"Sebenarnya aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacarku?"
Mulut Gina membuka karena tidak menyangka akan mendengar hal ini. Alip semakin alah tingkah. "Maaf kalau aku nembak di sini dan dengan situasi ini. Aku cuma tidak ingin terlamabat menyampaikan isi hatiku."Â
"Tapi kenapa? Kukira kita ini berteman akrab?"Â
"Teman? Kamu hanya menganggapku teman?" tanya Alip tak percaya.Â
"Selama ini aku yakin pertemanan kita tifak akan dinodai dengan yang namanya cinta. Aku cukup yakin kalau hubungan kita bakal harmonis sepanjang masa." Gina meremas-remas tisu yang sedari tadi dipegang.Â
"Aku malah yakin kalau kamu juga memiliki rasa cinta buat aku. Seperti yang aku rasakan kepadamu."Â
Bahu Gina bergerak naik turun dengan perlahan-lahan. "Aku merasa kita mengalami yang namanya beda keyakinan. Keyakinan kita tidak sama. Kamu yakin kalau kita saling jatuh cinta, sedangkan aku yakin kalau kita adalah sahabat dekat."Â
Alip benar-benar tidak memahami situasi ini. Semua angan bahagia yang sedari tadi ada di kepala tiba-tiba hancur tanpa bekas.Â
Gina meraih tangan Alip dan meremasnya dengan lembut. "Maaf, aku tidak bisa menerima cintamu. Aku sudah jadian dengan Kesit. Selama ini kita menjadi dekat karena kamu adalah temannya."Â
Alip hanya terpaku menatap Gina. Jadi selama ini dia sudah salah mengartikan perhatian Gina. "Asem!"Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H