian dari teman-temanku bahwa aku sekaya dan semampu ini. Aku lelah dengan hubungan percintaanku. Aku sangat lelah dengan semuanya. 

Sisi lain kehidupan yang buruk ini tidak mungkin aku tunjukkan di hadapan teman kantor dan teman sepermainanku. Aku memaksakan diri untuk terlihat kuat walau sebenarnya aku sangat rapuh. Aku bekerja keras sehingga mendapatkan uang yang banyak demi kekayaan melimpah, mendapatkan tempat yang nyaman di dalam lingkungan pertemananku, membantu memenuhi gaya hidup keluargaku, tetepi ternyata hatiku terasa hampa. Semua yang aku lakukan tidak membuatku bahagia. 

Kalian boleh memiki pandangan tersendiri mengenai materi yang aku punya, tapi percayalah, aku selalu merasa kekurangan. Aku tak pernah merasa cukup dan puas. Entah seberapa banyak gaji yang sebenarnya aku inginkan."

Aku menyingkirkan kebahagiaan orang lain demi kebutuhanku, demi kepuasan duniawi. - Nindy, 22 tahun 

"Aku lahir dan dibesarkan dari keluarga yang tidak utuh. Ibuku meninggal saat usiaku masih 3 tahun, dan setelah kepergian Ibu, Ayahku menitipkan aku ke keluarga besar Ayah sedang ia pergi jauh entah kemana dan baru kembali kepada kami saat aku mulai beranjak dewasa. 

Kembalinya Ayah kepada kami tentu tak sendiri, ia membawa istri baru juga ketiga anaknya yang masih kecil. Bagaimana dengan hidupku selama ditinggal Ayah? Aku tidak mendapatkan kasih sayang seorang Ibu juga Ayah meski tinggal bersama keluarga besar Ayah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun