Satu lagi agenda politik penting yang akan kita jalani, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) Propinsi, Kabupaten/Kota yang akan dilaksanakan secara serentak di bulan November 2024. Beberapa tahapan awal sudah mulai berjalan, selain pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu, Pilkada juga merupakan sebuah agenda penting yang akan menentukan arah pembangunan bangsa ini ke depannya.
Memilih kepala daerah sama pentingnya dengan memilih Presiden dan Wakilnya, salah dalam memilih akan berdampak pada arah kebijakan pembangunan daerah dan juga nasional serta pada kondusifitas politik dan pemerintahan daerah dan juga nasional.
Pelaksanaan Pilkada kali ini meski masih dilaksanakan dengan merujuk kepada aturan yang sama yakni UU Nomor 7 Tahun 2017, tetapi untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak, baik itu tingkatannya (Propinsi, Kabupaten/Kota) dan juga daerahnya (serentak di seluruh Indonesia). Hal ini tentu akan menjadi sedikit berbeda dan kompleksitas permasalahan juga semakin banyak.
Selain permasalahan teknis yang dihadapi oleh penyelenggara terkait jarak waktu pelaksanaan tahapan Pemilu, Pilpres, Pilkada yang saling beririsan, masalah logistik termasuk data pemilih serta tahapan penjaringan dan pendaftaran calon kepala daerah. Ada permasalahan krusial yang perlu dicermati oleh rakyat yakni kualitas Calon Kepala Daerah yang akan mengikuti kontestasi.
Salah pilih pemimpin akan berimbas pada banyak sektor-sektor kehidupan masyarakat, baik di daerah itu sendiri maupun secara nasional yang bukan saja akan membuat proses pembangunan terhambat, bahkan mungkin saja akan mengalami kemunduran.
Dalam sistem politik demokrasi kita yang terbuka, dimana semua rakyat Indonesia mempunyai hak untuk dicalonkan dan mencalonkan, meski secara normatif kita punya pedoman atau persyaratan calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan Kedua atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Akan tetapi persyaratan berdasarkan Undang-undang tersebut hanyalah persyaratan normatif yang masih harus diuji, dicermati dan dipelajari rekam jejaknya. Kalau mau jujur jabatan pemimpin atau kepala daerah itu adalah jabatan pengabdian, yang seyogyanya tidak perlu dilakukan dengan jalan kontestasi.
Jujur saja proses kontestasi pemilihan pemimpin itu pada kenyataannya dapat membawa banyak friksi di masyarakat yang cenderung justru kontraproduktif dengan tujuan mencari pemimpin daerah yang berpihak kepada rakyat secara keseluruhan.
Sebagaimana yang dapat kita lihat bahwa bahwa kontestasi politik di negara kita ini, masih menyisakan banyak ruang transaksional, Â ruang kompromistis yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu demi kepentingan pribadi, golongan maupun kelompok.
Selain itu, kontestasi politik yang terbangun di hampir semua negara adalah kontestasi "pencitraan", dan ini menjadi sesuatu yang krusial, dimana bisa saja citra yang dibangun oleh para kontestan adalah "palsu". Ada janji-janji manis, ada senyum palsu yang dibarengi dengan pembagian sembako (Money politic) dan bahkan ada black campaign.