Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perundungan Anak Momok yang Terus Menghantui, Hentikan!

22 Juli 2022   23:12 Diperbarui: 23 Juli 2022   07:54 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang peringatan hari anak nasional yang jatuh pada 23 Juli 2022 ini, dunia anak dihebohkan dengan berita tewasnya seorang bocah di Tasikmalaya akibat mengalami perundungan yang dilakukan oleh rekan sendiri.

Mirisnya perundungan yang dialami oleh si anak selain penganiayaan fisik juga mengalami sesuatu yang sebenarnya bukan konsumsi anak-anak yaitu dipaksa bersetubuh dengan kucing, direkam lalu disebarkan. 

Sungguh ini sesuatu yang sangat memiriskan, dan ini bukanlah sebuah fenomena kenakalan anak-anak biasa, ini sudah menggambarkan ada sesuatu yang darurat yang dialami oleh dunia anak-anak kita.

Peristiwa demi peristiwa perundungan terus saja terjadi, dan bentuk serta ketragisan perundungan yang dilakukan juga semakin memiriskan.

Kita mungkin masih ingat, kisah tragis beberapa tahun silam yang menimpa seorang gadis remaja yang masih duduk di bangku SMP, bernama Audrey yang masih berusia 14 tahun dan dianiaya oleh 12 orang siswa SMA, yang dalam hal ini anak-anak SMA brutal ini masih dikategorikan sebagai anak-anak. 

Melihat bentuk-bentuk dan perilaku perundungan yang terjadi, yang semakin menunjukkan gambaran kesadisan yang telah melampaui batasan dunia anak-anak, kejadian demi kejadian yang terjadi sudah seharusnya menjadi alarm bahaya yang berbunyi nyaring yang mengharuskan kita segera mengambil sikap dan tindakan kongkret secara komprehensif.

Anak-anak adalah masa depan bangsa, sudah menjadi tanggung jawab kita secara bersama untuk melindungi anak-anak kita agar mereka bisa tumbuh dengan merdeka menjadi anak-anak yang berguna dan membanggakan bangsa dan negara.

Sungguh celakalah bagi bangsa ini, jika (meski secara tidak langsung) memberikan ruang bagi anak-anak menjadi mangsa dan sekaligus menjadi monster dari kalangan mereka sendiri.

Merilis dari laman kpai.go.id, KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.

Gambaran ini tentu menjadi sesuatu yang memprihatinkan kita, apalagi dalam rilis tersebut dikatakan bahwa 'trennya terus meningkat'.


Seperti diketahui pemerintah mempunyai misi mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya profil pelajar pancasila. Dalam hal ini, otoritas pendidikan mempunyai kewenangan untuk berupaya mewujudkan peserta didik yang memiliki profil pelajar pancasila. Dan hal tersebut dapat tercapai jika tercipta sebuah ekosistem sekolah yang kondusif dan saling mendukung.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa kini dunia pendidikan harus menjadi ujung tombak menciptakan generasi penerus yang memiliki profil pelajar pancasila. 

Salah satu upaya prioritas adalah dengan mencegah tindak kekerasan di lingkungan sekolah, dengan menciptakan dan menumbuhkan interaksi pergaulan yang harmonis, kebersamaan antar para peserta didik, antara peserta didik dengan pendidik, tenaga kependidikan dan orang tua serta masyarakat.

Sebenarnya dari segi regulasi kita punya Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, namun apakah ini sudah efektif diterapkan dan dilaksanakan di semua satuan pendidikan?

Apakah otoritas pendidikan kita sudah melakukan monitoring dan evaluasi terkait implementasi dari peraturan tersebut?

Karena sepertinya keberadaan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 ini belum tersosialisasi dengan baik ke semua jenjang, karena dari hasil pengawasan KPAI di sejumlah sekolah yang terdapat kasus kekerasannya ternyata pihak sekolah tidak mengetahui Permendikbud tersebut.

Perundungan pada anak dan oleh anak ini adalah sesuatu yang dilematis, di satu sisi anak harus mendapatkan hak-haknya sebagai anak, bukan saja buat anak yang menjadi korban akan tetapi juga bagi anak yang menjadi pelaku. Di sisi lain ada pihak korban yang mempunyai hak memperoleh keadilan dari hal yang menimpanya.

Ilustrasi perundungan pada anak (sumber: pixabay)
Ilustrasi perundungan pada anak (sumber: pixabay)

Bukan mustahil bahwa anak yang menjadi pelaku, pada akhirnya dengan pertimbangan hak-hak anak justru diperlakukan sama sebagai korban, yang boleh jadi hal ini akan menggores rasa keadilan dari korban yang sebenarnya.

Bisa kita bayangkan, dari sisi korban tentu menuntut keadilan yang setimpal atas apa yang dideritanya, itu pun belum tentu bisa menghapus begitu saja rasa sakit yang dirasakan oleh korban dan orangtuanya. 

Sebagai contoh dari bocah F yang dipaksa bersetubuh dengan kucing, direkam dan lalu disebarkan yang membuatnya di-bully habis-habisan, namun sungguh malang baginya tak mampu berbuat apa-apa mengingat dirinya sebagai anak kecil yang hanya bisa diam, menderita dan akhirnya meninggal dunia, orang tua mana yang bisa terima musibah seperti ini?

Di lain sisi, para pelaku juga masih anak-anak yang tentu penanganannya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, dan dalam hal ini tuntutan keadilan dari pihak korban jelas tidak mungkin tercapai.

Apakah perundungan ataupun kekerasan terhadap anak ini bisa dihilangkan? Tentu saja jawabannya mungkin tidak, karena ada begitu banyak faktor yang bisa menjadi pencetus terjadinya hal tersebut. Akan tetapi sudah menjadi kewajiban kita semua untuk melakukan upaya-upaya preventif yang maksimal, pertanyaannya apakah kita sudah melakukan upaya yang maksimal itu?

Sudah seharusnya kita menempatkan masalah perundungan terhadap anak ini sebagai titik fokus utama, dan sebisanya masalah ini zero tolerance, artinya jangankan sepuluh kasus, satu kasus pun itu sudah menjadi coreng di wajah peradaban kita sebagai bangsa yang beradab.

Berbicara mengenai anak, bagi sebahagian besar orang itu adalah hal yang utama, semua kasih sayang, semua harapan, dan semua kerja keras diperuntukkan untuk anak. 

Nah, orangtua mana yang tega melihat anaknya mendapatkan perundungan, apalagi perundungan yang ekstrim sebagaimana yang dialami bocah F dan juga Audrey seperti yang disebutkan sebelumnya di atas.

Memang disadari, bahwa banyak faktor yang bisa menyebabkan anak melakukan perundungan, mulai dari kebiasaan di lingkungan terdekat (keluarga), lingkungan tempat tinggal serta pengaruh yang begitu agresif dari media sosial yang begitu mudah diakses oleh anak-anak.

Namun, di balik semua itu anak tetaplah harus ditempatkan sebagai subyek yang harus diproteksi dari hal-hal yang negatif bagi tumbuh kembang diri dan jiwanya, fisik dan mentalnya. Dan sebaik-baik tempat untuk hal tersebut di zaman ini adalah di sekolah. 

Mengapa di sekolah? Karena di zaman sekarang, berapa banyak keluarga yang memiliki quality time atau bahkan waktu biasa saja untuk mendampingi putra-putrinya, kalaupun ada yang punya waktu, apakah mereka tahu dan mengerti apa dan bagaimana cara mendidik anaknya.

Sekolah dengan iklim yang kondusif (harus diciptakan) akan sangat membawa dampak positif bagi siswa, bukan hanya aturan, guru konseling, tetapi anak didik perlu semacam pelajaran khusus terkait etika pergaulan dan bahaya perundungan, namun bukan untuk diujikan tetapi untuk diimplementasikan dalam pergaulan baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan bukan pelajaran semesteran akan tetapi pelajaran yang harus terus diajarkan dan di-refresh di setiap kesempatan.

Mari jadikan momentum Hari Anak Nasional tahun 2022 ini sebagai langkah awal keseriusan kita bersama untuk mencegah dan sekaligus menghapus perundungan dari dunia anak-anak kita.

Mungkin ini sesuatu yang berat dan sulit, akan tetapi itu harus kita lakukan dan negara harus hadir sebagai ujung tombak, karena kebijakan ada ditangannya dan demikian pula dengan aturan ada dalam kewenangan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun