Mohon tunggu...
Christo Sylvano
Christo Sylvano Mohon Tunggu... Freelancer - Penerjemah dan Penulis Lepas

Saya suka menulis random topics sembari menikmati segelas teh melati.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Ruang Hitam

24 Agustus 2023   15:16 Diperbarui: 24 Agustus 2023   15:21 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Alina Ananko: https://www.pexels.com/photo/empty-office-hallway-2294135/ 

Langkahku terhenti di ujung lorong. Dari kejauhan aku bisa melihat ruangan itu. Berdiri kokoh di bawah remang cahaya lampu. Sementara itu, hujan diluar sana tumpah semakin keras, membawa angin kencang yang mampu menerbangkan butirannya ke jendela gedung Rektorat ini. Untungnya suara hujan tak sampai ke dalam, tetapi justru ini yang membuatku bergidik ngeri. Aku sendirian ditemani oleh keheningan saja.

"Pak, temanin ya. Ntar saya belikan rokok dua bungkus. " pintaku pada pak Surya, satpam senior kampus yang ku kenal dengan baik, lima menit yang lalu sambil mengacungkan dua jari padanya.

Dia tertawa sebentar hingga memperlihatkan giginya yang sudah tanggal sebagian, "Maaf, mas Adi. Kalau ke lantai yang lain saya berani, tapi kalau kesana..." dia mendongakkan kepalanya sesaat ke atas, memperhatikan lantai paling atas, tak berapa lama pandangannya kembali padaku. "Maaf saya nggak berani, mas." pungkasnya sembari menghisap rokok kretek yang baunya menguar di udara.

Aku lalu mengalihkan pandanganku ke seorang satpam muda yang berada di sebelahnya, "Kamu, Wir? temanin ya, ntar kubelikan kuota satu bulan deh." tanyaku pada Wira yang sedang bermain game ponsel.

"Waduh, mas. Pak Surya aja nggak berani apalagi aku." jawab Wira tanpa melepaskan pandangannya dari ponsel.

"Yaelah, sebentar aja, Wir. Aku cuma ngambil berkas aja, kok."

Perkataan itu membuat Wira menatapku, "Nggak besok aja, mas? Udah jam 10 malam, lho. Kantornya nggak kemana-mana, kok"

"Kalau bisa besok, bakalan kuambil besok, Wir. Cuma pak Ruslan perlu berkasnya malam ini dan harus diantar juga malam ini ke rumahnya."

Tak satu pun keluhan dan bujukan yang sanggup menggoyahkan keputusan mereka. Mereka memilih tetap berada di lobby Rektorat, mengobrol dan menonton video di ponsel. Aku pun tak punya pilihan selain menyusuri anak tangga sendirian menuju ke lantai paling atas. Lambat laun, suara obrolan mereka dan bisingnya suara video mulai menghilang.

Buka pintu. Ambil berkas. Lari ke bawah. Aku membatin, semuanya bisa kulakukan dalam lima menit. Aku menarik nafas panjang lalu berjalan cepat ke ruangan kantor yang berada di dekat sebuah ruangan misterius bernama Ruang Hitam.

Tak ada apa pun yang berwarna hitam tentangnya. Dindingnya justru berwarna putih pucat seperti warna cat yang mulai luntur, pintu masuk yang terbuat dari kayu malah berwarna kecoklatan dan itu pun terlihat kusam. Tidak ada satu pun jendela untuk menengok isi ruangan. Satu-satunya benda yang menghalangi orang untuk masuk ke dalam adalah sebuah gembok yang terkait di depan pintu.

Aku memicingkan mata. Gembok tersebut menarik perhatianku. Selama ini aku lebih memilih untuk pulang lebih cepat daripada berlama-lama di ruangan kantor, jadi aku tidak pernah memperhatikannya apalagi jika mendekati petang. Tak ada seorang pun yang bekerja di atas jam lima sore, bahkan pimpinanku, pak Ruslan, lebih memilih membawa pekerjaannya ke rumah jika belum selesai.

Aku mendekati ruangan itu dan berjongkok di depan pintu. Kedua mataku menatap lekat sesuatu yang sepertinya terukir di gembok tersebut. Sebuah ukiran menyerupai manusia berkepala burung berada di bagian depan gembok. Aku lalu memegangnya dan memperhatikan beberapa aksara-aksara kuno yang tulisannya mirip bahasa Sansekerta. Mungkin ini jimat penghalang, aku bergumam pada diriku sendiri.

Suara petir yang keras membuatku tersentak. Aku bergegas kembali ke ruanganku dan membuka pintu. Berkas yang kucari berada di dalam map merah dan tergeletak begitu saja di atas mejaku. Sembari menyeka keringat yang menetes, aku berlari kecil dan langsung menyambar map tersebut. Kini aku hanya perlu keluar, mengunci ruangan dan berlari secepat mungkin ke arah tangga. Tak sampai lima menit, aku membatin dengan gembira.

Lampu koridor tiba-tiba padam setelah aku mengunci pintu. Sebuah bunyi dentangan yang bergema di sepanjang koridor mengagetkanku. Dipenuhi rasa panik, kedua tanganku meraba-raba saku celana untuk meraih ponsel yang tadi kubawa. Aku memaki lirih melihat baterai yang hanya tersisa 10% saja.

Aku harus turun secepat mungkin sebelum ponsel mati. Pandanganku tak sengaja tertuju ke ruang hitam saat kilatan cahaya petir berpendar menerangi koridor. Kedua mataku seketika terbelalak. Keringat yang membasahi tubuhku menjadi dingin.

Pintunya terbuka lebar.

Aku berjalan cepat dengan jantung yang berdegup kencang. Jemariku sibuk mencari aplikasi senter di ponsel dengan tangan yang sedikit bergetar. Suara petir yang menyalak keras menambah nuansa kelam di sepanjang koridor, ditambah dengan kilatannya yang berpendar beberapa kali. Aku tak menyangka bahwa suasana seram di film-film horor yang sering kutonton dapat kurasakan secara nyata saat ini. Cahaya senter menerangi tangga yang terlihat semakin dekat, tanpa keraguan aku segera berlari sekuat tenaga. Sialnya, aku harus tersungkur ke lantai karena kehilangan keseimbangan, membuat ponsel dan map merah terlepas dari tanganku. Dari lantai yang dingin aku melihat ponselku yang masih menyala terseret beberapa meter di hadapanku.

Cahaya dari ponsel yang berpendar menangkap penampakan sepasang kaki berwarna kehitaman yang sedang berjinjit membelakangiku. Aku seketika mengabaikan sakitnya luka lecet di siku dan telapak tanganku. Keringat dingin mengalir ke leherku, suaraku tercekat hebat, aku terdiam beberapa detik di atas lantai yang dingin. Dari balik remang cahaya tersebut, aku menyadari bahwa warna kehitaman itu terlihat seperti darah yang telah mengering.

Aku menarik nafas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya sepelan mungkin agar degup jantung yang cepat bisa sedikit melambat. Perlahan-lahan aku beringsut ke samping agar dapat menjauhi pendaran cahaya, lalu di dalam kegelapan aku mulai merangkak sepelan mungkin.  Rasa dingin menjalar di seluruh tubuhku karena keringat yang membasahi baju. Ini malam yang gila, tapi aku harus melewatinya.  

Aku melawan keinginan kuat untuk mendongakkan kepala saat melalui separuh perjalanan, dan aku sempat menengok sekilas ke arah sepasang kaki tersebut. Sebuah lonceng kecil yang usang terikat di kaki kanannya.  Aku berhenti mendadak. Tiba-tiba aku merasakan tanganku menekan sesuatu di lantai.

Listrik tiba-tiba menyala. Untungnya sosok menyeramkan tadi pun menghilang. Aku menarik nafas lega sembari menangkupkan map merah ke dada yang ternyata tertekan oleh tanganku tadi. Sebuah bunyi notifikasi dari ponsel tertangkap telingaku. Aku langsung mengambilnya tanpa memperhatikan baterai yang sebentar lagi akan habis. 

Sedikit lagi. Mandi air panas dan teh hangat manis setelah ini. Pikiranku sudah membayangkan kegiatan yang menyenangkan setelah malam gila yang membuatku kelelahan. Aku mencoba berlari, tapi rasa sakit di pergelangan kaki kanan menghentikanku.  

Cring...

Aku terperanjat. Sebuah suara terdengar seperti gemerincing lonceng muncul dari belakang. Lalu semuanya menjadi lebih mengerikan saat suara tawa berat seorang pria yang sekejap saja berubah menjadi suara wanita bergema di sepanjang koridor. Aku tahu bahwa jaraknya tidak terlalu jauh dariku karena terdengar jelas di telingaku. Detak jantung yang sempat melambat kini berdegup cepat kembali. Aku menarik nafas lalu mengayunkan langkah ke depan, berpura-pura tidak mendengar suara-suara itu sembari menahan rasa sakit yang menyayat. Sosok itu berusaha menyamakan ritme langkahnya denganku. Semakin cepat aku berjalan, semakin cepat juga gemerincingnya terdengar.

Pandanganku jauh ke tangga yang kini berjarak sekitar lima meter saja. Aku mengeluarkan sumpah serapah saat lampu kembali padam. Ponselku bergetar dua kali. Pikiranku kacau, tapi aku tetap berjalan meskipun sebentar lagi ponselku mati. Akhirnya penglihatanku benar-benar dibutakan kegelapan. Suara tawa wanita tadi malah berubah menjadi gelak tawa anak-anak seakan-akan mengejek kemalanganku dan kebodohanku untuk mengabaikan kengerian ini.  

Aku menelan ludah. Suara gemerincing di belakangku tak terdengar lagi, padahal aku masih berjalan. Aku ingin menoleh, apakah sosok misterius itu, mungkin dia adalah sang hitam, penghuni ruangan misterius, masih ada disana? Apakah dia sudah bosan mempermainkanku? apa dia kasihan? apa dia menyerah karena aku tetap berjalan? pikiranku begitu kacau saat ini. Aku hanya ingin pulang, menikmati teh manis panas dan kasur yang empuk. Lolos dari kengerian ini.

Kedua telingaku lalu menangkap gumaman-gumaman samar yang campur aduk antara suara pria dan wanita. Tiba-tiba suara gemerincing tadi terdengar kembali, tapi kali ini ritmenya semakin cepat. Saat itulah aku tahu bahwa dia berusaha mengejarku. Aku mempercepat langkahku meskipun rasa sakitnya menjadi-jadi. Di dalam kegelapan yang menyelimuti aku merapal doa pada Tuhan agar bisa melihat terbitnya fajar di pagi hari. Aku belum siap mati hari ini dan tak ingin mati hari ini.

Sepertinya Tuhan bersedia menjawab doaku. Pendaran cahaya petir yang mengerjap cukup lama memperlihatkan posisi tangga yang sangat dekat. Suara langkah sang hitam semakin terdengar jelas di telingaku dan gumaman samar itu belum berhenti terucap. Saat jarakku hanya satu langkah dari anak tangga pertama, aku langsung melompat ke depan.  Tubuhku mendarat di beberapa anak tangga, membawaku berguling hingga berhenti di lantai yang rata. Rasa sakitnya menjalar di sekujur tubuhku, untung saja kepalaku tidak berdarah hebat.

Aku berdiri dengan susah payah di bawah pendaran cahaya lampu lantai dua. Lampu bersinar terang benderang disini, begitu pula di lantai atas saat aku melihatnya sekilas saja. Aku meringis kesakitan sembari menyusuri satu-persatu anak tangga ke lantai dasar. Disana, pak Surya berdiri seakan-akan sedang menunggu kedatanganku, sementara itu Wira sedang tertidur pulas di meja jaga.

"Lho, tak kira nggak jadi, mas?" kata pak Surya sambil melihat jam tangannya. Wajahnya terlihat kebingungan. "Ini udah jam tiga pagi. Tak kira sampean langsung pulang kemarin."

Aku terkejut, rasanya tak sampai setengah jam aku berada di atas sana. Aku memilih mengacuhkan pertanyaan itu karena rasa lelah yang mendera begitu hebat. Diluar sana hujan mulai berhenti, meninggalkan hawa dingin di subuh yang sepi. Seiring dengan langkah kakiku yang gontai, suara kokok ayam jantan berkumandang memberi tanda pada manusia bahwa pagi segera menyingsing. Aku berjalan melewatinya dan beranjak ke luar gedung Rektorat.

"Kau tidak melihat wajahnya, kan?"

Aku menoleh ke belakang. Pak Surya menatapku dengan tajam. Raut wajahnya yang tadi ramah berubah serius. 

"Wajahnya?" tanyaku keheranan. Apakah yang dia maksud sosok di atas? aku balas menatapnya dengan tatapan heran. "Apa maksud bapak?"

Pak Surya malah tersenyum lebar, menampilkan wajah ramah yang tadi sempat hilang. Dia bahkan acuh dengan pertanyaanku dan berlalu pergi menuju tempatnya berjaga. Meninggalkanku dengan sedikit kebingungan dan tak curiga pada luka-luka kecil di tubuhku, bahkan terkesan tak peduli.

Aku menembus kabut yang mulai turun dari langit, berjalan pelan ke mobilku yang berembun. Suara tangisan anak kecil terdengar sayup dari luar gedung, seperti seorang anak yang kehilangan mainannya. Malam yang menegangkan dan sosok misterius yang mungkin saja sang hitam sudah cukup menjadi alasanku mengajukan pindah tugas dari kantor ini.

Kasur empuk dan teh panas manis. Aku datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun