Sepanjang hari Elang sama sekali tidak mengajakku berbicara, memandang wajahku pun tidak. Dia dalam mode bunglon. Tadi pagi lumer seperti es krim yang mencair, sekarang seperti es balok.
Karena perubahan sikap Elang, aku jadi meminta mas Bagus untuk menjemputku. Lagian aku nggak mungkin mengharapkan Elang untuk mengantar pulang setiap hari. Hera juga sudah mulai pulang sendiri karena janjian dengan pacarnya.
Selesai praktek aku buru-buru pulang. Kasihan kalau mas Bagus menunggu terlalu lama. Kakiku hampir menyentuh anak tangga terakhir saat tubuhku didorong hingga membentur dinding.
"Aku mau bicara." Jesi memegangi tanganku dengan erat dan menyeretku menuju taman belakang.
"Lepasin. Aku harus segera pulang."
"Aku mau ngajak kamu taruhan. Kalau dalam seminggu, Elang balikan lagi sama aku. Kamu harus jauh-jauh dari Elang." Jesi menaikkan dagu sambil bersedekap.
"Gimana harus jauh-jauh. Kami sekarang kan partner."Â
"Kamu tahu maksudku. Jangan pura-pura bodoh!" bentak Jesi sambil menunjuk mukaku dengan telunjuknya yang gendut.
"Urusan hati bukan untuk menjadi bahan taruhan."Â
"Huh, aku bahkan berani bertaruh kalau kedekatan kalian selama ini hanya untuk membuatku cemburu. Elang sengaja dekati kamu agar aku cemburu dan mau jadian lagi dengannya."
"Terserah apa katamu. Aku tidak peduli." Tanganku mengepal erat.