Akhir-akhir ini, terdapat wacana untuk menghapus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) sebagai ujian untuk mendapatkan gelar dokter.Â
Dalam wacana ini, mahasiswa kedokteran akan mendapatkan gelarnya sebagai seorang dokter begitu lulus pre klinik sementara UKMPPD akan digantikan oleh suatu ujian yang fungsinya untuk mendapatkan izin praktik.
Dalam hal ini, ujian tersebut bisa dibilang mirip dengan sistem Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang sudah pernah diterapkan sebelumnya.
Tentu saja hal ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Melalui tulisan ini, saya ingin mencoba memberikan pendapat saya sebagai seorang mahasiswa kedokteran dan sebagai bagian dari masyarakat.
Sebelum memberikan pendapat, saya ingin berbagi sedikit informasi terlebih dahulu mengenai sejarah dari kedua sistem ini serta pertimbangan dari pihak yang pro dan kontra agar pembaca dapat mengerti alasan saya dalam memberikan pendapat saya ini.
Pada awalnya, ujian kelulusan seorang mahasiswa kedokteran dinamakan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). UKDI ini diprakarsai oleh DIKTI untuk melakukan pengukuran terhadap mutu lulusan dokter dari berbagai fakultas kedokteran di Indonesia.
Pertama-tama, proyek ini dilakukan terhadap empat fakultas kedokteran di Indonesia, yaitu FK UI, FK UNPAD, FK UNDIP, dan FK UGM. Setelah itu, UKDI dilaksanakan pada empat fakultas kedokteran lain, yaitu FK Unika Atma Jaya, FK USU, FK Unhas, dan FK Unair.
Ternyata, terdapat perbedaan kualitas antar peserta dari fakultas-fakultas kedokteran tersebut. Hasil inilah yang melandasi pemikiran diperlukannya sertifikasi kelayakan untuk dokter untuk menjaga mutu dokter yang akan bekerja di masyarakat.
Sertifikasi kelayakan ini diberikan setelah para dokter tersebut lulus dalam suatu ujian berskala nasional. Ujian berskala nasional inilah yang disebut UKDI.Â
UKDI diselenggarakan oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) bersama Persatuan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Kolegium Dokter Indonesia.1
Pada tahun 2014, terjadi perubahan dalam sistem ujian kompetensi kedokteran ini. UKDI diganti menjadi Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Perubahan ini disahkan pada tahun 2014 melalui UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.Â
Tata cara ujian tersebut disahkan melalui Peraturan Menteri No. 30 Tahun 2014 tentang Tata Cara Ujian Kompetensi. Alasan diubahnya sistem ujian ini adalah meningkatkan kelulusan para retaker. Terdapat perbedaan-perbedaan signifikan antara UKDI dan UKMPPD. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:1
- UKDI dilakukan oleh dokter yang sudah lulus untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR). Sementara itu, UKMPPD dilakukan oleh mahasiswa kedokteran yang sudah menjalani koas untuk mendapatkan gelar dan ijazah sebagai seorang dokter.
- UKDI diselenggarakan oleh AIPKI, PDKI, dan KDI. Sementara itu, UKMPPD diselenggarakan oleh Kemenristekdikti bersama Kemenkes, IDI, KKI, dan AIPKI.
- Biaya administrasi UKDI lebih murah daripada UKMPPD. Biaya administrasi UKDI adalah Rp200.000,00, sementara biaya administrasi UKMPPD mencapai Rp1.000.000,00.
- Bukti kelulusan dari UKDI berupa sertifikat kompetensi. Sementara itu, bukti kelulusan UKMPPD adalah ijazah kedokteran.
Seperti yang sudah saya paparkan pada awal artikel ini, terdapat pihak yang pro dan kontra dengan sistem UKMPPD ini. Pihak yang pro memiliki pendapat bahwa UKMPPD merupakan sebuah solusi yang tepat untuk standardisasi kualitas seorang dokter.
Dengan UKMPPD, mahasiswa harus melewati semacam ujian yang bersifat nasional agar bisa lulus menjadi seorang dokter. Hal ini menciptakan standar minimal yang jelas mengenai kualitas dokter yang akan terjun ke masyarakat.
Selain itu, keuntungan sistem UKMPPD adalah mahasiswa fakultas kedokteran yang tidak lulus UKMPPD belum bisa mendapatkan ijazah dokter sehingga mereka masih menjadi tanggung jawab universitas tempat mereka menimba ilmu.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem UKDI dimana mahasiswa yang telah mendapatkan ijazah kedokteran dan tidak lulus UKDI menjadi tidak jelas nasibnya karena ia tidak bisa melakukan praktik, sementara universitas tempat ia belajar sudah tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadapnya karena ia sudah lulus.1
Pihak yang kontra terhadap sistem UKMPPD berpendapat bahwa kelulusan seorang dokter seharusnya ditentukan oleh universitas tempat si mahasiswa tersebut belajar sebagai institusi yang bertanggung jawab akan pendidikan si dokter.
Baca Juga:Â "Obral" Pendidikan Dokter
Universitas dianggap sebagai pihak yang lebih mengetahui kemampuan dari mahasiswa tersebut dan dengan begitu dianggap sebagai pihak yang tepat untuk menentukan kelulusan mahasiswa.
Selain itu, mereka juga menganggap bahwa kelulusan dan ijazah merupakan hak dari seorang mahasiswa kedokteran yang telah susah payah belajar dan melewati fase preklinik dan klinik.
Terakhir, mereka juga menganggap pemerintah melakukan intervensi yang terlalu besar dalam sistem UKMPPD karena penyelenggara utama dari sistem ini adalah Kemenristekdikti.1
Berdasarkan analisis mengenai segi historis dan pendapat kedua pihak mengenai sistem ujian kompetensi kedokteran di Indonesia tersebut, saya lebih setuju dengan sistem UKMPPD. Pertama, sistem UKMPPD menjamin kualitas dokter yang akan turun dan berpraktik di masyarakat. Dokter merupakan seorang tenaga medis.
Tugas dari tenaga medis sangat berat karena ia bertanggung jawab akan kelangsungan hidup seorang manusia. Oleh karena itu, diperlukan suatu standar yang jelas bagi seorang mahasiswa kedokteran sebelum ia dapat disebut sebagai seorang dokter. Kedua, sistem ini membuat para universitas tempat para dokter belajar menjadi bertanggung jawab atas nasib para mahasiswa mereka.
Dalam sistem UKMPPD, mahasiswa yang tidak lulus UKMPPD tidak bisa mendapatkan ijazah mereka. Dengan begitu, universitas akan merasa bertanggung jawab terhadap kelulusan mahasiswa tersebut dan dapat membantu mahasiswa tersebut untuk dapat lulus UKMPPD. Ketiga, UKMPPD memberikan suatu penyaringan yang lebih ketat terhadap dokter yang akan terjun di lingkungan masyarakat.Â
Penyaringan yang lebih ketat di sini dimaksudkan sebagai upaya mengurangi praktik dokter ilegal yang beberapa kali masih terjadi di masyarakat. Apabila dalam sistem UKMPPD dimana seorang mahasiswa tidak bisa mendapatkan gelar dokter sebelum lulus dalam UKMPPD saja terjadi praktik dokter ilegal, apalagi dalam sistem dimana ujian tidak diterapkan sebagai standar kelulusan.
Saya juga memiliki alasan tersendiri mengapa saya tetap menolak sistem UKDI. Dalam hal universitas tempat mahasiswa belajar dianggap lebih mengetahui kemampuan mahasiswa mereka sendiri, memang hal tersebut benar.
Akan tetapi, hal ini dapat memicu masalah lain, yaitu terjadinya bias dari universitas terhadap mahasiswanya sehingga terdapat kemungkinan mereka akan meluluskan mahasiswa mereka walaupun pada kenyataannya kualitasnya tidak mencapai standar yang diperlukan.
Hal ini dapat menyebabkan permasalahan yang dahulu kembali terjadi, yaitu banyak mahasiswa bergelar dokter tapi tidak bisa praktik karena tidak lulus ujian untuk mendapat izin praktik.
Dalam hal kelulusan dan ijazah merupakan hak dari mahasiswa yang telah menjalani proses perkuliahan yang panjang, sebenarnya menurut saya alasan ini kurang masuk akal. Ijazah merupakan bukti bahwa seorang dokter sudah tamat belajar dan telah menguasai seluruh kompetensi yang diajarkan dalam pendidikan kedokteran.
Oleh karena itu, ijazah seharusnya diberikan karena mahasiswa telah menguasai seluruh kompetensi yang ada, bukan karena mahasiswa sudah susah payah belajar.
Baca Juga:Â Penyakit Kronis Pendidikan Dokter di Indonesia dan Penyembuhannya
Terakhir, memang pada kondisi idealnya yang seharusnya memegang keputusan akhir tentang kelulusan seorang mahasiswa kedokteran adalah organisasi profesi dan bukan pemerintah.
Akan tetapi, hal ini juga membuka kemungkinan yang lebih lebar bagi kemungkinan praktik dokter gadungan, yaitu dokter yang memiliki gelar dokter tapi tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).
Oleh karena itu, walaupun sebenarnya kurang ideal, langkah pemerintah untuk melakukan intervensi tidak sepenuhnya salah karena bertujuan preventif, yaitu mencegah terjadinya kejadian tersebut.
Selain itu, tujuan negara juga sebenarnya baik, yaitu untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan di Indonesia.
Apabila disimpulkan, pada intinya saya lebih setuju dengan sistem UKMPPD yang sekarang karena lebih menguntungkan, baik untuk mahasiswa kedokteran sendiri ataupun untuk masyarakat.
Namun, kembali lagi masih terdapat banyak hal yang perlu diperbaiki. Dalam sistem UKMPPD yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dokter yang terjun ke lapangan ini, masih banyak dokter yang tidak lulus dan harus mengulang ujian setiap tahunnya. Oleh karena itu, sistem pendidikan kedokteran di Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan.Â
Terakhir, mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa seorang dokter harus memiliki kompetensi yang sebegitu tingginya? Mengapa untuk sekedar praktik saja seorang dokter harus melewati ujian yang begitu susah?
Padahal kan seorang mahasiswa kedokteran juga sudah melewati berbagai ujian pada setiap modul atau blok dan stase yang dijalani pada masa klinik? Mengapa kesalahan sedikit saja tidak dapat ditolerir?
Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan quotes yang saya buat sendiri:
"Kebanyakan pekerjaan berurusan dengan benda mati, namun dokter berurusan dengan nyawa seorang manusia. Apabila profesi lain melakukan malpraktik, akibatnya adalah kerugian materiil. Jika seorang dokter melakukan malpraktik, akibatnya adalah melayangnya nyawa seorang manusia."
Referensi:
1. Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2018. Kajian revisi undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran [Internet]. Depok: BEM IKM FKUI 2018; 2018 Dec 26 [cited 2019 Mar 29]. Available from:Â https://drive.google.com/drive/u/1/folders/1GlYuouHJFY-FC6I-2sWfyhHACgAXNN4h
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H