Kedua, saya juga mengingatkan kepada mereka yang kebetulan, entah karena kesibukan atau memang sengaja tidak pernah ikut kerja bakti bersama warga, jika ada penyampaian kerja bakti, mereka beralasan hampir tiap hari membersihkan halaman dan sekitaran rumahnya.
Saya katakan kerja bakti ini bukan saja agar halaman rumah kita bersih, tetapi ini adalah ajang atau kesempatan bagi kita untuk berkumpul sesama warga, saling interaksi, saling komunikasi, saling berbagi informasi dan saling mengetahui apa yang menjadi persoalan bersama di lingkungan kita.
Saya pun meminta mereka pulang dan renungkan yang saya sampaikan, ingat masa-masa dulu ketika silahturahmi antar tetangga di kompleks kita ini masih terjalin baik, apakah perselisihan seperti ini pernah terjadi?
Nah, dari semua persoalan-persoalan antar tetangga jika dirunut hampir sebahagian besar berakar dari putusnya silahturahmi. Tetangga-tetangga yang silahturahminya terjalin baik boleh dikata tidak pernah tersentuh konflik, jikapun mungkin ada, itu akan berakhir dengan sendirinya tanpa perlu campur tangan orang lain.
Yah, silahturahmi antar tetangga adalah kunci dari keharmonisan kehidupan bertetangga. Interaksi, komunikasi adalah perekat terbaik dari sebuah kerukunan.Â
Sebaik apapun kita jika tidak pernah bersilahturahmi dengan tetangga, maka pandangan miring pasti akan tertuju kepada kita. Tidak mesti harus setiap hari bersilahturahmi dengan tetangga. Mungkin bisa menyempatkan saja waktu untuk mengikuti undangan rapat RT, ikut kegiatan kerja bakti, saling mengundang dan menghadiri undangan hajatan tetangga dan yang lebih penting lagi saling mengunjungi saat perayaan hari raya Idul Fitri (dalam adat kebiasaan kami di Sulawesi lebaran itu dirayakan dengan saling berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat, yang waktunya cukup panjang, mulai dari 1 syawal hingga bulan syawal berakhir).
Kehidupan bertetangga yang harmonis memang harus diupayakan, apalagi bagi masyarakat yang hidup di perkotaan, terkadang kesibukan menjadi faktor yang bisa membuat jalinan silahturahmi dengan tetangga menjadi hal yang dinomor buncitkan, kecuali dengan kolega, dan rekan sejawat yang lebih didahulukan, padahal tetangga itu adalah saudara terdekat kita.
Saya justru sangat tertarik dengan kearifan masyarakat desa tempat asal istri saya. Di sana, ada aturan yang sudah boleh dikata turun temurun dilakukan oleh masyarakat desa sana, yaitu kebiasaan yang mereka sebut "mesumba-sumba" yakni saling menyumbang jika ada warga yang mengadakan hajatan perkawinan atau juga kematian.
Setiap keluarga wajib membawa sumbangan, dalam bentuk beras dan uang. Saat ini berlaku tiga liter beras (kami masih menggunakan liter untuk ukuran beras bukan kilo) dan uang semampunya tapi seminimalnya 10.000 rupiah, dan ini berlaku untuk perempuan (istri) dan juga laki-laki (suami).Â
Biasanya yang dibawa oleh perempuan (istri) untuk kebutuhan bagi orang-orang yang bekerja menyiapkan pesta yang juga dilakukan secara gotong royong, dan yang dibawa suami biasanya untuk kebutuhan jamuan pesta.
Kebiasaan ini masih terus dipertahankan oleh masyarakat orang-orang suku Tolaki di sana, dan malah kebiasaan ini juga diikuti oleh masyarakat pendatang dari suku Jawa dan juga suku Bugis yang memiliki perkampungan di kampung istri saya.