Tak ada apa pun yang berwarna hitam tentangnya. Dindingnya justru berwarna putih pucat seperti warna cat yang mulai luntur, pintu masuk yang terbuat dari kayu malah berwarna kecoklatan dan itu pun terlihat kusam. Tidak ada satu pun jendela untuk menengok isi ruangan. Satu-satunya benda yang menghalangi orang untuk masuk ke dalam adalah sebuah gembok yang terkait di depan pintu.
Aku memicingkan mata. Gembok tersebut menarik perhatianku. Selama ini aku lebih memilih untuk pulang lebih cepat daripada berlama-lama di ruangan kantor, jadi aku tidak pernah memperhatikannya apalagi jika mendekati petang. Tak ada seorang pun yang bekerja di atas jam lima sore, bahkan pimpinanku, pak Ruslan, lebih memilih membawa pekerjaannya ke rumah jika belum selesai.
Aku mendekati ruangan itu dan berjongkok di depan pintu. Kedua mataku menatap lekat sesuatu yang sepertinya terukir di gembok tersebut. Sebuah ukiran menyerupai manusia berkepala burung berada di bagian depan gembok. Aku lalu memegangnya dan memperhatikan beberapa aksara-aksara kuno yang tulisannya mirip bahasa Sansekerta. Mungkin ini jimat penghalang, aku bergumam pada diriku sendiri.
Suara petir yang keras membuatku tersentak. Aku bergegas kembali ke ruanganku dan membuka pintu. Berkas yang kucari berada di dalam map merah dan tergeletak begitu saja di atas mejaku. Sembari menyeka keringat yang menetes, aku berlari kecil dan langsung menyambar map tersebut. Kini aku hanya perlu keluar, mengunci ruangan dan berlari secepat mungkin ke arah tangga. Tak sampai lima menit, aku membatin dengan gembira.
Lampu koridor tiba-tiba padam setelah aku mengunci pintu. Sebuah bunyi dentangan yang bergema di sepanjang koridor mengagetkanku. Dipenuhi rasa panik, kedua tanganku meraba-raba saku celana untuk meraih ponsel yang tadi kubawa. Aku memaki lirih melihat baterai yang hanya tersisa 10% saja.
Aku harus turun secepat mungkin sebelum ponsel mati. Pandanganku tak sengaja tertuju ke ruang hitam saat kilatan cahaya petir berpendar menerangi koridor. Kedua mataku seketika terbelalak. Keringat yang membasahi tubuhku menjadi dingin.
Pintunya terbuka lebar.
Aku berjalan cepat dengan jantung yang berdegup kencang. Jemariku sibuk mencari aplikasi senter di ponsel dengan tangan yang sedikit bergetar. Suara petir yang menyalak keras menambah nuansa kelam di sepanjang koridor, ditambah dengan kilatannya yang berpendar beberapa kali. Aku tak menyangka bahwa suasana seram di film-film horor yang sering kutonton dapat kurasakan secara nyata saat ini. Cahaya senter menerangi tangga yang terlihat semakin dekat, tanpa keraguan aku segera berlari sekuat tenaga. Sialnya, aku harus tersungkur ke lantai karena kehilangan keseimbangan, membuat ponsel dan map merah terlepas dari tanganku. Dari lantai yang dingin aku melihat ponselku yang masih menyala terseret beberapa meter di hadapanku.
Cahaya dari ponsel yang berpendar menangkap penampakan sepasang kaki berwarna kehitaman yang sedang berjinjit membelakangiku. Aku seketika mengabaikan sakitnya luka lecet di siku dan telapak tanganku. Keringat dingin mengalir ke leherku, suaraku tercekat hebat, aku terdiam beberapa detik di atas lantai yang dingin. Dari balik remang cahaya tersebut, aku menyadari bahwa warna kehitaman itu terlihat seperti darah yang telah mengering.
Aku menarik nafas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya sepelan mungkin agar degup jantung yang cepat bisa sedikit melambat. Perlahan-lahan aku beringsut ke samping agar dapat menjauhi pendaran cahaya, lalu di dalam kegelapan aku mulai merangkak sepelan mungkin. Â Rasa dingin menjalar di seluruh tubuhku karena keringat yang membasahi baju. Ini malam yang gila, tapi aku harus melewatinya. Â
Aku melawan keinginan kuat untuk mendongakkan kepala saat melalui separuh perjalanan, dan aku sempat menengok sekilas ke arah sepasang kaki tersebut. Sebuah lonceng kecil yang usang terikat di kaki kanannya. Â Aku berhenti mendadak. Tiba-tiba aku merasakan tanganku menekan sesuatu di lantai.