Mohon tunggu...
Christine Gloriani
Christine Gloriani Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pembaca yang belajar menulis

Pembaca yang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Eksperimen Cinta 9, Tentang Kita

29 Januari 2019   22:16 Diperbarui: 29 Januari 2019   22:21 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kita?" tanyaku dengan bodohnya. "Iya, kita." Elang melepaskan genggaman tangan lalu ikut duduk di ranjang tepat di sebelahku. 

"Maksudnya?" Aku harus bertanya sejelas mungkin. Ini si Elang bukan mau nembak kan ya. 

"Ya ngomongin kita. Selama kamu sakit, ada banyak tugas dari dosen. Aku sudah nggak sanggup mengerjakannya sendirian. Kita harus segera membahas permasalahan ini. Gimana menurutmu?" 

Aku semakin bengong. Sumpah, Elang sangat membingungkan. "Menurutku kita harus ..."

"Harus kencan," sambar Elang. 

"Hah? Ngomong apa barusan?" Telingaku nggak salah dengar kan. 

Elang bergerak perlahan-lahan mendekatiku. Aku juga semakin bergeser karena salah tingkah. Apa lagi yang akan dilakukan Elang. 

Tubuhku sudah tidak bisa bergerak lagi karena sudah menempel pada tembok. Elang menyeringai. Embusan napasnya yang hangat terasa di telinga. Aku memejamkan mata. 

"Menurutku kita harus kencan. Seperti sepasang kekasih. Apa kamu setuju?" bisiknya lembut. 

Mataku langsung terbuka lebar, aku menoleh dengan cepat tanpa menyadari kalau posisi wajah kami sangat dekat. 

"Mungkin ini bisa membantu untuk menjawab pertanyaanku dengan cepat." Bibir Elang sudah lekat dengan bibirku. Kejadian ini hanya berlangsung selama sepuluh detik tapi efeknya begitu luar biasa. 

Aku mengerjap-ngerjap sedangkan Elang langsung mundur dan duduk di sofa. Tangan kanan menyentuh bibir, dia bahkan menggigit bibir bawah sambil tersenyum sekilas. 

"Gimana? Mau jadi pacarku?" tanya Elang setelah bisa menguasai diri dan bersikap biasa lagi. Aku refleks mengangguk. 

"Jangan termakan omongannya Jesi. Satu-satunya yang kucintai saat ini hanyalah kamu. Aku nggak bakal ninggalin kamu demi dia," ujar Elang yang makin membuat wajahku memanas. 

"Sepertinya dia niat banget bikin kamu balikan lagi." 

"Nggak usah dipikirkan. Dia tidak pernah serius denganku," hibur Elang. 

"Itu berarti kamu serius dengan Jesi? Kamu masih mencintainya?" tanyaku hati-hati. Ini topik yang sangat sensitif. Sebenarnya aku tidak ingin ini jadi pertengkaran pertama setelah jadian tapi aku harus tahu kebenarannya. 

"Nggak, aku cuma cinta sama kamu. Sejak dulu sampai sekarang perasaanku masih tetap sama." 

"Lalu, bagaimana kalian bisa jadian?"

Elang menatapku lama. "Belum saatnya kamu tahu." 

Elang mengeluarkan buku catatan dari dalam tas. "Jangan bahas tentang Jesi lagi. Kita mulai mengerjakan tugas." 

Aku menyibak selimut, kaki kiri sudah menyentuh lantai. Elang mendongak lalu berteriak, "Stop! Kamu di situ saja." 

"Gimana caranya kita mengerjakan tugas kalau berjauh-jauhan seperti ini?" 

"Jangan berani-berani beranjak dari sana kalau tidak ingin menanggung akibatnya." 

"Memangnya ada apa?" Kaki kanan sudah menyentuh lantai tapi aku masih duduk di ranjang. Menunggu kalimat jawaban. 

"Jangan mendekat kalau tidak ingin aku lepas kendali. Saat ini aku sedang meredam hasrat agar tidak menciummu lebih lama dari yang tadi. 

Segera saja aku menaikkan kaki dan menarik selimut sampai menutup mulut. 

"Anak pintar," puji Elang. 

Sepuluh menit berlalu tapi Elang tidak menunjukkan tanda-tanda butuh bantuan, membuat aku jadi penasaran. 

"Lang," panggilku lirih. 

Elang menyentuhkan jari telunjuk ke bibir. "Sekarang sudah selesai." Dia mengeliat untuk meregangkan tubuh. 

"Selesai? Katanya nggak sanggup mengerjakan tugas sendirian? Dari tadi kerja sendiri, aku nggak bantuin sama sekali." 

"Aku memang nggak sanggup kerja sendiri. Harus ada kamu di dekatku biar semangat kerja dan cepat selesai."

Aku terpaku menatap senyum Elang. Akhir-akhir ini dia banyak tersenyum. Masih tidak percaya kalau sekarang kami sudah menjadi sepasang kekasih. Senyum sudah mulai mengembang di bibirku. 

"Jangan sersenyum. Ini godaan." Elang menelan ludah dengan susah payah. 

Perlahan-lahan dia berdiri menghampiriku. Suara pintu dibuka dengan kasar membuat Elang menghentikan langkahnya. 

"Kenapa kamu nggak mau ngalah sih?" bentak Rindu yang masuk bersamaan dengan Bagus. Mereka berdua saling dorong, memaksa melewati pintu bersamaan. 

"Sudah lewat jam besuk. Pulang sana!" usir Bagus. 

"Hey, aku ini sahabatnya. Dia butuh aku." 

"Hey, aku ini kakaknya. Dia lebih butuh aku dari pada kamu." 

Mereka berdua berdiri berhadapan, saling bersedekap dengan sikap bermusuhan. 

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Aku menghentikan aura panas diantara mereka. 

"Ah, kamu sudah boleh pulang. Aku sudah mengurus semua administrasinya. Sekarang kita berkemas." Bagus melangkah mendekati ranjang, tapi Rindu mendorongnya ke kiri hingga sempoyongan. 

"Aku bantu berkemas." Rindu menarik tas ransel dan menata baju-baju milikku. 

"Infusnya gimana, Gus?" Pertanyaan dari Elang membuat langkah penuh emosi milik Bagus berhenti. 

"Sebentar lagi perawat akan melepasnya." 

... 

Ini adalah hari pertamaku masuk kuliah setelah sepuluh hari sakit. Sekarang kami berada di ruang praktikum parasitologi. 

Seperti biasa, kami berkeliling melihat preparat dan memberi keterangan pada gambar di buku tugas. Ini memungkinkan para mahasiswa untuk mengobrol bebas karena tidak berkeliling sesuai urutan abjad. 

"Ada gosip kalau kamu pacaran dengan Elang. Itu benar-benar gosip yang lucu dan tidak mungkin terjadi." Christal tertawa terbahak-bahak. 

"Apa yang lucu? Kami memang pacaran," ujar Elang dengan muka tanpa ekspresi andalannya. 

"Apa!" Hampir semua cewek di tempat praktikum berteriak. 

"Cie, cie. Banyak yang patah hati nih," ejek Hera. 

Suara dentuman keras terdengar yang disebabkan oleh pingsannya beberapa cewek. Pesona Elang memang luar biasa. Setelah ini pasti banyak yang mem-bully-ku. Seperti fans idol yang tidak terima kalau idolanya punya pacar. 

Praktikum hari ini dibatalkan karena kejadian pingsannya sebagian besar cewek-cewek. Tentu saja yang masih sadar harus ekstra bekerja keras untuk menyadarkan. 

Elang hanya melihat tanpa mau membantu. Dia beralasan tidak ingin membuat yang dibantu besar kepala karena merasa mendapat perhatian lebih. 

Setelah semua cewek siuman, praktikum dibubarkan. Elang mendapat hukuman membereskan mikroskop dan juga preparat karena sudah membuat keributan. 

Dari pada menunggu di lantai tiga, lebih baik aku turun saja. Baru juga kaki menjejak di lantai satu, eh sudah dapat kejutan. Aku dikerumuni oleh berbagai cewek dari teman seangkatan sampai adik kelas, bahkan dari Akfar juga ikut berkumpul. 

Tak kukira akan secepat ini berita tersebar. Fans Elang memang benar-benar luar binasa. Jesi ada di barisan paling depan. Harusnya aku tahu siapa yang menggalang massa ini. 

"Putuskan Elang! Kamu nggak pantas buat dia. Iya nggak?" Jesi berteriak memberikan orasi seperti sedang demo menurunkan seorang pemimpin. 

"Lalu yang pantas itu kamu?" tanyaku. 

"Tentu saja," jawab Jesi dengan penuh percaya diri. 

Terjadi keributan karena masing-masing cewek merasa kalau dirinya yang berhak menjadi pacar Elang. Terjadi aksi saling dorong karena mereka tidak setuju dengan perkataan Jesi. 

Tanganku digenggam dengan mantap lalu terdengar bisikan yang mengatakan kalau aku harus lari secepat mungkin. 

"Kita mau kemana? Nggak bawa motor?" Aku menoleh ke parkiran. 

"Hari ini aku nggak bawa motor. Gimana kalau kita kencan?" Elang mengerling, membuat senyumku melebar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun