Mohon tunggu...
Christine
Christine Mohon Tunggu... Guru - Hanya orang biasa...

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Angka 3 Kok Mirip Burung?

5 Desember 2020   06:51 Diperbarui: 5 Desember 2020   06:53 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nah, ini baru benar!/olah pribadi

Secuil kisah mengenal matematika yang kutulis dari sudut pandang si mungil Ade berdasarkan buku harianku dan ngobrol seru dengan Ade (8 tahun).

Panggil saja aku Ade

Aku lahir di sebuah keluarga bahagia sebagai anak kedua. Usiaku dan kakakku berbeda 3 tahun. Aku adalah anak yang lincah, kreatif, ceria dan hobi menyanyi. Sifat lincahku sudah terlihat sejak dalam kandungan, aku suka sekali bergerak meliuk-liuk supaya perut Ibuku berbentuk gunung-gunungan. Kakakku bertolak belakang dengan aku, dia pendiam, bisa asyik sendiri melihat brosur mobil dan suka mengamati banyak hal.

Salah satu aktifitas yang menyenangkan selama aku kecil adalah jalan pagi keliling kompleks. Banyak hal yang bisa dilihat, menghirup udara pagi yang segar, merasakan hangatnya matahari dan tentu saja bisa berlari-lari bersama tetangga yang sebaya denganku. Ketika aku berusia 3 tahun, aku menyadari teman jalan pagiku menjadi berkurang. Ibu menjelaskan bahwa sebagian temanku sudah pergi ke sekolah. Oh, bukannya sekolah untuk anak besar seperti Kakak ya? Menurut Ibu, di kota besar ada sekolah untuk anak-anak kecil bahkan ada juga sekolah untuk bayi. 

Tapi Ibu belum mau mengirim aku ke sekolah, karena Ibu tidak mau aku keburu bosan di sekolah karena bersekolah terlalu dini. Aku setuju saja, aku senang masih bisa bermain setiap hari dengan Ibu, tidak perlu ke sekolah. Namun Ibu bilang, dia akan menjadi sekolah pertamaku. Dia akan mengajariku di rumah supaya aku tidak tertinggal jika masuk sekolah nanti. Tentu aku tidak keberatan, bukankah sejak aku lahir, Ibu yang pertama kali mengajariku banyak hal? Berjalan, makan sendiri, mengucapkan terima kasih dll.

Salah satu yang berkesan buat aku adalah pengenalan angka. 

Suatu pagi, seperti biasa Ibu mengajak berjalan pagi. Tetapi entah mengapa, Ibu menuntunku ke sebuah mobil lalu menunjuk ke pelat mobil. Dia menjelaskan ini adalah angka 1, angka 2, dan seterusnya. Aduh, Ibu lagi bicara apa sih? Mengapa kita tidak jalan-jalan seperti biasa? Aku tidak tertarik ahh, aku sengaja belok bermain dengan kucing tetangga. Ibu coba menuntun aku lagi ke pelat mobil, namun aku tidak tertarik. 

Lalu Ibu bercerita, dulu Kakak mengenal angka dengan cara seperti ini, melihat pelat mobil. Kakak memang suka sekali dengan mobil. Sejak kecil, dia bisa menyebutkan dengan tepat jenis-jenis mobil, kadang lengkap dengan tipenya. Sementara ibu setelah dewasa pun tetap saja hanya mengenal dua jenis mobil, sedan-sedanan dan kijang-kijangan hehe.. 

Dari kesukaan Kakak akan mobil, ternyata Ibu manfaatkan untuk mengenal angka. Kakak dengan cepat mengenal angka lewat pelat mobil. Oh ternyata, ada tujuannya Ibu membawa aku melihat pelat mobil. Baiklah, aku akan berusaha seperti Kakak. Ibu kembali menuntun aku ke pelat mobil, sekali lagi dia mengulang, ini angka 2..ini angka….Ohh, kupu-kupunya lucu sekali, aku kejar kupu-kupunya…kutinggalkan Ibu yang tampak bingung di samping mobil.

Sepertinya Ibu sadar, cara pelat mobil tidak kusukai. Ibu kan sangat mengenal aku. Aku tidak suka mobil. Tampaknya ibu mencoba cara lain. Ibu sering menunjuk angka-angka yang ada di rumah sambil mengulang-ulang, angka 2 seperti bebek, angka 3 ibarat burung, angka 4 itu kursi…Diulang-ulang seperti itu sambil ditunjukkan angkanya. Aku manggut-manggut aja walaupun aku tidak mengerti. Apa hubungnya angka dan benda-benda itu ya. Sama sekali tidak sama, kenapa Ibu ulang terus?

Hmm... apa mirip ya?/olah pribadi
Hmm... apa mirip ya?/olah pribadi

Suatu saat Ibu bertanya sambil menunjuk angka di kaleng susu, “ Ade, angka berapa ya?” Aku jawab, “ Yang kayak bebek kan?” Karena Ibu paling sering mengulang kata-kata bebek. Ibu mengangguk dengan semangat dan penuh harap. Aku melanjutkan dengan asal,” Angka 4!!” Waduh, kok Ibu seperti ingin gubrak di tempat. Jawabanku salahkah? 

Ibu mengulang lagi pelajarannya…Aku mendengarkan saja tapi tetap tidak mengerti. Ibu semakin bingung…Ayah mencoba membantu, katanya perut angka 3 itu ada dua di sebelah kanan. Wah, aku semakin bingung. Setahu aku perut itu yang bisa merasakan lapar, apakah angka tiga bisa lapar juga? Kanan dan kiri saja aku belum terlalu mengerti.

Selama beberapa hari Ibu tampak berpikir. 

Aku tahu Ibu tidak menyerah mengajariku. Aku yakin Ibu akan menemukan cara yang paling cocok untuk aku belajar. Ibu kan yang paling mengenal aku. Aku ingat Ibu pernah bercerita kalau cara berpikirku berbeda dengan anak lain. Suatu saat aku mengerjakan aktifitas permainan Singa yang hendak pulang ke rumahnya dan aku harus mencari jalan yang tepat untuk sampai ke rumah. Wow, aku senang sekali dengan aktifitas ini. 

Aku bayangkan Singanya seperti aku yang suka jalan-jalan. Lalu Ibu bertanya, “ Apakah  Ade tidak mengerti permainannya seperti apa, kok jadi benang kusut?” Benang kusut?? Aku menjawab dengan polos ,”Mengerti kok, singanya mau pulang rumah kan? Tapi sebelum pulang rumah, singanya mau jalan-jalan dulu. Ini ujung benang kusutnya ada di rumah Singa.” Ibu tidak marah setelah aku menjelaskan, bagi Ibu tidak apa-apa kalau Singa mau jalan-jalan dulu, yang penting Singa selamat sampai di rumah.

Balik lagi ke angka, tampaknya Ibu sedang berusaha mengerti jalan pikiranku sama seperti ketika aku mencarikan jalan pulang untuk Singa. Ibu bertanya,” Mengapa Ade tidak mengerti angka 3 itu yang seperti burung?” Aku jawab,”Tiga itu kan angka, burung itu kan hewan yang bisa terbang, mengapa dibilang mirip?” Ibu mengangguk setuju, “Betul juga ya, mengapa tiga mirip dengan burung?” Lalu Ibu mengambil kertas dan mulai menggambar. Padahal Ibu tidak bisa menggambar. Ibu menunjukkan kemiripan angka 2 dan bebek. Ohh, kalau digambar seperti ini, aku jadi mengerti. 

Lanjut ke angka 3, Ibu mengajak berdiskusi, “Kalau angka 3 itu tidak mirip burung, lalu mirip apa ya?” Menurutku mirip kelopak bunga. Lalu Ibu menggambar boneka pandaku di atas angka 4. Ibu juga membuatkan lagu untuk setiap angka. “ Charlie sits on the chair…” (Sol sol mi la sol mi). Charlie adalah nama bonekaku. Wow menyenangkan sekali belajar sambil menyanyi, aku kan hobi menyanyi. Aku menjadi mengerti mengapa selama ini Ibu bilang angka 4 mirip dengan kursi.  Angka 5 menurutku malah mirip dengan burung. Ibu mengikuti saja. Angka 6 seperti kacamata. Angka 7 menjadi es krim, angka 8 orang-orangan salju dan angka 9 seluncuran.

Nah, ini baru benar!/olah pribadi
Nah, ini baru benar!/olah pribadi

Dannn….tidak butuh waktu lama, langsung aku hafal angka-angka itu. Senangnya hatiku, Ibu juga pasti senang dan rasanya Ibu pasti tidak menyesal meninggalkan pekerjaan penuh waktunya untuk mengurus aku dan Kakak.

Tahun-tahun berlalu, sekarang Kakak sudah berumur 11 dan aku 8 tahun. 

Aku ingat pengalamanku mengenal angka karena Ibu mencatatnya dalam  buku harian yang berjudul Cicit Cuit Anak-Anak. Buku ini bukan hanya berisi tentang pertumbuhan kami, namun juga komentar-komentar lucu kami. Setelah besar, kalau kami membaca buku harian ini, biasanya kami protes,” Masa aku gitu sih…bohong ahhh.” Masa aku lucu begitu sih..

Sampai sekarang, kalau aku menemui kesulitan dalam pelajaran, biasanya Ibu sesuaikan metodenya dengan gaya belajar aku. Seperti soal cerita matematika, Ibu modifikasi sesuai kehidupan sehari-hari, contohnya:

Ibu mempunyai 6 kue bolu. Masing-masing anak mendapatkan kue bolu yang sama banyaknya. Tetapi Kakak iseng mengambil 1 kue bolu Ade. Ade menangis, lalu Ibu memberikan 1 kue bolu lagi untuk Ade because I love you so much. Berapa kue bolu Ade sekarang? Apakah Ade masih menangis?

Kadang aku tertawa sendiri membaca soal ceritanya. Kakak memang suka usil. Dan aku juga tambahkan di jawabannya, I love you too dan Ade sudah tidak menangis.

Aku intip soal untuk Kakak:

Ayah mengendarai mobil Mit**bishi Lan*er Evol*tion X dari Jakarta ke Bandung yang berjarak 130 km dengan kecepatan konstan 120 km/jam. Di tengah jalan mobil Ayah kehabisan bensin dan mogok. Ayah harus menunggu 1 jam sampai bantuan datang. Jika Ayah berangkat jam 8, pukul berapa Ayah tiba di Bandung?

Ibu pintar juga ya, mobil di atas adalah mobil yang sedang dikagumi Kakak.

Jadi Ibu memang sekolah pertamaku dan sekolah terbaikku, terutama pada saat aku masih kecil. 

Ada temanku yang suka berlari-lari di kelas. Menurut Ibu, gaya belajar anak berbeda-beda. Temanku itu mungkin gaya belajarnya kinestetik yang mungkin lebih mudah untuk belajar berhitung sambil bermain bola. Di sekolah, sulit sekali kalau guruku harus menyesuaikan gaya mengajarnya dengan setiap anak. Kalau bersama Ibu, bisa disesuaikan cara mengajarnya untuk aku dan Kakak yang berbeda sifat. Untuk Kakak mengenal angka dengan pelat mobil, untuk aku dengan gambar dan lagu.

Di masa pandemi ini, Ibu menjadi guru super lho. Bisa menjadi guru PPKN, Miss English, Guru Bimbingan Konseling, Kakak Pembina Pramuka sampai Laoshi Mandarin walaupun Ibu tidak bisa Bahasa Mandarin. Kapan-kapan aku berbagi pengalaman belajar membaca dan menulis bersama Ibu ya hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun