Aku menundukkan badan untuk melihat preparat yang sudah dilihat Elang. Memang tidak wajib berurutan tapi Elang bersikeras memposisikan diriku tepat di belakangnya.
"Lang, ini keterangannya apa ya?"
Aku dan Fahmi mendongak mendengar suara Hera. Dia masih berani bertanya setelah kejadian tadi. Kupikir dia bakalan mendiamkan Elang. Gigih juga perjuangannya. Apa aku harus seperti dia dalam merebut hati Elang. Itu berarti harus bersaing dengan sahabat sendiri. Kugelengkan kepala beberapa kali untuk mengusir pikiran itu jauh-jauh.
"Tanya Fahmi saja. Diakan partnermu," jawab Elang dengan ekspresi datarnya.
"Ah Elang, nggak asik nih." Hera mencebik.
Elang nggak seperti Fahmi yang senang kalau ditanyai. Ber-partner dengan Fahmi membuat tugas praktekku cepat selesai. Rasanya sungkan kalau harus bertanya pada Elang padahal ada bagian yang tak kumengerti.
"Udah selesai, Lok?" tanya Fahmi yang melihatku bengong sambil menatap halaman buku.
Aku menggeleng lemah. Masih tersisa tiga bagian lagi yang belum kutandai. Tadi tidak fokus karena insiden nggak sengaja dipeluk Elang.
"Mana yang nggak ngerti?" Fahmi mencondongkan badan agar bisa melihat gambar parasitku lebih jelas.Â
Aku hendak mendorong buku mendekati Fahmi tiba-tiba sebuah telapak tangan menahan buku hingga tetap diam di tempat. Aku menoleh dengan pandangan protes.
Tanpa bicara, Elang menyodorkan bukunya untuk kucontek. Dia malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Fahmi mundur saat melihat perlakuan Elang.