Mereka bangga menulis informasi yang menurut mereka menyelamatkan kehidupan orang lain, padahal mereka tak sadar informasi yang mereka sampaikan itu justru secara langsung menyulitkan kehidupan orang lain seperti Sangkala'. Mereka tidak pernah mau tahu dan mereka juga tidak pernah mau peduli bagaimana nasib pedagang terompet yang mereka isukan itu.Â
Padahal Sangkala' paham untuk menjaga kebersihan terompet buatannya, yang untuk mengetes bunyinya, Sangkala' punya alat buatan sendiri yang berupa pompa yang mengeluarkan angin. Masalah budaya yahudi dan bi'dah segala macam, bagi Sangkala' ia serahkan kepada Allah sang maha pencipta, bagi Sangkala' ilmu dan pengetahuan agama itu untuk menjadi pegangan dan tutunan bagi diri sendiri, bukan untuk menilai dan menjatuhkan hukum kepada orang lain, karena itu adalah hak dari yang maha kuasa.
Sangkala' sebenarnya mau menjawab isu isu yang ramai di media sosial itu, tapi bagaimana ia bisa membalas, jangankan HP Android, HP jadul yang hanya bisa untuk senter saja ia tak mampu membeli, lagian urusan hidup Sangkala' ia merasa tidak butuh komunikasi lewat HP, toh kalau ada sesuatu yang penting, ia bisa minta tolong pinjam HP istri Laongge. Menit menit berlalu dengan cepat menuju pergantian tahun, bayangan kerugian sudah di depan mata Sangkala', ia pasrah, rasa lelah sudah memeluk seluruh tubuhnya, tapi keramaian suasana pesta tahun baru membuatnya tidak bisa tertidur, bukan saja karena suara ribut dan bising, tapi karena juga tak ada tempat yang kosong untuknya sekedar membaringkan tubuh mengusir penatnya.Â
Serombongan anak muda yang sepertinya sedang mabuk tiba tiba datang. "Berapa ini pak terompetnya" tanya salah seorang dari mereka dengan suara mabuk. "Sepuluh ribu dek" jawab Sangkala' sambil memasang senyum memelasnya, takut jualannya tidak akan dibayar. "Oh iya pak beli sepuluh biji" kata pemuda itu sambil menyodorkan uang seratus ribuan kepada Sangkala', yang begitu bersyukur menerimanya, ia menyesal telah berprasangka buruk kepada mereka yang disangkanya mabuk, Sangkala' mengucapkan banyak terimakasih sambil tersenyum puas, lumayan laku sepuluh buah terompet, ini bisa sedikit menutupi kerugian Sangkala'.
Hitungan mundur pergantian tahun baru malam itu sudah dimulai, dan "Duarr...". "Duaarrr,,,". "Duarrrr...." ledakan petasan dan kembang api bersahutan menyelimuti   seisi kota, panjang seakan tak berkesudahan, kemeriahan yang gemerlap yang disambut dengan gegap gempita oleh warga yang memenuhi taman kota, setiap ledakan petasan serta gemerlapan cahaya kembang api yang memancar dan berpijar indah di udara disambut dengan teriakan gembira oleh orang orang. Tapi tak demikian halnya dengan Sangkala', baginya setiap dentuman petasan dan percik indah cahaya kembang api  itu bagaikan tetesan air mata dalam jiwanya.Â
Dia membayangkan harga sebuah petasan termurah yang dibunyikan itu, bisa untuk memberi makan bagi keluarganya dalam sehari. Namun bagi orang orang kaya itu sepertinya semua itu tidak ada artinya, mereka membakar 'uang' seperti halnya membakar kertas bekas yang akan dibuang ditempat sampah. Sepanjang satu jam kemeriahan pesta kembang api itu berlangsung tanpa henti, dan selama satu jam itu pula Sangkala' tak henti mengutuk sikap dan sifat orang orang kaya yang menurutnya bagaikan musang berbulu domba, bagai racun berwujud madu. Orang kaya itu hanya peduli pada dirinya, kemiskinan bagi orang kaya adalah makanan untuk mengukir eksistensi mereka, kemiskinan bagi orang orang kaya adalah panggung yang harus terus diciptakan, begitulah yang ada di dalam pikiran Sangkala'.Â
Dibayangkannya waktu kejadian krisis ekonomi dulu, bagaimana orang orang kaya dengan paniknya memborong semua kebutuhan pokok, dan pedagang pedagang kaya menimbun barang barang kebutuhan, sementara orang orang miskin yang hanya bisa membeli secukupnya telah kehabisan stok, karena diborong dan ditimbun oleh orang orang kaya.Â
Bagaimana ketika hari raya, orang orang kaya itu pada sibuk membeli segala kebutuhan menyambut hari raya, dan para pedagang pedagang kaya itu mulai menaikkan harga dagangannya, mereka orang orang miskin masih tetap berjuang mengumpulkan setiap sen untuk dipakai membeli kebutuhan hari raya, tapi ketika itu sudah terkumpul, apa yang akan mereka beli telah habis diborong oleh orang orang kaya, dan harganya pun telah mencapai langit.Â
Orang orang kaya telah bahagia dengan segala persiapannya menyambut hari raya, mereka telah bahagia karena sudah selesai membayar zakat dan juga bersedekah, sementara mereka orang orang miskin hanya bisa merasa bahagia menunggu kedatangan petugas mesjid dan amil zakat yang datang mengantarkan kupon pembagian zakat dan sedekah, itupun harus dengan sedikit bujuk raya agar bisa dikasih kupon lebih.
Isu bahaya kelaparan tidak akan pernah menjadi ketakutan bagi orang orang kaya, karena kelaparan hanyalah menjadi momok bagi orang orang miskin, isu bahaya kelaparan bagi orang orang kaya justru disambut meriah, karena itu adalah ajang untuk berbuat bagi kemanusiaan menurut versi mereka, itu adalah panggung tempat segala kamera harus tersorot, mereka berlomba baik secara pribadi maupun organisasi, mereka begitu peduli memberikan ikan, tapi akan begitu sulit untuk memberi pancing karena kemiskinan harus terus dipelihara.Â
Kemarahan Sangkala' pada orang kaya begitu membara, kemarahan yang kemudian menjelma menjadi kebencian mendalam dalam diri Sangkala'. Karena kelelahan Sangkala' pun jatuh tertidur di atas kursi taman, ia tak lagi memperdulikan dagangannya, ia telah terlelap dengan pulas bersama kemarahan dan kebenciannya. Di dalam lelapnya Sangkala' bermimpi. Mimpi yang tampak begitu jelas seperti sebuah kenyataan.