Mohon tunggu...
Christoforus Iuliano
Christoforus Iuliano Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seminaris

saya cukup senang menulis atau mendalami banyak hal. Itu disebabkan saya mencoba untuk memiliki kebiasaan berliterasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan sebagai Sarana Artikulasi Ulang Gelar Manusia

12 September 2022   10:54 Diperbarui: 12 September 2022   11:36 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada 31 Agustus 2022, para menteri lingkungan hidup dan iklim negara-negara G20 mengadakan pertemuan di Badung, Bali serta menyepakati sejumlah isu lingkungan yang nantinya akan dibawa dalam pertemuan puncak G20 November 2022. Tema perubahan iklim akhir-akhir ini menjadi salah satu tema yang diusung dalam berbagai forum regional.

 Tema ini menggambarkan keprihatinan bersama mengenai perubahan iklim yang terjadi di berbagai belahan dunia sebagai akibat dari perusakan alam. Atas keprihatinan ini, tema isu lingkungan diharapkan mendorong banyak pihak untuk berjalan bersama mewujudkan pembangunan yang semakin ramah pada lingkungan.

Seiring berkembangnya zaman pembangunan semakin pesat terjadi di berbagai belahan dunia.  Pembangunan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh banyak negara demi kesejahteraan hidup bersama.Namun, pembangunan yang dilakukan memiliki efek jangka panjang tak hanya bagi manusia, tetapi bagi kelangsungan hidup makhluk lainnya.

Gelar Manusia

       Dalam perkembangan evolusi manusia, banyak nama-nama yang muncul untuk manusia seperti homo sapiens dan lainnya. Seiring berjalannya waktu, bermunculan pula gelar-gelar baru sesuai dengan daerah ditemukannya tulang belulang manusia. Di Indonesia sendiri terdapat 3 jenis homo yaitu Homo Wajakensis, Homo Soloensis, dan Homo Floresiensis.

       Selain itu, manusia sebagai makhluk istimewa pun digelari banyak gelar. Diantaranya yang sering kita dengar adalah homo socius (manusia sosial), homo economicus (manusia pencari keuntungan), homo technologicus (manusia yang berteknologi) serta beberapa gelar lainnya . Gelar-gelar itu muncul berdasarkan kemampuan manusia untuk mempertahankan dan menambah kualitas  hidupnya di tengah tantangan lingkungan yang cukup keras.

       Homo economic misalnya, menggambar kemampuan manusia untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya demi pemenuhan kebutuhan hidup dirinya dan kelompoknya. Yang marak pada zaman ini adalah homo technologicus, di mana manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengembangkan teknologi yang ada lagi-lagi demi pemenuhan kebutuhan hidup.

Dampak dari gelar-gelar ini manusia mampu menciptakan dunia yang kita kenal saat ini. Dunia yang berkembang sangat pesat, di satu sisi memberikan keuntungan bagi banyak pihak tetapi di satu sisi memberikan efek negatif bagi alam.

       Ada 1 gelar manusia yang terkadang terlupakan yaitu Homo Religiosus. Istilah homo religiosus ini pertama kali dipopulerkan oleh Mircea Eliade. Homo religiosus adalah tipe manusia yang memiliki kesadaran bahwa ia hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai keagamaan dan dapat menikmati kesucian yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, tumbuhan, hewan, dan manusia.

Pada intinya manusia dengan gelar religioisus merupakan manusia yang menjunjung tinggi nilai keagaamaan dengan salah satu misinya adalah merawat dan menghargai seluruh ciptaan di dunia sebagai usaha pula menjaga kesucian dari alam yang sakral ini. Homo religiosus sering dibatasi dengan arti manusia yang suci dan kudus menurut kriteria agama tertentu. 

Padahal jika digali lebih dalam, homo religiosus adalah ciri manusia yang percaya bahwa alam yang ia tempati sungguh hidup dan patut untuk dipuji dan dijaga.


Artikulasi-ulang gelar manusia

             Mengambil istilah dari Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB, dalam opininya berjudul Merawat Merah Putih pada koran kompas Selasasa, 6 September 2022, rasanya penting untuk merartikulasi ulang gelar manusia. Gelar manusia tak hanya homo economicus yang berdiri sendiri, tetapi didampingi dengan homo religiosus menjadi homo religiosus – economicus. 

Hal ini menjadi penting agar manusia menjalani fungsinya secara lebih utuh. Dalam usaha manusia untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, manusia tetap ingat bahwa mereka mencari keuntungan dari alam yang perlu dijaga dan dilestarikan. 

Gelar ini baik diterapkan pula dalam gelar-gelar lainnya seperti homo religiosus – technology, dengan ini manusia memiliki kesadaran bahwa teknologi yang ada juga diciptakan untuk memastikan alam tetap lestari dan nyaman untuk di huni.

            Artikulasi ulang ini adalah penegasan ulang (reafirmation) atas penghayatan identitas sejati dari manusia yang selama ini telah terdistrupsi oleh perkembangan zaman di mana semua orang dituntun untuk terus mengikuti perkembangan tersebut, manusia dituntun untuk cerdas dalam segala hal untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin kompleks. 

Belum adanya kesadaran untuk mengartikulasi gelar manusia sebagai identitas sejati ini membawa pada berbagai kerusakan yang terjadi dalam berbagai pembangunan.

 

Terlibat dan Berbuah Berkat Dalam Tujuan Bersama 

          Langkah awal penanaman nilai-nilai hasil artikulasi ulang gelar sebagai identitas manusia yang utuh tidak lain dimulai dari dunia pendidikan. Lembaga pendidikan, lembaga keagamaan hingga dalam lingkungan keluarga patut menjawab dan membangun kembali kesadaran ini. 

Selama ini, dunia pendidikan rasanya masih berkutat pada pencapaian nilai serta minat bakat seseorang serta kurang ditanamkannya nilai-nilai karakter salah satunya cinta pada ciptaan sebagai sarana mencintai Tuhan.

         Ivan Iilich, dalam bukunya berjudul Descholling Society (1971), menggangap sekolah sebagai sarana pembodohan terselubung dan mengacaukan proses pendidikan dengan substansi. 

Pertanyaan yang cukup ekstrem ini bermaksud bahwa pendidikan sebagai sarana yang membuat orang menjadi cerdas serta mampu melakukan apapun, tetapi hal ini kurang diseimbangi dengan penanaman bahwa orang cerdas saja tidak cukup, perlu disempurnakan dengan nilai-nilai karakter lainnya.

         Semua lembaga perlu terlibat untuk mengajak banyak orang secara khusus para kaum muda untuk memulai dialog pendidikannya dengan dialog akar rumput. Karakter untuk belajar setinggi-tinggi dengan tetap memperhatikan bahkan mengaplikasikan ilmunya itu pada lapisan yang rendah dalam masyarakat maupun alam secara luas.

         Dalam opini nya yang berjudul Degradasi Moralitas dan Tantangan Pendidikan Indonesia, Syamsul Ma’arif yang adalah guru besar dan dekan FPK UIN Walisongo mmengatakan , semua sekolah harus berorientasi membangun manusia cerdas, berbudaya dan juga beradab terhadap semua ciptaan. 

Dalam opini tersebut dijelaskan pula bahwa proses pendidikan, menurut Imam Al-Ghazali harus mengarah pada dua tujuan yaitu jangka panjang dan jangka pendek.

         Tujuan jangka panjang pendidikan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Semakin bertambah ilmu atau kemapuan, seseorang seharusnya semakin dekat kepada Allah. Sedangkan, tujuan jangka pendek pendidikan adalah untuk meraih profesi peserta didik sesuai bakat dan kemampuannya.

         Atas kesadaran ini kita terlibat dan berharap agar berbuah berkat dalam tujuan bersama yang akhir-akhir ini diusung oleh para pejabat negara dalam berbagai diskusi. Langkah ini kiranya dapat menjadi salah satu program yang dapat diusung dalam dikusi tersebut. 

Karena manusia tidak hanya memiliki otak yang terus diberi input, tetapi juga hati yang perlu disentuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun