Mohon tunggu...
Christie Stephanie Kalangie
Christie Stephanie Kalangie Mohon Tunggu... Akuntan - Through write, I speak.

Berdarah Manado-Ambon, Lahir di Kota Makassar, Merantau ke Pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Aku adalah Selingkuhan

2 Juni 2020   05:30 Diperbarui: 4 Januari 2025   12:11 2641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source :  iStock/Fizkes 

Cinta, cinta dan cinta... 

Perkara cinta memang ribet dan tak ada habisnya… 

Cinta memang begitu pandai menjelma ke dalam beberapa rasa. Cinta yang luar biasa dapat membuat kedua insan yang terkait di dalamnya merasa sangat bahagia. Cinta dapat menghadirkan tawa serta rasa sayang yang membuat segalanya menjadi sempurna. 

Namun, cinta juga dapat menghadirkan rindu yang menyiksa, lalu tangis yang membuat keduanya merasakan bahagia dan luka yang amat sangat dalam di waktu yang sama. Luka itulah yang bisa mengalahkan kesempurnaan cinta yang telah dilewati bersama. 

Luka yang ditimbulkan itu sama seperti kisahku… Kisah cinta yang penuh luka dan kebahagiaan palsu…

Sabtu, 23 Mei 2020. 

Sejak pagi hingga malam hari, tubuhku terasa begitu lelah. Aku memulai aktifitas dengan sedikit olahraga kecil lalu pergi ke supermarket membeli beberapa kebutuhan dapur dan mempersiapkan bumbu masak untuk 3 menu yang akan aku sajikan untuk kekasih hatiku. 

Ya, aku dengan senang hati melakukannya. Aku senang memasak berbagai macam menu makanan rumahan dan dessert untuk kekasihku.

Aku senang ketika orang yang aku kasihi bisa menikmati buatan tanganku. Ini adalah salah satu caraku agar hubungan kami tetap terasa nikmat dan hangat. Aku ingin ia selalu dapat merasakan kasih sayang dan sentuhanku melalui hal-hal kecil yang aku lakukan. 

Aku semakin ingin tahu mengenai apa makanan kesukaannya, apa yang tidak ia sukai, apa yang menjadi pantangan baginya, apa yang harus ia hindari dan segala sesuatu yang menjadi bagian dari dirinya. Bukankah semua pasangan yang saling mencintai melakukan itu? 

Aku hanya ingin kami terus saling memahami dan saling menyayangi. Aku berusaha melakukan yang terbaik untuk dirinya dan untuk hubungan kami. Aku ingin ia tahu bahwa aku akan selalu ada untuknya, dalam suka maupun duka. Aku akan selalu mendukung dan mendoakan apapun yang sedang ia kerjakan. 

Kami selalu menghabiskan waktu bersama di akhir pekan, mengingat padatnya pekerjaan, juga jadwal perkuliahanku. Hal ini telah menjadi rutinitas yang sangat kami nantikan setelah lelah dengan 5 hari bekerja dan aktivitas lainnya.

Namun, jika ada hal lain yang dapat menunda pertemuan kami, sebisa mungkin aku melakukan hal-hal kecil yang dapat membuatnya merasakan kehadiranku di sisinya. 

Ia adalah teman dekatku, sahabatku, sekaligus saudaraku, satu-satunya kekasih hatiku. Aku menganggapnya demikian karena aku si gadis rantau yang jauh dari orang tua dan sanak saudara. Ia adalah satu-satunya bagiku di tanah rantau  ini. 

Awal mula perkenalan kami, aku merasakan akan adanya ketertarikan serta kenyamanan antara satu sama lain. Begitu juga dengan dirinya, ia merasakan hal yang sama denganku.

Kami saling memahami, mengisi kekosongan, juga saling berbagi mengenai apapun. Kami belajar banyak hal agar hubungan ini dapat membuat kami bertumbuh bersama. Ya, kami adalah pasangan yang berbahagia.

Ah, ternyata sudah 1 tahun yang lalu, kisah perjumpaan kami yang manis… 

Selama 1 tahun lebih perjalanan kisah cinta kami, semua tentu tidak mulus-mulus saja. Memasuki bulan yang keenam, itulah kerikil pertama kami yang ternyata berdampak seperti batu besar yang siap menghancurkan kami hingga saat ini... 

Aku mulai menyadari bahwa ia menjauhi kehidupan sosialku. Ia seperti tidak begitu tertarik dan tidak mengenal apa yang aku jalani dengan orang-orang yang ada di sekitarku, ia bahkan tidak mengetahui mengenai pertemanan dan kehidupanku di luar. 

Jika aku boleh sedikit membandingkan, ia tidak seperti kekasih pada umumnya. Ia tidak pernah datang menjemputku di kampus atau di kantor. Aku paham bahwa ini bukanlah keharusan dan jaminan kebahagiaan suatu hubungan, mungkin ia juga punya kesibukan lainnya.

Aku pun tidak memaksakan hal ini terjadi, walau terkadang aku merasa iri dengan hubungan orang lain dimana prianya berusaha meluangkan waktu untuk menjemput dan hadir di saat-saat yang penting untuk pasangannya. 

Ia bahkan tidak mengikuti sosial mediaku. Lagi, aku tahu bahwa ini bukanlah suatu kewajiban. Tapi, bukankah ini aneh? Ia mengunci keamanan sosial media miliknya dan kami tidak saling mengikuti walupun kami tahu akun sosial media satu sama lain. Tidakkah ini hal yang aneh bagi “pasangan”?  

Walau demikian, aku mencoba untuk tidak memikirkan hal terserbut. Mungkin ia punya alasan tertentu mengapa ia melakukan itu padaku. Namun tetap saja, hal ini membuatku bertanya-tanya di dalam hati, “Ada apa sebenarnya?” 

Kami juga tidak saling mengecek ponsel pribadi satu sama lain ketika sedang bersama. Ya, sekali lagi, aku tahu bahwa ini tak harus dilakukan oleh pasangan. Tapi, tidakkah ini mengganjal bila sedang bersama dan ia menjauhkan ponselnya saat ingin membalas pesan masuk? 

Aku berusaha tenang, sabar dan tidak memikirkan hal tersebut. Aku berusaha menghapus pikiran negatif dan berpikir dewasa dengan dalih, “Mungkin itu adalah urusan kantornya.” 

Aku tak ingin bertingkah kekanak-kanakan dengan membebani pikiran kami masing-masing untuk saling mengecek ponsel satu sama lain saat sedang bersama. Bukankah saat bertemu adalah saat yang paling membahagiakan bagi kami? Aku hanya tak ingin merusak kebersamaan kami dengan kecurigaan belaka. 

Pada akhirnya, aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, berusaha tenang dan menyingkirkan perasaan-perasaan negatif tersebut. Tapi tetap saja, bagi kami perempuan, kami tak akan berhenti sebelum mendapat jawaban yang pasti.

Akhirnya, malam itu aku menemukan jawabannya…

Malam dimana aku dengan sangat bergairah menyiapkan menu makanan favoritnya… 

Malam itu adalah malam dimana bom waktu meledakkan hubungan yang sudah kami rajut selama 1 tahun lebih bersama… Awal mimpi buruk bagi kami… 

Kalau saja aku dapat memutar kembali waktu, aku ingin sekali kembali ke malam itu. Mengubah semua kenyataan pahit menjadi manis, atau untuk sekedar menutup mata dan telingaku dengan rapat. 

Ternyata, semua kebahagiaan hubungan kami yang dengan bangganya kugembar-gemborkan, hanya berasal dari sudut pandangku saja… 

Ternyata, aku telah salah menilai hubungan ini… 

Aku telah melakukan kesalahan besar di sini… 

Pertahananku hancur… 

Hatiku sangat terpukul… 

Bagiku, ia adalah satu-satunya pria untukku dan aku adalah satu-satunya wanita untuknya, tapi ternyata tidak. Aku salah besar. 

Aku menemukan semua jawaban ini dengan sangat jelas beserta dengan bukti-bukti yang ada, sebagai jawaban atas tanda tanya besar yang aku simpan sendiri dalam hubungan kami selama ini. Aku mengetahui semua hal ini dengan sangat jelas melalui bantuan salah seorang teman yang merasa iba dengan keadaanku. 

Selama ini aku berusaha mempercayainya, ia pun menunjukkan sikap bahwa ia pantas dipercayai. Namun, ketika seseorang berusaha menyampaikan kebenaran dan tidak sedang menutupi sesuatu, bukankah sang lawan bicara harusnya mendapat ketenangan setelah mendengar jawabannya?

Saat ia sedang menenangkan hatiku agar aku percaya padanya, aku tak pernah mendapatkan ketenangan itu. Hal inilah yang mendorong hatiku untuk terus mencari kebenaran mengenai hubungan kami. 

Hal ini sangat menghantui hati dan pikiranku karena aku tidak mendapatkan bukti nyata dari kebenaran yang aku cari. Ia hanya berusaha menenangkan tanpa ada bukti bahwa aku adalah satu-satunya wanita untuknya. 

Akhirnya, aku mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan yang aku simpan sejak awal pertemuan kami… 

Bagian yang paling menyakitkan disini ialah, aku bukan satu-satunya wanita untuknya. Bahkan sebenarnya, aku tidak pantas menyebutkan “wanita satu-satunya”, karena… 

Aku adalah selingkuhan.

Aku hanya dijadikan sebagai selingkuhan selama 1 tahun lebih hubungan kami berjalan. 

Aku hanya selingkuhan. 

Aku hanya dipermainkan selama ini. 

Aku adalah miliknya, namun ia bukan milikku. 

Rupanya, ia telah menjalin hubungan dengan wanita lain selama bertahun-tahun lamanya. Ia hanya dilanda kebingungan, atau mungkin kebosanan dalam suatu hubungan sehingga ia memutuskan untuk “sedikit bermain” dan mencari kebahagiaan lain. 

Berkali-kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain namun terus gagal sehingga hal itulah yang membuatnya kembali pada kekasihnya, lagi dan lagi, walau hanya terpaksa. 

Hingga pada akhirnya, ia menemukanku. Takdir mempertemukan kami. Entah apa yang sedang Tuhan rancangkan di dalam hidupku, mengapa Ia membuatku jatuh cinta pada kekasih orang lain, pada milik orang lain. 

Aku berusaha mengerti posisinya saat ini. Perasaan hambar yang ia rasakan terhadap pasangannya, dimana ia tak punya jalan lain untuk mengakhiri hubungannya dikarenakan adanya ikatan di antara kedua keluarga tersebut sehingga membuatnya muak dan mencoba jalan ini, mencoba membuka hati dengan wanita lain di atas kebohongan. 

Aku marah. Aku kecewa. Aku sakit. Aku menangis. Semua kebahagiaan yang ia berikan selama ini adalah kebahagiaan palsu. Kalau ia tak bisa membahagiakanku, setidaknya ia tak perlu datang jika hanya untuk memberi luka, kan? Mengapa ia begitu tega melakukan ini padaku? 

Apa salahku? Mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi padaku... Salahkah aku melakukan yang terbaik untuk hubungan kami selama ini? Salahkah aku menjadi yang terbaik? Apakah orang baik memang selalu pantas untuk disakiti? Atau apakah, ia yang terlalu jahat, atau aku yang terlalu baik? Ah, semua ini membuatku sakit...

Ia membohongiku, juga membohongi kekasihnya. Aku baru tersadar, ketika aku sedang sibuk dengan perkuliahanku, ia malah menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Bahkan lembur kerja pun pernah dijadikan alasan untuk membohongiku demi menikmati waktu bersama kekasihnya. Mengapa ia begitu tega melakukan ini padaku di saat semua yang aku lakukan benar-benar tulus?  

Sialnya, aku adalah wanita yang terperangkap disini. Terperangkap oleh drama yang seharusnya bukan bagianku, terperangkap oleh cinta yang seharusnya bukan milikku, terperangkap oleh pria yang begitu pandai menutupi kebohongan dengan dalih ingin kami terus berbahagia walau diatas kebohongan, walau diatas penderitaan wanita lain. 

Baginya, ia mendapat ketenangan dan kenyamanan saat bersamaku. Namun tetap saja, ia tak punya jalan untuk mengakhiri hubungannya dengan kekasihnya meskipun ia begitu ingin berlabuh padaku. 

Ini adalah jawaban dari semua pertanyaan yang aku simpan selama ini. Ia tidak ingin kami saling mengikuti akun sosial media satu sama lain karena ia harus tetap menunjukkan pada kekasihnya bahwa mereka masih bersama, dan ia menutupi hal itu dariku agar hubungan gelap kami bisa terus berjalan. 

Ia hanya ingin diriku dan dirinya bahagia, sesederhana itu. Namun sesederhana itu jugakah ia membohongiku, mempermainkan hati dan perasaan bahkan secara tidak langsung telah menginjak-injak harga diriku? Apakah berbohong demi kebahagiaan dan kelancaran hubungan kami adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh? 

Pertanyaaku terjawab sudah... Ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan sosialku karena ia harus semaksimal mungkin lebih menunjukkan perhatiannya yang begitu besar kepada kekasihnya yang sebenarnya. 

Selama 1 tahun lebih hubungan kami berjalan, aku menganggap bahwa ia sangat menyayangiku, perhatiannya hanya untukku. Namun ternyata, aku salah. Perhatian terbesarnya tentu hanya tertuju pada kekasihnya. 

Sedari dulu, aku bahkan tak pernah mendapatkan perhatian itu. Perempuan mana yang tidak bahagia apabila prianya dengan bangga memperkenalkan pada dunianya bahwa, “Inilah satu-satunya wanita untukku”. Entah itu secara langsung maupun tidak, entah itu melalui ajakan diantara teman-temannya atau mungkin dengan memasang foto bersama, atau hal-hal kecil yang manis lainnya. Aku yakin bahwa hal tersebut tidak menjamin keberhasilan suatu hubungan. Tapi, perempuan mana yang tidak akan menolak perlakuan tersebut? 

Kebahagiaan besar yang aku rasakan selama ini ternyata hanya sebagian kecil dari kebahagiaan yang kekasihnya rasakan. Tentu saja, ia kekasihnya, kekasih yang sebenarnya. Aku ini apa? Aku adalah selingkuhan. 

Mereka bahkan sudah berkomitmen untuk menuju ke jenjang yang lebih serius, memiliki rumah idaman bersama dan untuk hidup bersama. Hubungan mereka yang sudah sangat matang, apalagi didukung oleh keluarga masing-masing, membuatku merasa semakin bodoh, minder, bahkan menciut. 

Aku ini apa? Aku hanya selingkuhan. 

Aku tahu ini sangat menyakitkan. Aku adalah wanita yang seringkali mengalami hal ini di dalam hubungan berpacaran. Bahkan dengan masa laluku, kami pun berakhir karena aku dibohongi, dikhianati dan diduakan. Ini bukan kali pertama aku mendapatkan perlakuan ini dari pria yang sudah kulabeli “kesayanganku”.

Ini sudah terjadi berkali-kali di dalam hidupku. Namun entah mengapa, rasanya ini adalah yang paling menyakitkan. Karena dimana aku merasa bahwa aku telah menjalin hubungan secara dewasa dan aku adalah satu-satunya, ternyata aku hanya selingkuhan. 

Sialnya lagi, aku baru mengetahui kenyataan pahit ini setelah berjalan bersamanya selama 1 tahun berlalu. Bukan waktu yang singkat, dan kalian tahu ini artinya apa? Aku sudah terlanjur jatuh cinta pada pria brengsek ini... 

Aku telah melakukan yang terbaik sejak pertama kali kami bertemu, aku memberikan perhatianku seutuhnya yang sekiranya tak pernah ia dapatkan dari wanita lain. Aku berhasil membuatnya nyaman bersamaku. Tapi apa? Semuanya sia-sia, karena aku adalah selingkuhan. 

Sebagai sesama wanita, aku sangat paham perasaan kekasihnya jika ia mengetahui hal ini. Ia pasti akan begitu terluka dan marah padaku. Bahkan, orang-orang terdekatnya akan sangat membenciku. 

Aku merusak hubungan orang lain, aku nyaris merusak mimpi wanita lain untuk berbahagia. Tapi apakah aku menginginkan semua ini? Tentu tidak. Bahkan, saat menulis kisah pahit ini, hatiku sangat tercabik-cabik, tak henti-hentinya aku meneteskan air mata. 

Aku menyesal bertemu dengannya 1 tahun yang lalu.

Aku menyesal telah membuatnya jatuh cinta padaku disaat ia masih memiliki kekasih.

Aku menyesal membiarkan hatiku terpaut padanya.

Aku menyesal membiarkannya masuk ke dalam kehidupanku.

Aku menyesali semua yang telah kami lewati bersama.

Tapi apa daya, 1 tahun lebih sudah berjalan dengan baik. Aku sudah sangat mencintainya. Bahkan setelah mengetahui kenyataan pahit ini, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku tak bisa membiarkan ia pergi dariku. Hati dan pikiranku tak mampu membiarkannya pergi. 

Aku tahu ini salah. Aku tahu ini menyakitkan bagi diriku sendiri. Aku tahu ini akan sangat sulit. Setelah semua telah terjadi, kami bahkan tak sanggup untuk saling melepaskan. Entah ini cinta atau ego, namun aku tak sanggup bila ia harus kembali seutuhnya bersama kekasihnya. Aku ini apa? Aku adalah selingkuhan yang harus siap ditinggalkan meskipun sangat berharap bahwa ia tetap tinggal dan bertahan denganku.

Karena meskipun ia telah menyakitiku, ia telah mendapat tempat pertama di hatiku. Apakah aku salah?

Jakarta, 2020.
Christie Stephanie Kalangie 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun