Pemerintah akhirnya mengambil kebijakan simalakama yang tak populer dengan menaikkan harga BBM bersubsidi (pertalite dan solar) serta BBM non subsidi (Pertamax), pada Sabtu (3/9/2022) mulai pukul 14.30 WIB, di saat negara ini sedang berjuang keras untuk pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Sejumlah kalangan menyayangkan dan bahkan mengkritik keras kebijakan ini, bagi mereka naiknya harga BBM ini akan membawa dampak suram dan berat bagi pemulihan ekonomi rakyat.Meski, juga dipahami bahwa kondisi keuangan negara yang semakin tertekan akibat membengkaknya subsidi BBM akibat melonjaknya harga minyak dunia.
Pilihan yang berat bagi pemerintah, antara menahan harga agar tetap tidak naik dengan resiko terbebani dengan besarnya subsidi yang harus diberikan atau menaikkan harga BBM dengan memberikan bantuan sosial kepada sekitar 26 juta lebih masyarakat yang berpenghasilan dibawah Rp 3.5 juta sebagai kompensasi terhadap kenaikan harga BBM.
Dua pilihan yang sama-sama tidak sederhana, perlu untuk dipahami bahwa BBM bukan sekadar komponen biaya energi dan biaya transportasi kendaraan, baik kendaraan publik maupun kendaraan pribadi yang naik, akan tetapi akan berdampak ke hampir semua sektor, baik itu sektor ekonomi maupun sosial masyarakat akan terdampak.
Dalam kondisi pandemi covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, kemudian situasi dan kondisi global yang memanas akibat krisis Rusia-Ukraina yang mana kesemuanya ini membuat harga-harga komoditas melonjak tajam, bukan saja minyak, akan tetapi bahan-bahan lainnya seperti tepung terigu (gandum), obat-obatan, pupuk, pakan ternak dll.
Nah, di saat harga-harga komoditas khususnya yang diimport mengalami lonjakan harga, tetiba pemerintah disaat yang bersamaan menaikkan harga BBM, bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang harus dihadapi oleh para pelaku usaha, disaat input biaya produksi mahal harus dibebani lagi dengan kenaikan harga BBM.
Di dalam hukum pasar harga jual harus lebih besar dari harga produksi + harga distribusi, berarti secara otomatis rakyat yang akan terbebani dengan harga kebutuhan yang mahal, nah jika penghasilan tidak bertambah, maka tentu saja daya beli rakyat akan turun, dan jika daya beli turun akan berdampak pada suply dan demand bagi dunia usaha.
Sepertinya momentum menaikkan harga BBM dalam hal ini Pertalite, Solar dan Pertamax adalah kurang tepat, seharusnya ada kreatifitas yang lebih dari pemerintah untuk merumuskan skema yang tepat dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sulit ini. Janganlah memberikan angin surga bagi masyarakat dengan bantuan sosial yang hanya menyasar pada sebagian rakyat dan mengabaikan sebagian rakyat lainnya.
Dalam situasi dan kondisi yang belum sepenuhnya pulih dari keterpurukan akibat pandemi covid-19, keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap rakyat harus betul-betul diimplementasikan, disini masih saatnya pemerintah hadir bersama rakyatnya untuk berjuang menuju pulih dan bangkit.Â
Bukannya malah terkesan menjadi kapitalis yang memaksa rakyat berjuang sendiri menghadapi situasi dan kondisi sulit yang membutuhkan negara untuk hadir dengan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, khususnya rakyat dari kelas menengah dan bawah.
Satu contoh, hal yang tidak biasa adalah pengumuman kenaikan harga BBM itu dilakukan dan diberlakukan di siang hari. Bukannya ingin membandingkan dengan kebijakan di jaman orde baru, dimana pengumuman kenaikan harga BBM dilakukan dan diberlakukan saat tengah malam pukul 00.00.Â
Mengapa ini penting, ini bukan masalah mengelabui masyarakat dengan kenaikan yang tiba-tiba. Jika dilakukan dan diberlakukan tengah malam, hampir sebagian besar stok BBM hari itu telah habis terjual. Ketika esok harinya harga beli dan harga jual SPBU sama berlaku harga yang baru.
Lain halnya dengan pemberlakuan harga baru di pukul 14.30, ini sama sekali tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih cenderung menguntungkan pengusaha dalam hal ini, SPBU. Betapa tidak, di jam begitu persediaan BBM yang harusnya dijual dengan harga lama tentu masih banyak yang tersimpan di tangki SPBU (belum terjual).Â
Nah berarti, pengusaha SPBU akan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari selisih harga lama dengan harga baru yang berlaku. Dan bagi masyarakat yang seharusnya membeli dengan harga lama, namun misalnya karena satu dan lain hal belum sempat membeli sebelum pukul 14.30, tentu akan dirugikan, yang tadinya bisa mendapat 4 liter tetapi jadinya hanya bisa mendapat 3 liter saja.
Menaikkan harga BBM sejatinya bukanlah hal yang sederhana, bukan hanya menyangkut pertimbangan keuangan negara, ekonomi, sosial dan juga politik, akan tetapi juga harus melihat momentum serta sense of belonging atas rakyat dari negeri kita yang tercinta ini.Â
Salah satu alasan penting dari membengkaknya subsidi BBM ini adalah akibat banyak BBM subsidi yang digunakan oleh orang yang tidak berhak (Orang berada). Sungguh bukanlah hal yang sulit untuk melihat mana yang kaya dan mana yang bukan saat akan membeli BBM di SPBU, mulai dari petugas SPBU hingga masyarakat bisa menjadi penilai mana yang bisa membeli BBM bersubsidi.
Namun, nasi telah menjadi bubur. Mau tidak mau masyarakat harus bisa beradaptasi dengan keadaan, kenaikan harga BBM ini jelas akan membawa dampak signifikan yang tidak mudah bagi banyak orang. Resiko pertama yang akan kita hadapi adalah inflasi. Sebagai contoh saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2013 dan 2014, hal itu menyebabkan tingkat inflasi mencapai 8, 38 persen dan 8, 36 persen.
Selain inflasi kenaikan harga BBM juga berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi yang bisa saja pertumbuhan ekonomi kita terkoreksi dari proyeksi 4,9 persen menjadi di bawah 4,5 persen. Begitu juga dengan konsumsi rumah tangga akan berpotensi menurun akibat kenaikan harga BBM ini.
Kenaikan harga BBM bersubsidi juga diprediksi akan memicu terjadinya pelemahan nilai tukar  rupiah akibat terjadinya inflasi domestik. Apalagi jika The Fed juga menaikkan nilai suku bunga acuan, maka tekanan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah semakin berat.
Efek domino kenaikan harga BBM juga akan berdampak pada dunia kerja. Dimana kenaikan harga BBM, mau tidak mau akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, menurunnya daya beli masyarakat tentu akan menjadikan dunia usaha melakukan pengurangan produksi, dan ini akan berpotensi membuat dunia usaha merumahkan pekerjanya/karyawannya. Salah satu yang rentan terhadap penurunan daya beli masyarakat adalah industri tekstil dan garmen.
Terkait kompensasi BLT hanya bagi masyarakat yang berpenghasilan dibawah Rp 3.5 juta yang jumlah lebih dari 26 juta orang, ini juga masih jauh dari kata adil. Bisa dibayangkan, bagaimana dengan masyarakat yang berpenghasilan sedikit di atas jumlah itu, yaitu 3.5-4 juta, apakah mereka sudh cukup dan tak perlu lagi dibantu?.
Sebuah contoh sederhana, namun kondisi ini banyak terdapat di masyarakat kita. Seorang yang berpenghasilan Rp 5 juta dengan seorang istri yang hanya sebagi ibu rumah tangga biasa dengan 1, 2 atau 3 anak tentu lebih sulit kehidupannya daripada orang yang berpenghasilan Rp 3.5 juta tetapi masih bujang. Atau bagaimana dengan dua orang (suami-istri) yang sama-sama bekerja dengan penghasilan Rp 3.5 juta dan mereka berdua dinilai lebih layak menerima BLT, ketimbang yang berpenghasilan Rp 5 juta seperti di atas.
Bagaimana pula nasib tenaga kerja/guru honorer yang sampai saat ini belum terangkat dan bahkan terancam dihapuskan di tahun 2023 nanti. Berapa salary mereka ini? Rp 3.5 juta bukannya per bulan buat mereka tapi bisa jadi itu honor mereka selama 7 bulan, dan alhamdulillah ternyata mereka tidak termasuk dalam skema orang-orang yang perlu diberi kompensasi akibat kenaikan harga BBM ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H