Seiring dengan berjalannya reformasi sistem pemerintahan di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1998, yang salah satunya ditandai dengan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi.Â
Dengan desentralisasi sistem pemerintahan diyakini dapat mewujudkan keadilan di segala bidang baik itu di bidang pembangunan, bidang pelayanan publik hingga di bidang politik (political equity).
Dengan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan maupun politik di tingkat lokal.
Salah satu wujud yang dipandang perlu untuk memaksimalkan pelaksanaan desentralisasi adalah pemekaran wilayah. \
Hal ini diyakini merupakan bentuk langsung dari tanggung jawab pemerintah daerah (local accountability) dan demokratisasi yang didasari pertimbangan bahwa pemerintah daerah lebih tahu dan mengerti persoalan di daerahnya.
Dengan adanya reformasi sistem pemerintahan ini, sejak awalnya hingga saat ini berimbas pada trend pemekaran daerah.Â
Fenomena euforia masyarakat di berbagai wilayah untuk membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) banyak bermunculan seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat pada era reformasi, baik dinamika politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Euforia masyarakat yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya, bersinergi dalam memperjuangkan aspirasi lokalnya.Â
Bahkan pemekaran daerah semakin sensual dengan munculnya keterlibatan para elite politik di tingkat pusat dalam mengangkat isu tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui mekanisme partai maupun kolaborasi politiknya.
Pemekaran wilayah, baik itu wilayah Propinsi maupun kabupaten/kota ini menguat sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.Â