Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjual Terompet

22 Juni 2020   06:48 Diperbarui: 22 Juni 2020   07:07 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENJUAL TEROMPET
Saat itu malam tahun baru. Sudah sejak sore Sangkala' menggelar dagangannya di pojok taman kota, dimana biasanya menjadi tempat ramai berkumpulnya warga menyambut datangnya tahun baru. Ingin rasanya ia merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah dan tidur pulas mendengkur di atas balai bambu beralaskan kasur busa tipis di kamarnya. Namun hatinya miris, bayangan penghasilan dari penjualan terompet yang diharapkannya laris manis, ternyata jauh dari apa yang dibayangkannya, sudah satu minggu ini Sangkala' menjual terompetnya tapi terompet yang laku tak sampai dari seperempatnya, sudah dua tahun terakhir ini omzet dari penjualannya jauh menurun. 

"Begitu sengsaranya hidupku ini" begitu Sangkala' membathin dalam hatinya sambil sesekali meniup terompet jualannya, untuk menarik hati anak anak kecil yang ikut bersama orang tuanya, agar minta dibelikan terompet, tapi tak satupun yang singgah walau hanya untuk sekedar bertanya berapa harga terompetnya. Sambil terkantuk kantuk Sangkala' tetap bertahan dengan harapan semoga malam ini dagangannya habis atau setidaknya modalnya bisa balik dan ada sedikit kelebihan sebagai pengganti dari  lelahnya.

Untuk menjaga supaya tidak jatuh tertidur, Sangkala' meneguk kopinya langsung dari thermos kecil yang sengaja dibawanya, digeleng gelengkannya kepalanya berusaha mengusir rasa pahit dari kopi yang sengaja ia buat kental. "Sayang anak... sayang anak..." teriak Sangkala' sambil meniup keras terompetnya, seorang bapak yang kebetulan pas melintas disamping Sangkala' terlihat kaget mendengar suara bising terompet yang tiba tiba ditiup oleh Sangkala', bapak itu marah dan mengomel lalu pergi sambil bersungut sungut. "Dasar orang kaya buta hati"gerutu Sangkala' sambil menggeretakkan giginya memandang bapak itu dengan penuh kebencian. Orang orang terus saja berlalu lalang tanpa peduli pada dagangan Sangkala', yang masih menumpuk belum laku terjual. "Terompet pak..., terompet bu...".

Sangkala' coba menawarkan terompetnya pada bapak bapak dan ibu ibu yang lewat didekat jualannya, tapi tak satupun yang berminat pada apa yang dia tawarkan, ada yang memandangnya dengan biasa biasa saja, ada pula yang memandangnya lucu, dan bahkan ada yang memandang dengan jijik padanya. Sangkala' mengutuk kemiskinannya, kemiskinan yang membuatnya menjadi tersisih dari geliat kehidupan, kemiskinan yang membuatnya hanya menjadi penonton dan tak pernah bisa ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial sebagai subjek, dimana dirinya telah bosan selalu menjadi objek dari ritual sosial orang orang kaya yang mencari panggung kehidupan. 

Sangkala' begitu kecewa pada pandangan orang orang yang memandang kemiskinan adalah buah dari kemalasan, tidak tahukah mereka di saat mereka sedang menikmati kemeriahan pesta pergantian tahun ini, ia dan banyak lagi teman temannya yang tergolong miskin masih berjibaku mengais rezeki yang mungkin saja masih ada yang tercecer, tidak tahukah mereka bagaimana Laongge ipar Sangkala' yang bekerja sebagai petugas kebersihan honorer, di subuh yang masih buta, disaat mereka mereka yang mengaku kaya itu masih terlelap dalam tidurnya yang pulas, Laongge dan kawan kawan sudah harus bekerja mengangkat sampah sampah mereka yang menggunung menyebar busuk dan kuman penyakit, dan di saat mereka mereka yang mengaku kaya itu sedang menikmati istirahat siangnya, Laongge dan kawan kawan baru akan membersihkan dirinya dari segala kotoran dan bau yang telah mereka bawa dari rumah rumah orang orang yang merasa kaya itu. Apakah itu semua yang disebut kemalasan?

Sangkala' mengepalkan tinjunya "Terkutuklah kalian.... wahai orang orang kaya yang sombong" Sangkala' menyumpah saking kesalnya. Tiba tiba Sangkala' dikejutkan oleh rengekan anak kecil yang merajuk minta dibelikan terompet, seorang ibu muda yang nampaknya dari golongan orang orang yang senasib dengan Sangkala', bersama tiga orang anaknya, mereka mencoba membuang kepenatan hidup mereka dengan ikut berbaur sejenak untuk menghilangkan tekanan kehidupan dengan ikut menikmati kemeriahan dari pesta tahun baru yang sengaja diselenggarakan oleh pemerintah kota. "Berapa satu terompetnya pak ?" tanya si ibu itu. "Sepuluh ribu saja" jawab Sangkala'. 

Sang ibu itu termenung sejenak, uangnya hanya cukup untuk membeli satu terompet, dan ia yakin anaknya pasti akan menangis jika ada yang tidak dapat, ibu itu coba membujuk sang kakak agar mau mengalah dan berbagi terompet dengan adik adiknya, tapi sang kakak menggeleng tak mau. Sangkala' yang mengerti akan kondisi dilematis sang ibu, ia juga tahu bagaimana perasaan anak anak, dan pula demi segera lakunya jualannya, apalagi ia yakin bahwa jualannya pasti akan banyak yang tersisa tidak laku. 

"Ini bu ambil tiga terompet untuk adik adik, bayar berapa saja" kata Sangkala' sambil menyodorkan terompet kepada masing masing bocah yang menyambutnya dengan senyuman gembira. "Ini uang saya cuma delapan belas ribu pak" kata si ibu ragu ragu ingin menolak terompet dari Sangkala'. "Yah sudah bu, uang delapan belas ribu itu juga rezeki" kata Sangkala' sambil menerima uang dari si ibu. "Makasih ya pak !!!.... ayo bilang terima kasih sama om" kata si ibu menyuruh anaknya untuk tahu dan belajar bersyukur dan berterima kasih atas setiap nikmat. Yah orang miskin itu begitu tahu diri dan mereka sangat menghargai pertolongan orang lain. 

Belum jauh si ibu beranjak, muncul dua orang anak kecil yang kelihatannya berminat membeli terompet, tapi setelah menanyakan harganya, seorang anak rupanya urung membeli karena uangnya tidak cukup. "Berapa uang kamu dek" tanya Sangkala' kepada si anak, "Cuma tujuh ribu" jawab anak itu polos. "Yah sudah, lima ribu saja, yang dua ribunya buat kamu jajan" kata Sangkala' seraya memberikan terompet terbaik yang dipilihkannya kepada kedua orang anak itu, dan mereka menerimanya dengan senang hati dan segera berlari sambil berucap. "Terima kasih oommm....". Belum hilang senyum bahagia Sangkala' melihat kegembiraan anak anak itu, terdengar suara seorang bocah kecil yang merengek minta terompet. 

Sangkala' lantas menoleh dan dilihatnya bocah kecil itu bersama dengan kedua orang tuanya dan seorang kakaknya yang kelihatannya mereka adalah orang berada, Sangkala' tersenyum berharap dagangannya akan dibeli, namun apa yang didengar oleh Sangkala', ibarat palu godam yang menghantam keras kepalanya dan membakar jiwanya. "Jangan beli itu.... itu penyakit, itu kotor, beli yang lain saja yah !!!" si bapak membujuk anaknya. Mendengar itu Sangkala' berusaha untuk tetap tegar, meski bathinnya merasa terkoyak, dibuangnya nafas pelan pelan sambil beristighfar. 

Dendam Sangkala' pada orang kaya semakin dalam. Betapa tidak, Sangkala' merasa keterpurukannya ini adalah ulah mereka mereka yang mengaku kaya ini, yang sok peduli pada kemanusian, yang sok peduli pada kesehatan, yang menyebarkan isu isu berantai di media media sosial setiap menjelang tahun baru, tulisan yang mereka kemas seapik apiknya, yang isinya adalah jangan membeli terompet karena terompet itu kotor, mengandung kuman penyakit, sebelum dijual pembuat terompet pasti akan mengetes terompetnya, dan diujung terompet itu akan ada bekas air mulut pembuatnya, dan air mulut itu mengandung kuman, begitulah kampanye jangan membeli terompet, dan ini ditambah lagi dengan orang orang yang pada sok agamais yang sudah berkemampuan bermain sosial media yang mengkampanyekan kalau terompet adalah budaya yahudi, dan perbuatan bi'dah dengan segala macam argumennya, yang membuat orang orang seperti Sangkala' menangis kehilangan pembeli dari satu satunya harapan mereka mencari rezeki, yakni membuat dan menjual terompet. 

Mereka bangga menulis informasi yang menurut mereka menyelamatkan kehidupan orang lain, padahal mereka tak sadar informasi yang mereka sampaikan itu justru secara langsung menyulitkan kehidupan orang lain seperti Sangkala'. Mereka tidak pernah mau tahu dan mereka juga tidak pernah mau peduli bagaimana nasib pedagang terompet yang mereka isukan itu. 

Padahal Sangkala' paham untuk menjaga kebersihan terompet buatannya, yang untuk mengetes bunyinya, Sangkala' punya alat buatan sendiri yang berupa pompa yang mengeluarkan angin. Masalah budaya yahudi dan bi'dah segala macam, bagi Sangkala' ia serahkan kepada Allah sang maha pencipta, bagi Sangkala' ilmu dan pengetahuan agama itu untuk menjadi pegangan dan tutunan bagi diri sendiri, bukan untuk menilai dan menjatuhkan hukum kepada orang lain, karena itu adalah hak dari yang maha kuasa.

Sangkala' sebenarnya mau menjawab isu isu yang ramai di media sosial itu, tapi bagaimana ia bisa membalas, jangankan HP Android, HP jadul yang hanya bisa untuk senter saja ia tak mampu membeli, lagian urusan hidup Sangkala' ia merasa tidak butuh komunikasi lewat HP, toh kalau ada sesuatu yang penting, ia bisa minta tolong pinjam HP istri Laongge. Menit menit berlalu dengan cepat menuju pergantian tahun, bayangan kerugian sudah di depan mata Sangkala', ia pasrah, rasa lelah sudah memeluk seluruh tubuhnya, tapi keramaian suasana pesta tahun baru membuatnya tidak bisa tertidur, bukan saja karena suara ribut dan bising, tapi karena juga tak ada tempat yang kosong untuknya sekedar membaringkan tubuh mengusir penatnya. 

Serombongan anak muda yang sepertinya sedang mabuk tiba tiba datang. "Berapa ini pak terompetnya" tanya salah seorang dari mereka dengan suara mabuk. "Sepuluh ribu dek" jawab Sangkala' sambil memasang senyum memelasnya, takut jualannya tidak akan dibayar. "Oh iya pak beli sepuluh biji" kata pemuda itu sambil menyodorkan uang seratus ribuan kepada Sangkala', yang begitu bersyukur menerimanya, ia menyesal telah berprasangka buruk kepada mereka yang disangkanya mabuk, Sangkala' mengucapkan banyak terimakasih sambil tersenyum puas, lumayan laku sepuluh buah terompet, ini bisa sedikit menutupi kerugian Sangkala'.

Hitungan mundur pergantian tahun baru malam itu sudah dimulai, dan "Duarr...". "Duaarrr,,,". "Duarrrr...." ledakan petasan dan kembang api bersahutan menyelimuti    seisi kota, panjang seakan tak berkesudahan, kemeriahan yang gemerlap yang disambut dengan gegap gempita oleh warga yang memenuhi taman kota, setiap ledakan petasan serta gemerlapan cahaya kembang api yang memancar dan berpijar indah di udara disambut dengan teriakan gembira oleh orang orang. Tapi tak demikian halnya dengan Sangkala', baginya setiap dentuman petasan dan percik indah cahaya kembang api  itu bagaikan tetesan air mata dalam jiwanya. 

Dia membayangkan harga sebuah petasan termurah yang dibunyikan itu, bisa untuk memberi makan bagi keluarganya dalam sehari. Namun bagi orang orang kaya itu sepertinya semua itu tidak ada artinya, mereka membakar 'uang' seperti halnya membakar kertas bekas yang akan dibuang ditempat sampah. Sepanjang satu jam kemeriahan pesta kembang api itu berlangsung tanpa henti, dan selama satu jam itu pula Sangkala' tak henti mengutuk sikap dan sifat orang orang kaya yang menurutnya bagaikan musang berbulu domba, bagai racun berwujud madu. Orang kaya itu hanya peduli pada dirinya, kemiskinan bagi orang kaya adalah makanan untuk mengukir eksistensi mereka, kemiskinan bagi orang orang kaya adalah panggung yang harus terus diciptakan, begitulah yang ada di dalam pikiran Sangkala'. 

Dibayangkannya waktu kejadian krisis ekonomi dulu, bagaimana orang orang kaya dengan paniknya memborong semua kebutuhan pokok, dan pedagang pedagang kaya menimbun barang barang kebutuhan, sementara orang orang miskin yang hanya bisa membeli secukupnya telah kehabisan stok, karena diborong dan ditimbun oleh orang orang kaya. 

Bagaimana ketika hari raya, orang orang kaya itu pada sibuk membeli segala kebutuhan menyambut hari raya, dan para pedagang pedagang kaya itu mulai menaikkan harga dagangannya, mereka orang orang miskin masih tetap berjuang mengumpulkan setiap sen untuk dipakai membeli kebutuhan hari raya, tapi ketika itu sudah terkumpul, apa yang akan mereka beli telah habis diborong oleh orang orang kaya, dan harganya pun telah mencapai langit. 

Orang orang kaya telah bahagia dengan segala persiapannya menyambut hari raya, mereka telah bahagia karena sudah selesai membayar zakat dan juga bersedekah, sementara mereka orang orang miskin hanya bisa merasa bahagia menunggu kedatangan petugas mesjid dan amil zakat yang datang mengantarkan kupon pembagian zakat dan sedekah, itupun harus dengan sedikit bujuk raya agar bisa dikasih kupon lebih.

Isu bahaya kelaparan tidak akan pernah menjadi ketakutan bagi orang orang kaya, karena kelaparan hanyalah menjadi momok bagi orang orang miskin, isu bahaya kelaparan bagi orang orang kaya justru disambut meriah, karena itu adalah ajang untuk berbuat bagi kemanusiaan menurut versi mereka, itu adalah panggung tempat segala kamera harus tersorot, mereka berlomba baik secara pribadi maupun organisasi, mereka begitu peduli memberikan ikan, tapi akan begitu sulit untuk memberi pancing karena kemiskinan harus terus dipelihara. 

Kemarahan Sangkala' pada orang kaya begitu membara, kemarahan yang kemudian menjelma menjadi kebencian mendalam dalam diri Sangkala'. Karena kelelahan Sangkala' pun jatuh tertidur di atas kursi taman, ia tak lagi memperdulikan dagangannya, ia telah terlelap dengan pulas bersama kemarahan dan kebenciannya. Di dalam lelapnya Sangkala' bermimpi. Mimpi yang tampak begitu jelas seperti sebuah kenyataan.

Sangkala' mendapati dirinya tertidur di ruangan yang sangat nyaman, full AC dan perabotan yang mewah, ia sempat tertidur pulas di sebuah kursi direktur yang empuk, sementara di atas meja yang sepertinya meja direktur terdapat banyak tumpukan surat surat, Sangkala' memperhatikan dirinya, ternyata ia bukan Sangkala' yang miskin lagi, ia adalah seorang pria yang gagah dan berpakaian necis, dalam balutan jas keren dengan jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya, cincin emas permata berkilau di jarinya, Sangkala' melihat berkeliling dan di sudut ruangan yang cukup besar itu duduk seorang wanita muda yang cantik, yang ketika melihat Sangkala' telah bangun, ia segera menghampiri Sangkala'. 

"Maaf pak Direktur.... ini surat surat dan dokumen dokumen  yang harus bapak tandatangani" kata wanita muda itu penuh hormat, yang ternyata adalah sekertaris pribadi Sangkala' sembari menunjukkan surat surat yang menumpuk butuh untuk segera ditandatangani oleh pak Direktur. Setelah selesai menandatangani semuanya, Sangkala' merasa lelah dan menggerutu dalam hatinya,"Ah... tanda tangan saja capeknya bukan main". Ia melihat jam rolexnya, ternyata sudah pukul dua siang, Sangkala' merasa sudah waktunya pulang, tapi dicegah oleh sang sekertaris. 

"Maaf pak... hari ini ada meeting jam tiga, terus jam lima ada pertemuan dengan investor dari Arab Saudi, jam delapan malam nanti ada undangan untuk bertemu menteri pertambangan" kata si sekertaris mengingatkan Sangkala' tentang agenda hari ini. "Aku capek... apa agenda hari ini tidak bisa ditunda besok ?" kata Sangkala'. "Tidak bisa pak, besok malah jadwal bapak lebih padat, ini jadwalnya bisa bapak lihat" si sekertaris menyodorkan sebuah buku berisi jadwal Sangkala'. Sangkala' kaget, dengan jadwal begitu, seharusnya satu hari itu bukan dua puluh empat jam, ia mulai merasa jadi orang kaya itu ternyata susah. 

Ketika selesai makan malam, sebelum berangkat memenuhi undangan menteri, si sekertaris tak lupa mengingatkan Sangkala' untuk meminum obatnya, dan ia segera mengambilkannya. "Ini multi vitamin pak" ujar si sekertaris seraya menyodorkan dua buah vitamin, yang segera diminum oleh Sangkala'. "Yang ini obat kolesterol pak" kata si sekertaris lagi. "Ini obat gula dan asam urat" kata si sekertaris sambil menyodorkan dua buah obat ke Sangkala', obat yang ditelan Sangkala' belum sampai ke perut. Si sekertaris menyodorkan lagi sebuah obat. "Ini pak yang terakhir obat tekanan darah". Sangkala' mulai mengutuk kehidupan orang kaya. 

Dibayangkannya dirinya yang miskin, yang setiap hari makan daun kelor, atau daun ubi serta daun pepaya dan pepaya muda yang tinggal petik di halaman rumah, semua itu yang ia makan menjadi obat bagi dirinya, begitu juga dengan ikan gabus yang hampir setiap hari jadi menunya, yang tinggal pancing di kali belakang rumah, menjadi obat karena katanya kaya dengan albumin yang baik bagi ginjal dan kesehatan tubuh. 

Namun ketika ia menjadi orang kaya justru obatlah yang lebih banyak menjadi makanannya, sementara itu makanan yang boleh dimakannya telah diatur, yang ini tidak boleh, yang itu tidak cocok, hampir hampir tak ada makanan yang boleh dimakannya. Hampir semua makanan yang menjadi makanan impian Sangkala' ketika jadi orang miskin tidak boleh ia makan. "Terus apa artinya jadi orang kaya kalau makan saja harus diatur dengan ketat" Sangkala' bertanya di dalam hati.

Pulang dari undangan Menteri, sudah tengah malam, kehidupan keras ibukota menjadi kekhawatiran Sangkala', takut mereka jadi korban kejahatan, begitu juga ketika sampai ke rumah, dilihatnya istrinya sudah lain, seorang wanita yang cantik dan seksi yang langsung membuat Sangkala' dilanda rasa cemburu, bagaimana tidak, dengan istri yang berpenampilan seperti itu dan ia yang setiap hari penuh dengan jadwal kerja, bisa jadi istrinya akan pergi mencari kepuasan dengan laki laki lain, bathin Sangkala' mulai menangis. 

Ketika akan berangkat tidur karena kelelahan yang amat sangat akibat dari banyaknya kegiatan hari itu, Sangkala' masih diliputi lagi dengan kecemasan, akan keamanan harta dan dirinya, bisa saja malam itu mereka didatangi oleh perampok, ini semua membuatnya tidak bisa terpejam, yang pada akhirnya obat tidur menjadi jalan keluarnya. 

Begitulah hari hari yang dilalui oleh Sangkala', semua penuh dengan jadwal, semua telah diatur tak boleh begini tak boleh begitu. Ketika Sangkala' kepingin makan di kaki lima sebagaimana kebiasaannya, tapi pengawalnya malah memperingatkannya, "tidak pantas pak, bapak ini seorang yang terhormat, alangkah memalukannya kalau harus duduk nongkrong makan di kaki lima" begitu kata pengawalnya.

Sangkala' sudah merasa tersiksa dengan kedudukannya sebagai orang kaya. Hari itu, begitu banyak permasalahan yang dihadapinya, ada demo buruh di Pabriknya yang menuntut kenaikan upah dan kesejahteraan, sekertarisnya yang tidak bisa masuk kerja karena anaknya tiba tiba sakit dan harus masuk ke rumah sakit. Sopir pribadinya minta tolong pinjam uang untuk biaya kuliah anaknya yang harus dibayarkan paling lambat hari ini. Belum lagi istrinya yang minta izin menggunakan villa di Puncak untuk arisan teman temannya. "Ah... entah masalah apalagi yang mau datang" gerutu Sangkala' yang melihat semua orang disekitar sepertinya punya masalah yang akan diadukan padanya. "Aku kapok menjadi orang kaya" begitu bathin Sangkala'. 

Saking pusingnya Sangkala' melampiaskannya dengan makan, semua makanan makanan yang merupakan makanan pantangan baginya dilahapnya dengan rakus, ia baru berhenti makan setelah terengah engah kekenyangan. Karena sekertaris yang biasa mengingatkan dan mengatur jadwal minum obat Sangkala', tidak masuk, akhirnya Sangkala' terlupa untuk mengkonsumsi obat obatan yang selama ini rutin ia minum. 

Malam itu Sangkala' terserang stroke, ia mengerang untuk minta tolong, namun tak ada satupun yang mendengar erangannya, rumahnya begitu besar, bahkan sangat besar tapi begitu kosong dengan kehidupan, isi rumahnya hanyalah barang barang mewah yang mahal namun tak bisa berbuat apa apa saat sang pemilik rumah terkapar sakit dan butuh pertolongan. Istrinya yang sibuk dengan teman temannya, anak anaknya semua sekolah ke luar negeri, tak ada satu orang pun di rumah. Sangkala' menderita seorang diri dalam kekayaan hartanya, ia tidak tertolong, ia menghembuskan nafas terakhirnya tanpa ditemani oleh siapapun.

Dalam meninggalnya Sangkala' melihat dirinya meringkuk kepanasan di dalam sebuah ruangan dan di depannya berdiri malaikat yang menyuruhnya bangun lalu kemudian menggiring Sangkala' ke sebuah lapangan yang sangat luas, disana telah banyak orang yang berkumpul, Sangkala' dibawa ke kumpulan orang orang kaya yang satu persatu dipanggil oleh Malaikat dan lalu dibacakan amal perbuatan mereka semasa hidupnya, dan banyak dari mereka yang digiring menuju ke neraka, termasuk Sangkala', yang juga ikut digiring menuju ke neraka, dan perjalanan menuju ke neraka saja sudah sangat menyiksa, masih jauh dari pintu neraka telah terdengar suara suara jeritan kesakitan yang melengking menyeramkan, dan hawa panas api neraka telah membakar kulit dan tulang tulang Sangkala'. Sangkala' gemetar ketakutan, ia memohon kepada malaikat untuk di kembalikan saja ke dunia sebagai orang miskin. 

"Oh Malaikat, tolong kembalikan aku ini ke dunia, biarlah sebagai orang yang miskin papa" pinta Sangkala' sambil meratap. Malaikat pun tertawa dan kemudian berkata kepada Sangkala'. "Maukah engkau ku perlihatkan bagaimana keadaan orang miskin" tanya Malaikat. Sangkala' mengangguk, dan saat itu juga ia telah berada di pintu neraka khusus untuk orang orang miskin, dan apa yang disaksikan oleh Sangkala' adalah hal yang sama saja, ternyata orang kaya dan orang miskin sama, bisa masuk ke dalam neraka, dan neraka orang kaya serta orang miskin adalah sama saja hanya berbeda di pintu masuk. 

Lalu Sangkala' bertanya kepada Malaikat. "Wahai Malaikat... apakah disini tidak ada surga bagi manusia ?" tanya Sangkala' dengan penuh kesedihan. Malaikat pun tertawa lucu. "Engkau bertanya tentang surga ?, bukankah orang kaya telah menikmatinya di dunia ?" jawab Malaikat dengan wajah bengis yang seperti mengiris iris jantung Sangkala'. "Lalu orang orang miskin dimanakah surganya ?" tanya Sangkala' lagi. "Surga orang miskin itu ada di dalam kesabarannya, namun mereka tidak mau bersabar dalam menjalani hidup, mereka lalai dan telah menyia-nyiakan semua kesempatannya untuk meraih surga" jawab Malaikat lalu mendorong tubuh Sangkala' dengan kuat, Sangkala' terjengkang dengan begitu keras, ia bangkit dan coba berdiri tapi ia kemudian terjatuh lagi didorong oleh Malaikat. 

Ketakutan yang amat sangat menyelimuti seluruh tubuh Sangkala', keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya, ia menangis meraung raung memohon agar diberi satu kesempatan untuk memperbaiki hidupnya, namun Malaikat itu hanya tertawa mengerikan, lalu menyeret tubuh Sangkala' secara kasar, membawanya ke pintu neraka dan melemparkannya dengan keras ke dalam lautan api yang berkobar kobar menyambar dengan panas yang luar biasa, dan Sangkala' hanya bisa berteriak histeris, jatuh terjerembab dan kepalanya membentur batu yang sakitnya luar biasa.

Sangkala' membuka matanya, dan didapatinya dirinya terbaring di tanah dengan kepala yang berdenyut sakit dan tubuh yang bermandikan keringat, rupanya ia terjatuh dari kursi tempatnya tidur, cepat ia bangun dan beristighfar. "Ah.. rupanya hanya mimpi buruk" Sangkala' membathin penuh rasa syukur. Dipandanginya sekeliling sudah sunyi, hanya petugas petugas kebersihan teman teman Laongge yang terlihat sibuk menyapu dan membersihkan sisa sisa pesta semalam. 

Dihirupnya udara pagi yang cerah itu, betapa nikmat rasanya, belum tentu rasa nikmat ini bisa dirasakan oleh orang kaya. Sekarang Sangkala' sudah tidak lagi memandang marah dan benci kepada orang kaya, dan Sangkala' pun tak lagi mengutuk kemiskinannya. Bagi Sangkala' sekarang adalah bukan lagi masalah kaya dan miskin tapi masalah iman yang melekat di diri si kaya dan si miskin. Orang miskin yang berputus asa pasti akan kehilangan iman, begitu juga orang kaya yang lupa diri akan pula kehilangan iman. Sangkala' ingat kata kata bijak imam Ali. 

"Manusia itu ibarat rumah, jika kemiskinan masuk ke dalamnya melewati pintu, maka iman akan keluar melalui jendela". Dan ditambah oleh Sangkala' sendiri. "Dan jika kekayaan masuk ke dalamnya melewati jendela, maka iman akan keluar melalui pintu". 

Hari itu kebetulan hari jumat, Sangkala' telah rapi dalam pakaian muslim bergegas menuju ke Mesjid Agung, sepanjang perjalanan Sangkala' selalu dalam senyum cerah ceria, kini di dalam hatinya tidak ada lagi kebencian, kemarahan apalagi kecemburuan kepada orang kaya, seperti yang selama ini selalu menghias hidupnya, baginya sekarang orang kaya dan orang miskin adalah sama, mereka mempunyai problematika hidup masing masing, kebaikan dan keburukan bukan datang dari kekayaan dan kemiskinan, tapi datang dari iman yang mengisi hati dan jiwa, ketika iman itu bersemayam di dalamnya maka kebaikan pasti akan menyertainya, dan jika iman itu telah keluar darinya maka keburukan yang akan menggantikannya. 

Dan satu kepastian dari semua itu adalah yang kaya dan yang miskin pada akhirnya akan menemui ajalnya, mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama menjalani kehidupannya apapun statusnya, kaya atau miskin. (chs)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun