Pergantian personel kabinet Presiden Jokowi kembali bergulir pada Rabu, 15/6 kemarin. Reshuffle kabinet yang dimaksudkan demi peningkatan kinerja ini melibatkan pergantian dua menteri serta tiga wakil menteri.
Namun demikian, oleh sebagian kalangan reshuffle yang terjadi justru dimaknai lebih sebagai bentuk penguatan posisi politik pemerintahan sekarang dibandingkan dengan tujuan peningkatan kinerja kabinet secara keseluruhan.
Jika merujuk pada kepentingan percepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi serta target pembangunan yang harus dicapai menjelang akhir pemerintahan Presiden Jokowi, tentu saja reshuffle tidak saja melibatkan dua kementerian yang kemarin direshuffle.
Tetapi ada beberapa kementerian lainnya yang sebenarnya juga perlu dilakukan penyegaran demi peningkatan kinerja di kementerian.
Evaluasi pada kementerian tentunya tidak dari sudut kinerja saja akan tetapi juga aspek leadership, managerial, profesionalitas, integritas serta loyalitas.Â
Dan yang jauh lebih penting saat ini demi menciptakan kondusifitas politik menjelang 2024 adalah adanya dukungan publik serta dukungan politik.
Nah, yang menjadi pertanyaan sudah tepatkah reshuffle yang baru saja bergulir ini? Masuknya Zulkifli Hasan dalam kabinet sebagai menteri perdagangan menggantikan M. Luthfi, apakah bisa menyelesaikan persoalan yang menyelimuti kementerian perdagangan?Â
Begitu juga dengan masuknya Hadi Tjahjanto. Mantan Panglima TNI yang menggantikan Sofjan Djalil sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), apakah sudah tepat dan mampu menjawab tantangan reformasi agraria yang sepertinya masih berjalan di tempat?
Zulkifli Hasan yang notabene adalah politikus yang sementara menjabat sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) akan semakin menjauhkan perimbangan politik tanah air.
Memang jika dilihat dari realitas bahwa kini konsolidasi  koalisi pemerintah tentu semakin kuat, dimana hanya menyisakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat saja yang tidak masuk ke dalam koalisi dan bergabung di dalam kabinet.
Tetapi harus disadari bahwa kepentingan politik bukan hanya sekedar banyak dan besarnya koalisi.Â
Dalam hal dukungan politik tentu pemerintah sudah mendapatkannya, tetapi dukungan publik tentu masih menjadi tanda tanya besar, semuanya akan bergantung pada profesionalitas para pembantu presiden itu menerjemahkan kebijakan dan keinginan presiden yang selama ini telah sering kita lihat dan dengar mengeluhkan kinerja dari beberapa kementerian.
Pekerjaan rumah besar menanti Menteri Perdagangan yang baru. Satu yang yang menjadi sorotan utama publik saat ini adalah persoalan minyak goreng, carut marut tata niaga minyak goreng yang belum juga tuntas sampai saat ini.Â
Bahkan beberapa pejabat di kementerian telah tersangkut dalam perkara korupsi dan bukan tidak mungkin akan ada lagi tersangka baru ataupun saksi baru dari kementerian perdagangan.
Persoalan minyak goreng begitu pelik, yang memerlukan penyelesaian win-win solutions bagi pemerintah sendiri, pengusaha, petani dan masyarakat sebagai konsumen akhir.Â
Persoalannya sampai sekarang sudah begitu banyak kebijakan yang ditelurkan, namun proses di tingkat sirkulasi masih tetap menjadi persoalan yang menyebabkan semua tujuan dari kebijakan harga tidak pernah tercapai.
Selain persoalan tersebut, Zulkifli Hasan juga dihadapkan pada persoalan lain yakni persoalan import gandum dan bahan olahannya, daging dan juga kedelai yang sekarang mengalami kelangkaan akibat perang Rusia-Ukraina yang belum juga ada tanda akan berakhir.
Kalau dilihat sebenarnya kebijakan yang telah ditempuh oleh menteri sebelumnya telah sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.Â
Namun, toh hasilnya belum bisa mencapai apa yang diinginkan, untuk itulah diperlukan terobosan dan kebijakan yang berani, cepat dan tepat dari seorang menteri yang baru. Dan apakah itu ada pada sosok Zulkifli Hasan?
Apakah Zulkifli Hasan bisa fokus pada tantangan tugasnya sebagai pembantu presiden, ataukah beliau sebagai ketua umum partai harus lebih memfokuskan diri bagi kepentingan partainya dalam menghadapi Pemilu yang dalam konstalasi politik 2024 akan sangat ketat dan penuh tantangan.
Setali tiga uang persoalan yang dihadapi kementerian ATR/BPN juga memerlukan kerja berani, cepat dan tepat.Â
Secara umum tentu sosok Hadi Tjahjanto sebagai mantan Panglima TNI adalah jawaban tepat untuk menyelesaikan persoalan yang mengganjal di kementerian ATR/BPN ini.
Namun, perlu disadari bahwa kompleksitas persoalan agraria ini telah berakar dan carut marut tidak saja melibatkan kebijakan yang masih tumpang tindih, akan tetapi melibatkan kepentingan pemodal, rakyat kecil serta yang paling parah mafia tanah.
Persoalan yang dihadapi kementerian ATR/BPN ini harus dijawab oleh orang yang tepat selain profesional tentunya harus punya pemahaman atas kondisi dan situasi carut marutnya persoalan agraria. Apakah itu ada pada pada sosok menteri ATR/BPN yang baru? masih harus kita lihat.
Pekerjaan rumah pertama menteri ATR/BPN tentu saja adalah persoalan reformasi agraria yang memang menjadi fokus prioritas dari pemerintahan Presiden Jokowi. Yang salah satunya adalah masalah sertifikasi tanah yang tak kunjung-kunjung tuntas.Â
Menurut Presiden Jokowi sendiri dari target 126 juta orang yang memiliki sertifikat tanah pada 2015, yang terpenuhi hanya mencapai 46 juta orang (rakyat).
Nah, persoalan di atas berkelindan dengan permasalahan mafia tanah yang meski sudah banyak yang diproses hukum, namun belum juga usai membuat masalah serta belum mendapatkan solusi.Â
Mafia tanah ini masih banyak berkeliaran mencari mangsa di tengah masyarakat dan kapan saja siap merebut lahan milik masyarakat.
Hal lainnya yang juga menjadi pekerjaan rumah menteri Hadi Tjahjanto adalah persoalan sengketa lahan, baik antara masyarakat dengan masyarakat, maupun antara masyarakat dengan korporasi, utamanya di sektor pertambangan.Â
Persoalan ini bukan masalah sepele, ini bukan saja persoalan yang memperhadapkan kepentingan investasi dan kepentingan masyarakat kecil, akan tetapi ini akan membawa dampak politik yang tidak kecil jika solusinya hanya memenangkan kepentingan investasi.
Hampir senada dengan persoalan sengketa lahan di sektor pertambangan adalah persoalan HGU perusahaan sawit yang terindikasi banyak yang melanggar aturan.
Ini adalah pekerjaan rumah yang tidak ringan dan seharusnya tidak dijawab dalam bingkai kepentingan politik, namun harus dalam bingkai kepentingan pembangunan.
Adapun pelantikan tiga wakil menteri yang seharusnya menjawab tantangan reformasi birokrasi dengan mewujudkan merit system dalam birokrasi.
Namun, dalam kenyataannya yang terlihat justru jauh lebih kental dengan kepentingan politik dengan penempatan orang-orang partai politik, terlepas dari kapasitas pribadi ketiga wamen yang dilantik, yang mungkin saja punya latar belakang yang mumpuni untuk mengemban jabatan yang diamanatkan.
Tetapi kesan kepentingan politik jauh lebih kuat, apalagi mengingat tantangan pembangunan yang semakin krusial seharusnya para profesional yang lebih tepat untuk posisi ketiga wamen tersebut, jika memang benar-benar dibutuhkan.
Seluruh rakyat mengharapkan kabinet yang ada, adalah benar-benar kabinet yang profesional, yang bisa diandalkan dan mampu menjawab tantangan berat yang kita hadapi, sebagai warisan Presiden Jokowi pada akhir masa pemerintahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H