Tapi kalau kebanyakan, wuidih, bisa bahaya efeknya. Bila korban (perhatikan saya menggunakan kata korban di sini) tidak bisa menahan diri, maka bisa memicu perbuatan-perbuatan asusila.
Â
Balik lagi ke kasus homo diatas, oxytocinnya entah bagaimana keluar di saat yang salah.
Jadi, nggak bisa kita bilang kalau selamanya LGBT adalah prinsip. Yang berarti, dalam beberapa kasus, bisa saja itu menjadi prinsip hidup.Â
***
Diputus cinta, atau disakiti oleh orang yang kita cintai, bisa menimbulkan trauma yang dalam. Dan trauma yang dalam berarti butuh penyembuhan yang nggak mudah juga. Terutama, nggak cepat. Ada orang yang mengobati rasa sakitnya dengan makan sebanyak-banyaknya. Ada yang minum alkohol hingga mabuk berat. Ada pula yang kemudian melakukan aksi-aksi anarkis karena tidak bisa membendung emosi. Yang jelas, setelah itu, mereka akan mengubah 'sedikit' dari cara hidup mereka.Â
Ingat, kadang 'sedikit' itu bisa berdampak amat besar. Seperti salah menyetel alarm yang harusnya '5 A.M' ke '5 P.M'.Â
[Maaf, penulis mendadak jadi curhat begini. Duh...]
Menjadi homo, atau transgender, bisa dianggap dari perubahan jalan hidup. Mungkin dulu dia sering sekali di tolak cewek, jadi memilih untuk menyukai cowok saja, atau mengubah gender jadi cewek agar bisa jalan dengan cowok (buset, endingnya jadi mirip yak?).
Oh ya, kasus 'transgender' bisa jadi agak sedikit lebih rumit. Karena bisa jadi itu demi alasan keuangan, seperti yang para cowok Thailand lakukan di negaranya. Tapi ingat, ada juga bagian dari mereka yang menolak budaya mengganti kelamin.
Apalagi Indonesia. Yang mana tidak ada LGBT dalam budayanya. Jadi, jalan hidup yang diambil para oknumnya merupakan jalan yang 'seriusan anti-mainstream'