Duka mendalam dirasakan tidak saja oleh insan sepakbola tanah air, akan tetapi juga dirasakan oleh semua orang di seluruh penjuru tanah air. Tragedi tragis, melayangnya nyawa 129 (rilis sementara) penonton di stadion Kanjuruhan Malang saat menyaksikan laga Derby Jawa Timur antara Arema Malang vs Persebaya Surabaya yang memang selalu panas sejak dulu.
Seharusnya jika ditinjau dari sudut pandang keamanan dan pengamanan, kejadian yang menjadi noda hitam dalam sejarah sepakbola Indonesia yang masih minim prestasi ini, sebenarnya adalah insiden yang bisa dicegah jika sepakbola itu dijalankan betul-betul secara profesional oleh semua unsur yang terlibat, Â mulai PSSI sebagai pemegang otoritas tertinggi sepakbola tanah air, PT LIB sebagai pemegang otoritas tertinggi liga Indonesia, panitia pelaksana, pihak keamanan, klub yang bersangkutan serta perkumpulan suporter.
Tragedi 1/10 bukan saja memilukan tapi juga memalukan bagi kita dimata masyarakat sepakbola dunia. Begitu primitifnya pengelolaan sepakbola kita sebagai sebuah industri olahraga dari sebuah negara yang seyogyanya sudah begitu maju dalam banyak hal tak terkecuali dalam hal industri sepakbolanya.
Tetapi apa lacur, tragedi ini telah terjadi di saat sepakbola tanah air sedang dalam geliat positif untuk menuju ke jenjang prestasi yang lebih membanggakan. Tentunya akan banyak konsekuensi negatif yang akan menyertai usai kejadian memilukan ini.
Bagi masyarakat sepakbola tanah air dan bahkan dunia, tentu saja menyayangkan dan sekaligus bertanya-tanya ada apa sebenarnya, sehingga insiden yang sesungguhnya bisa dicegah ini terjadi.
Insiden mengerikan ini tercatat sebagai yang terburuk kedua yang pernah terjadi dalam sepakbola, setelah tragedi yang nyaris serupa terjadi di Peru yang menewaskan 328 jiwa penonton, tetapi kejadian ini terjadi di hampir enam dasawarsa yang lalu, tepatnya 24 Mei 1964, yang tentunya saat itu masih belum secanggih saat ini.
Kejadian yang nyaris serupa pula dengan tragedi Kanjuruhan, adalah kejadian di Ghana yang memakan korban jiwa 126 orang penonton Insiden itu terjadi di Stadion Accra Sports, Kinbu Road, Accra. Pada 9 Mei 2001.
Pendukung salah satu tim yang frustrasi karena timnya kalah mulai menjebol kursi dari tribune dan melemparkannya ke lapangan. Polisi yang seharusnya bertugas mengamankan pertandingan justru menanggapi aksi itu dengan menembakkan gas air mata ke kerumunan yang menyebabkan kepanikan. Akibat insiden tersebut, 126 orang meninggal karena kekurangan oksigen dan juga terinjak sesama penonton yang panik.
Nah, kejadian di Kanjuruhan nyaris serupa dengan kejadian di Peru dan di Ghana tersebut akibat penggunaan gas air mata pada penonton di stadio, tercatat selain 129 korban tewas (semoga tidak bertambah) juga terdapat 188 orang korban yang dirawat di sejumlah rumah sakit, serta 13 buah mobil yang terbakar.
Jika mengacu pada standar keamanan dan pengamanan dari panduan yang telah diberikan oleh FIFA. Apalagi telah ada kejadian serupa yang pernah terjadi di Peru dan Ghana sebelumnya, maka kejadian tragis ini tentu bisa diminimalisir bahkan mungkin saja tidak akan terjadi.Â
Baiklah, mari coba kita bedah apakah ada yang salah dan siapakah yang salah dalam tragedi 1/10 Kanjuruhan Malang.
Bahwa dalam panduan yang dikeluarkan oleh FIFA sudah memberikan panduan terkait jumlah anggota pengamanan yang harus mempertimbangkan asesmen resiko + kelakuan supporters + kemungkinan massa turun ke dalam lapangan.
Nah, pertama kita lihat dari segi asesmen resiko. Bagaimana kondisi stadion apakah jalur  masuk dan jalur keluar serta jalur evakuasi aksesnya cukup ini penting untuk mengarahkan penonton jika terjadi kondisi darurat yang tidak diinginkan. Kemudian hal terpenting berikutnya adalah kapasitas stadion, apakah sesuai dengan jumlah penonton. Berdasarkan informasi kapasitas normal stadion Kanjuruhan ada yang mengatakan 38.000 penonton dan dari Wikipedia berkapasitas 42.200an penonton, sementara dari media diperoleh informasi jumlah penonton berkisar 45.000 orang.
Dari sini saja jelas ada kelalaian fatal, jumlah penonton melebihi kapasitas stadion, apalagi dalam laga klasik yang selalu penuh emosi antara Arema vs Persebaya.
Asesmen resiko berikutnya adalah waktu pelaksanaan, apakah siang hari, sore atau malam. Semakin malam tentu semakin meningkatkan resiko kefatalan jika terjadi sesuatu insiden. Berkaitan dengan hal ini rupanya pihak keamanan dalam hal ini Polres Malang telah memberikan rujukan ke pihak Panpel untuk mengubah jadwal pertandingan dari pukul 20.00 WIB ke pukul 15.30 WIB karena pertimbangan keamanan. Namun, hal tersebut ditolak oleh pihak PT LIB selaku operator liga 1.
Setelah asesmen resiko, pertimbangan berikutnya adalah kelakuan supporter, mengapa ini harus dipertimbangkan?, karena menurut FIFA kondisi rivalitas antara dua tim bisa mempengaruhi 'kondisi dan situasi' terjadinya gangguan keamanan sebelum, saat, dan sesudah pertandingan. Rekam jejak supporter bisa dijadikan rujukan.Â
Nah, dalam hal ini laga Arema kontra Persebaya tentu semuanya sudah mahfum bagaimana suasana rivalitas dari kedua kubu yang sejak jaman pertama kali bergabungnya Perserikatan dan Galatama dalam satu kompetisi, keduanya telah menjadi musuh bebuyutan yang hampir di sepanjang pertemuan mereka selalu diwarnai dengan insiden yang tidak jarang menimbulkan korban baik jiwa maupun luka dan harta.
FIFA juga mengatur tentang personil yang bertugas menjaga keamanan dalam pertandingan adalah "Stewards" alias petugas keamanan. Dalam hal ini, Polisi dan/atau Tentara "dapat" diturunkan sebagai petugas keamanan pertandingan, dengan catatan bahwa mereka patut ikut aturan yang sama dengan stewards.Â
Antara pihak penyelenggara dan pihak petugas keamanan sudah seharusnya mempunyai kesepahaman terhadap tugas dan tanggung jawab mereka, tentunya ada diskusi-diskusi, saran dan masukan dari pihak keamanan yang mesti dilakukan.
Nah, dari saran pihak kepolisian yang meminta laga siang hari yang tidak diiyakan oleh si operator liga (yang mata duitan), kita bisa melihat bahwa potensi fatal semakin jelas dalam laga ini.
Dan satu yang banyak menimbulkan tanda tanya di benak orang-orang adalah penggunaan "gas air mata ". Aturan FIFA secara tegas menyatakan bahwa: No fire arms or crowd control gas shall be carried or used. (Artinya: Senjata api dan berbagai macam gas yang dipakai untuk mengontrol massa tidak boleh dibawa atau dipakai).
Jika mengacu pada aturan FIFA di atas maka adalah salah jika ada anggota pengamanan yang membawa dan/atau memakai gas air mata. Akan tetapi, dalam Bab I, FIFA juga memperbolehkan jika "asosiasi sepakbola" memakai aturan lain yang lebih keras, sesuai dengan konteks masing-masing negara.
Disini, yang perlu diketahui adalah apakah dibolehkannya membawa dan menggunakan gas air mata sudah sesuai dengan kesepakatan bantuan Polri ke pihak penyelenggara pertandingan di stadion Kanjuruhan.
Disini jujur saya katakan, penggunaan gas air mata di stadion yang penuh sesak dengan penonton adalah sebuah tindakan yang sangat konyol, meskipun saya tidak melihat dan tidak tahu bagaimana kondisi sebenarnya di lapangan, tetapi sekali lagi saya katakan melepaskan gas air mata ke kerumunan penonton yang berada di tribun yang diantaranya ada anak-anak dan Ibu-ibu adalah konyol.
Apalagi jika kita berpegang pada rilis Kapolda Jatim di televisi yang mengatakan "tidak semua penonton" melakukan aksi kerusuhan, kalau tidak salah dengar beliau mengatakan hanya kisaran 3000an penonton yang berbuat ulah, ini artinya tidak sampai 10% penonton, tetapi kok hasilnya begitu mengenaskan.
Investigasi menyeluruh merupakan kewajiban bagi otoritas yang berwenang, ini bukan lagi sekedar insiden, tetapi sebuah tragedi memilukan yang telah mencoreng citra dan keprofesionalan pengelolaan sepakbola Indonesia sekaligus ini juga berkaitan dengan harkat dan martabat bangsa ini.
Dari tinjauan diatas, yang dapat kita simpulkan bahwa pihak Panpel telah melakukan kelalaian fatal dengan membiarkan stadion diisi dengan penonton yang melebihi kapasitas normal stadion. Disini perlu dipertegas bahwa keselamatan diri dan nyawa penonton melebihi dari segala apapun yang bisa diambil pertandingan sepakbola.
Kemudian, pihak operator liga (PT LIB) telah menyepelekan pertimbangan keamanan dari pihak kepolisian yang sebelumnya telah menyarankan pertandingan dilakukan siang hari (15.30 WIB), ini adalah keteledoran fatal, alasan pertimbangan keamanan diabaikan demi hak tayang prime time, sungguh terlalu.
Hal berikutnya adalah kelakuan supporter, telah sama kita ketahui bagaimana tajamnya rivalitas antara kedua klub, bagaimana perilaku supporter jika kedua kesebelasan bertemu. Disini bisa dikatakan pihak klub gagal melakukan pendekatan pra pertandingan kepada supporter melalui koordinator-kordinator supporter yang seharusnya dijadikan mitra untuk menjaga tertib, lancar dan amannya pertandingan.
Kemudian pihak keamanan, apakah dalam hal ini jumlah petugas yang diturunkan sudah sesuai dengan potensi chaos yang kemungkinan terjadi pada laga yang sarat gengsi, dan emosi bagi supporter, apakah petugas sudah tepat dalam mengambil tindakan?
Terakhir terkait penggunaan gas air mata, ini sesuatu yang sangat fatal. Harus ada investigasi mendalam terkait apa dan bagaimana situasinya sehingga penggunaan gas air mata terpaksa dilakukan. Meski dari kacamata awam kita mengutuk langkah penggunaan gas air mata, tetapi kita tidak bisa menjudge sebelum ada investigasi yang jujur mengungkapkan apa sesungguhnya yang terjadi.
Dari kejadian ini, ada banyak kerugian yang kemungkinan akan dihadapi dunia sepakbola kita. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah bisa saja kejadian ini akan berimbas pada posisi kita sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 pada Juni 2023.
Kemudian kepercayaan pemain asing untuk bermain di Indonesia termasuk untuk menjadi pemain naturalisasi bisa saja akan menurun, padahal kehadiran pemain asing di kompetisi lokal dan juga pemain naturalisasi di timnas sangat dibutuhkan sebagai motivator menuju persepakbolaan yang dinamis, kompetitif dan tentu saja profesional.
Sebagai penutup, in my humble opinion, satu langkah gentle yang harus diambil adalah pengunduran diri dari ketua umum PSSI. Bukan karena mengaku salah tetapi sebagai bentuk pertanggungjawaban moral terhadap kejadian memilukan yang menjadi noda hitam sepanjang sejarah persepakbolaan kita.
Sebagaimana bisa kita ambil contoh, saat ketua umum PSSI mengatakan stadion JIS tidak memenuhi syarat FIFA sehingga tidak layak menjadi venue laga matchday FIFA antara Indonesia vs Curacao. Nah, kejadian 1/10 ini juga sangat-sangat tidak memenuhi standar FIFA, please........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H