Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ingin Harmonis Hidup Bertetangga, Jangan Lupa Silahturahmi

21 Oktober 2022   16:30 Diperbarui: 3 November 2022   15:44 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hidup bertetangga | Sumber dari Kompas.com

Perihal kehidupan bertetangga dalam hubungan sosial kemasyarakatan sangatlah kompleks. Selain orang-orangnya memiliki beragam karakter, pembawaan serta orangnya juga bermacam-macam. Jadi, bukan merupakan suatu hal yang mustahil jika antar tetangga bisa timbul konflik dan perselisihan antara satu dengan yang lainnya.

Sebagai mahluk sosial, kita tentu tak bisa lari dari yang namanya kehidupan bertetangga, mau tidak mau dalam hidup kita pasti akan hidup bersama orang lain sebagai tetangga, dan mau tidak mau pula kita pasti akan berinteraksi dengan tetangga. 

Harapan kita semua, tentunya interaksi dengan tetangga itu adalah interaksi yang positif. Saling menghargai, tenggang rasa, peduli dan tolong menolong, dan tentu saja bukan hal yang sebaliknya.

Kehidupan harmonis antar tetangga itu tentunya bukan antara kita dan tetangga kita saja, tetapi tentu antara setiap tetangga dengan tetangga yang lainnya. Sebab, jika saja dalam lingkungan bertetangga ada tetangga yang saling berselisih meskipun bukan kita, maka keharmonisan itu tentu akan terganggu, akan ada ganjalan nyata dalam interaksi sosial utamanya jika berhubungan dengan pihak-pihak yang saling bertikai.

Hubungan harmonis dalam interaksi antar tetangga, tentu tak bisa diharapkan lahir secara ujug-ujug, tetapi semuanya harus diupayakan, dibina dan dikembangkan menjadi sebuah hubungan yang bukan saja karena saling bertetangga atau saling kenal saja tetapi adalah sebuah hubungan yang saling membutuhkan sebagai saudara terdekat.

Yah, tetangga itu sesungguhnya adalah saudara terdekat kita. Betapa indahnya, jika semisalnya antar tetangga saling tolong-menolong saat ada yang membutuhkan bantuan atau pertolongan. Dan bisa dibayangkan betapa tidak lucunya, jika kita membutuhkan pertolongan tetapi harus menghubungi dulu saudara yang jauh, kemudian menunggu pertolongan datang sementara ada banyak tetangga yang berada di sekeliling kita.

Menyadari betapa pentingnya arti dan peran tetangga dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan permukiman kita, maka hampir dipastikan di setiap lingkungan itu punya Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).

Paguyuban sosial warga tingkat RT dan RW ini tentu bertujuan bagaimana memaksimalkan potensi kebersamaan warga menjadi sebuah kekuatan sosial dasar untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, damai dan tenteram.

Namun, kenyataannya semua itu tidak mudah. Karakteristik warga yang berbeda-beda, perilaku dan kebiasaan yang berbeda, sifat dan pola pikir, tingkat sosial ekonomi, dan banyak lagi hal yang mungkin berbeda, yang bisa menimbulkan kendala atau hambatan dalam hubungan bertetangga sebagaimana yang diharapkan.

Kebetulan di kompleks tempat tinggal saya, saya dipercaya sebagai ketua RT. Dan sepanjang pengalaman panjang saya sebagai ketua RT (20 tahun lebih), persoalan antara tetangga itu tidak pernah sepi, atau dengan kata lain selalu saja ada, mulai dari hal yang sepele hingga yang lumayan berat. Dan sesepele apapun permasalahannya kalau tidak diselesaikan dengan baik dan cepat, pasti akan berkembang menjadi lebih tajam dan rumit.

Mulai dari persoalan suara musik atau nyanyian dari tetangga sebelah yang membuat bising dan ribut, persoalan pelimbahan air hujan dan juga selokan mampet, persoalan bisik-bisik tetangga, persoalan anak-anak yang saling ribut, hingga persoalan anak tetangga yang saling jatuh cinta tapi tidak direstui, dan macam-macam lagi persoalan antar tetangga.

Nah, dalam persoalan antar tetangga ini, tentu pihak lain bukan hanya sebisa mungkin tapi memang harus tidak boleh berpihak pada satu pihak yang berselisih, meskipun jelas siapa yang salah dan yang benar. 

Persoalan antar tetangga ini kadang menjadi runcing, karena keterlibatan pihak (tetangga) lain yang merupakan kelompok dari satu pihak untuk ikut-ikutan memanaskan situasi.

Sebagai ketua RT, jika ada laporan warga, saya tentu tidak bisa berpihak kepada salah satu pihak. Bukan hanya untuk menjaga perasaan dari masing-masing pihak, tetapi agar solusi yag hadir akan memuaskan pihak-pihak yang kebetulan bertikai dan yang paling penting adalah silahturahmi antar tetangga tetap terjalin bahkan kalau bisa menjadi lebih akrab lagi. 

Persoalan-persoalan antara tetangga ini kelihatan sepele, tetapi terkadang membuat pusing tujuh keliling. Menghadapi sifat dan karakter yang berbeda-beda, ada yang emosian, ada yang egoisnya minta ampun, sehingga persoalan yang seharusnya mudah justru menjadi rumit.

Suatu hari saya didatangi warga yang melapor jika si A dan si B bertengkar hebat, dikarenakan si A memasang semacam jaring penangkap sampah di selokan di bawah plat beton jalan masuk ke rumahnya. 

Jaring penangkap sampah yang terpasang itu memang cukup rapat sehingga sampah menumpuk dan bahkan air pun tak bisa lewat, yang jika hujan sedikit saja menyebabkan air meluber sebagian ke jalan, sebagian lagi ke rumah tetangga sebelahnya. Dan inilah yang memicu pertengkaran hebat antara mereka.

Keduanya datang membawa keluhannya ke rumah dengan sama-sama merasa benar. Kedua tetangga ini kesehariannya memang selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ada yang sebagai pedagang yang mulai pagi hingga malam tidak berada di rumah karena sibuk berdagang, yang satunya, suami istri yang berprofesi sebagai pegawai negeri yang juga cukup sibuk dengan pekerjaannya.

Nah, salah satu yang memang menjadi persoalan dalam bertetangga itu adalah jika komunikasi antar tetangga itu macet apalagi terputus sama sekali, pintu rumah bahkan pintu pagar pun selalu tertutup.

Terhadap kedua tetangga ini saya cuma bertanya, kapan terakhir kali kalian bertemu dan bercakap-cakap sebelum kalian bertengkar. Dan keduanya terdiam, tak bisa menjawab karena memang mereka sangat-sangat jarang berkomunikasi, padahal saling bersebelahan rumah, yang sebelah bikin pagar tinggi-tinggi hingga tidak bisa saling melihat antara mereka.

Saya bertanya kembali kepada mereka, sudah berapa hari raya kalian tidak saling mengunjungi antar tetangga untuk silahturahmi, mereka pun terdiam karena memang tidak pernah sama sekali melakukan itu.

Saya lalu mengingatkan kepada mereka, bahwa adat kebiasaan orang-orang tua kita adalah saling mengunjungi terkhusus di hari raya idul Fitri, dari satu rumah ke rumah yang lainnya untuk menjalin tali persaudaraan yang mungkin saja bisa putus karena tak pernah saling bersilahturahmi.

Kedua, saya juga mengingatkan kepada mereka yang kebetulan, entah karena kesibukan atau memang sengaja tidak pernah ikut kerja bakti bersama warga, jika ada penyampaian kerja bakti, mereka beralasan hampir tiap hari membersihkan halaman dan sekitaran rumahnya.

Saya katakan kerja bakti ini bukan saja agar halaman rumah kita bersih, tetapi ini adalah ajang atau kesempatan bagi kita untuk berkumpul sesama warga, saling interaksi, saling komunikasi, saling berbagi informasi dan saling mengetahui apa yang menjadi persoalan bersama di lingkungan kita.

Saya pun meminta mereka pulang dan renungkan yang saya sampaikan, ingat masa-masa dulu ketika silahturahmi antar tetangga di kompleks kita ini masih terjalin baik, apakah perselisihan seperti ini pernah terjadi?

Nah, dari semua persoalan-persoalan antar tetangga jika dirunut hampir sebahagian besar berakar dari putusnya silahturahmi. Tetangga-tetangga yang silahturahminya terjalin baik boleh dikata tidak pernah tersentuh konflik, jikapun mungkin ada, itu akan berakhir dengan sendirinya tanpa perlu campur tangan orang lain.

Yah, silahturahmi antar tetangga adalah kunci dari keharmonisan kehidupan bertetangga. Interaksi, komunikasi adalah perekat terbaik dari sebuah kerukunan. 

Sebaik apapun kita jika tidak pernah bersilahturahmi dengan tetangga, maka pandangan miring pasti akan tertuju kepada kita. Tidak mesti harus setiap hari bersilahturahmi dengan tetangga. Mungkin bisa menyempatkan saja waktu untuk mengikuti undangan rapat RT, ikut kegiatan kerja bakti, saling mengundang dan menghadiri undangan hajatan tetangga dan yang lebih penting lagi saling mengunjungi saat perayaan hari raya Idul Fitri (dalam adat kebiasaan kami di Sulawesi lebaran itu dirayakan dengan saling berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat, yang waktunya cukup panjang, mulai dari 1 syawal hingga bulan syawal berakhir).

Kehidupan bertetangga yang harmonis memang harus diupayakan, apalagi bagi masyarakat yang hidup di perkotaan, terkadang kesibukan menjadi faktor yang bisa membuat jalinan silahturahmi dengan tetangga menjadi hal yang dinomor buncitkan, kecuali dengan kolega, dan rekan sejawat yang lebih didahulukan, padahal tetangga itu adalah saudara terdekat kita.

Saya justru sangat tertarik dengan kearifan masyarakat desa tempat asal istri saya. Di sana, ada aturan yang sudah boleh dikata turun temurun dilakukan oleh masyarakat desa sana, yaitu kebiasaan yang mereka sebut "mesumba-sumba" yakni saling menyumbang jika ada warga yang mengadakan hajatan perkawinan atau juga kematian.

Setiap keluarga wajib membawa sumbangan, dalam bentuk beras dan uang. Saat ini berlaku tiga liter beras (kami masih menggunakan liter untuk ukuran beras bukan kilo) dan uang semampunya tapi seminimalnya 10.000 rupiah, dan ini berlaku untuk perempuan (istri) dan juga laki-laki (suami). 

Biasanya yang dibawa oleh perempuan (istri) untuk kebutuhan bagi orang-orang yang bekerja menyiapkan pesta yang juga dilakukan secara gotong royong, dan yang dibawa suami biasanya untuk kebutuhan jamuan pesta.

Kebiasaan ini masih terus dipertahankan oleh masyarakat orang-orang suku Tolaki di sana, dan malah kebiasaan ini juga diikuti oleh masyarakat pendatang dari suku Jawa dan juga suku Bugis yang memiliki perkampungan di kampung istri saya.

Kebiasaan "mesumba-sumba" ini menjadi satu daya rekat bagi keharmonisan masyarakat di sana, meskipun yang namanya perselisihan pasti akan terjadi di masyarakat, akan tetapi dengan adanya kearifan lokal, perselisihan yang lebih luas masih bisa teredam dengan mengingat keakraban yang tidak pernah putus oleh kewajiban saling sumbang menyumbang ini.

Bagaimana tidak, meskipun engkau orang mampu, tetapi sumbangan wajib itu tetap harus diberikan dan nantinya harus saling berbalas. Yang mampu tentunya bukan lagi dengan tiga liter beras dan uang sepuluh ribu rupiah, tetapi tentu jauh lebih besar dari itu.

Hidup harmonis dengan tetangga, sebenarnya bukan hal yang sulit, jika masyarakat sadar dan mau menerapkannya, banyak cara dan model yang bisa dilakukan, orang sekarang kan sudah cerdas-cerdas, orang kampung saja punya kearifan yang bisa dicontoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun