"Kamu bodoh atau pura-pura bodoh? Sampai-sampai tidak sadar kalau dipermainkan?" ejek Jesi.
"Terserahlah. Aku pulang." Aku berlari kencang meninggalkannya.
Mas Bagus yang duduk di bangku depan kampus mematikan hp saat melihatku berlari mendekatinya. "Kok lama."
"Ayo pulang, Mas." Suaraku bergetar menahan tangis.
Aku memakai helm dan membonceng. Kupeluk erat mas Bagus. Rasanya sesak mengetahui kalau aku hanya di manfaatkan saja.
"Menangislah kalau kamu memang ingin menangis. Kembali tersenyum saat sudah sampai rumah. Jangan sampai mereka tahu kalau kamu bersedih. Kamu tidak ingin membuat mereka bersedih juga kan?"
Perkataan mas Bagus malah membuat tangisku berhenti. Aku tidak ingin membuat orang lain kuatir.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H