Tangga Galunggung, Kolam Cipanas, dan Konser Malam
Sebagai tamu di Amanah Tasikmalaya, para Kanisian tidak mengharapkan hal-hal terlalu banyak dari mereka dari pondok pesantren. Sesuai dengan tujuan kedatangan mereka, banyak sudah aman-aman dengan mengikuti pembelajaran bersama dengan para santri di kelas-kelas masing-masing.
Namun, dapat dibayangkan senyuman dari telinga ke telinga satu ketika mereka semua bersama dengan para IPM Amanah Tasikmalaya menaiki belakang truk untuk pergi ke gunung Galunggung di pagi hari yang amat cerah dan adem. Tidak melupakan juga dinginnya suasana di puncak gunung itu setelah menaiki 600-an anak tangga.
Turun dari gunung pula tidak perlu cepat-cepat, sampai ada waktu untuk berendam dalam salah satu dari beberapa puluhan aliran sungai dan kolam yang berada di tempat wisata Cipanas. Air yang hangat dan matahari yang terik menjadi kombinasi sempurna untuk menghanguskan banyak Kanisian, berfungsi pula sebagai bentuk partisipasi mereka dalam ekskursi kelas 12.
Malam hari tentu tidak kalah dari pagi dan siang hari, dengan konser malam yang terdiri dari nyanyian para Kanisian bersama dengan santri, santriwati, bahkan guru dari Amanah Tasikmalaya. Lagu-lagu seperti Die with A Smile, Golden Hour, dan Bertaut merupakan beberapa iringan yang populer bagi para santri dan santriwati, tidak hanya bagi Kanisian saja.
Tapi, dengan perlunya Kanisian untuk pulang pada hari ke-tiga, apa yang bisa, harus dilakukan untuk preservasi saat ini?
Perasaan itu Sementara, Kenangan itu Sehidup
Para santri dan santriwati di Amanah Tasikmalaya mengikuti kehidupan dengan cara yang berbeda dari para Kanisian. Hal tersebut jelas tidak hanya untuk kalangan mereka saja, tetapi untuk mayoritas bahkan sampai semua pondok pesantren. Aturan-aturan seperti harus menggunakan sarung saat ke masjid dan tidak menggunakan ponsel di kawasan sekolah menjadi salah beberapa contoh.
Namun, banyak Kanisian menjadi lupa bahwa pada akhir hari, santri dan santriwati Amanah Tasikmalaya adalah manusia, sama seperti mereka dari Kanisius. Lebih tepatnya, mereka sama-sama remaja yang masih perlu belajar dan diketahui; masih perlu diajarkan, dan diberikan arahan.
Tentu, yang dinamakannya pondok pesantren itu merupakan dua-duanya tempat tinggal dan sekolah bagi para santri dan santriwati, tetapi itu tidak mengurangi identitas mereka sebagai pelajar maupun sebagai manusia yang tinggal di dunia ini. Dengan itu pula, keberagaman tidak mengambil dan mengurangi dari berbagai aspek, tetapi menjadi corak kekhasannya manusia.
Bagaimana manusia dapat dilihat dari berbagai segi, perspektif, warna dan kacamata, bahkan melewati pengembangan yang berbeda dan masih menunjukkan kemiripan dengan sesama mereka menunjukkan bahwa keberagaman bukan menjadi suatu hal yang mengerikan. Sebaliknya, keberagaman menunjukkan bagaimana manusia itu adaptif dan selalu bersifat jujur pada dirinya, dan seharusnya kita pelihara dan kenangkan selalu.
Mereka adalah manusia. Kita adalah manusia. Berbeda itu hanya semantik, tetapi kita tetap satu.