Udara begitu dingin, namun bara hati telah menyala terang menghangatkan suasana malam pada tanggal 17 Agustus 2023 dan membakar semangat seorang budayawan bersama putra-putrinya yang berada di sudut dari sebuah desa, ketika menyanyikan gema merdeka dan beberapa lagu dari sang musisi legendaris, Leo Kristi.
Sang budayawan itu adalah seorang bocah laki-laki berusia 11 tahun penggemar Leo Kristi pada 48 tahun silam, yang semangat dan kesadaran cinta akan tanah airnya dibangkitkan dan digelorakan oleh lagu-lagu dari karya seorang Leo Kristi. Lagu-lagu yang menyenandungkan semangat cinta bangsa dan kisah-kisah rakyat dalam irama folk (balada kerakyatan).
Di pendopo Rumah Budaya Sekar Ayu yang berada di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang malam itu, lagu Indonesia Raya pun dinyanyikan oleh sang budayawan bersama putra-putrinya dengan sepenuh hati, sebagai pembuka acara konser musik Leo Kristi dalam rangkaian peringatan HUT ke-78 RI secara eksklusif.
Pesan Air dalam Sebuah Karya Musik
Lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman memang menakjubkan. Dr. Masaru Emoto dari Jepang telah membuktikan bahwa kristal air dari lagu Indonesia Raya tampak begitu megah seperti tergambar di dalam bukunya yang berjudul Pesan dari Air, yang pernah penulis baca pada tahun 2005.
Bahkan ketika penulis menyimak dari National Geographic Indonesia (2021), Sang Peneliti Air tersebut juga menyatakan bahwa air tidak hanya berbicara tentang senyawa H20 saja. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pikiran, kata-kata, emosi, doa dan musik ternyata juga memiliki efek langsung pada pembentukan kristal air.
Maka, oleh karena tubuh dan planet kita sebagian besar adalah air, maka pikiran dan kata-kata tidak hanya memengaruhi diri kita sendiri, tetapi juga dunia.
Sebuah molekul air mengandung dua atom hidrogen yang masing-masing terikat pada atom oksigen yang sama. Saat air membeku pada nol derajat celcius, molekul-molekul berbaris dalam susunan teratur, di bawah pengaruh daya tarik timbal balik dari muatan yang berlawanan, untuk membentuk kristal.
Dapatkah kita membayangkan betapa indah semesta di dalam diri kita pada saat kita menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan sepenuh hati? Apalagi jika dinyanyikan tiga stanza sekaligus yang seluruhnya liriknya begitu puitis, memuat doa dan harapan indah pada negeri ini?
Begitu pun dengan lagu-lagu Leo Kristi yang selalu menyenandungkan semangat cinta bangsa. Maka, tidaklah mengherankan bila rasa cinta bangsa dan tanah air kemudian perlahan-lahan tumbuh dalam hati bocah kecil itu. Karena air, ternyata dapat mendengar pesan dari sebuah komposisi musik.
Lagu-lagu Leo selalu didengar oleh bocah kecil itu setiap pagi sebelum fajar merekah, usai belajar pagi sebelum berangkat sekolah, dan menjadi bagian dari rutinitas yang tak bisa ditinggalkan begitu saja, hingga menjadikan Leo sebagai sosok yang tak terlupakan baginya.
Rasa percaya diri kemudian tumbuh subur ketika bocah kecil itu mulai menyanyikan lagu-lagu Leo di acara pentas seni di sekolahnya dan juga di acara kepramukaan. Ia tak peduli bila selera musiknya berbeda dengan teman-teman sebayanya. Baginya, lagu Leo itu sangat keren dan ia terus membiarkan lagu-lagu sang idola bergema di dalam semesta dirinya.
Sang musisi pengelana yang dimiliki negeri ini tersebut benar-benar telah berhasil menyulut semangat cinta tanah air pada bocah kecil itu, hingga bayangan sebuah desa tampak nyata dalam benak sang bocah melalui lagu Salam dari Desa yang diciptakannya.
Bagi bocah kecil yang tinggal di kota metropolitan itu, lagu Salam dari Desa benar-benar sangat keren, membuatnya jatuh hati, dan langsung menggores jiwanya yang sunyi sejak kali pertama mendengarnya.
"Kalau ke kota esok pagi, sampaikan salam rinduku, katakan padanya nasi tumbuk telah matang. Kan kutunggu sepanjang hari, kita makan bersama-sama, berbicang-bincang di gubuk sudut dari desa..."
Salah satu lagu dari Leo ini memang menunjukkan bahwa sang musisi benar-benar seniman merdeka yang sanggup memotret keadaan desa untuk dibawa ke kota dengan lirik lagu yang indah dan puitis, hingga mampu membangkitkan kerinduan seorang bocah kecil akan alam sebuah desa.
Sosok Seorang Leo Kristi
Leo Kristi lahir pada 8 Agustus 1949. Merupakan seorang musisi pengelana yang unik dan memiliki jiwa patriotisme, yang dimiliki negeri ini. Patriotisme sendiri terdiri dari kata patriot dan isme, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah air.
Dan perjalanan panjang seorang Leo Kristi menjelajahi Nusantara yang selalu melahirkan karya-karya indah untuk negeri ini tentu saja patut dikagumi dan diapresiasi.
Pada setiap karyanya, ia selalu memasukkan unsur-unsur musik daerah setempat untuk dikemas dalam gayanya yang unik dan selalu menakjubkan.
Dengan komposisi aransemen musik ciri khasnya, karya Leo selalu saja dapat mengungkap jati dirinya sebagai sosok seniman merdeka dengan karakter yang kuat. Sosok musisi yang tak hanya sekadar mengamati dan menyimpulkan pengamatannya untuk dijadikan sebuah karya indah, namun benar-benar mengalami apa yang tertuang di dalam karyanya.
Melalui karyanya, Leo Kristi benar-benar dapat memperlihatkan betapa negeri ini memang sangat kaya akan budaya. Mendengarkan, merasakan dan menikmati karya musik seorang Leo, membuat kita bagai menjelajah Nusantara melalui sudut pandang sang musisi yang tetap memerdekakan penikmatnya memiliki jangkauan pandangan yang luas.
Sosok Sang Budayawan Itu
Di balik berdirinya Rumah Budaya Candhik Ayu Surabaya pada tahun 1998-2002, yang keindahannya dibangun dan dikelola dengan napas ikhlas tanpa pamrih, di sana ada sosok bocah kecil pengagum Leo Kristi yang telah tumbuh dewasa menjadi seorang budayawan.
Bocah kecil yang telah berusia 33 tahun itu akhirnya memiliki karakter yang sangat kuat dan menjadi patriot bagi bangsanya setelah dua puluh tahun lebih membiarkan lagu-lagu sang idola bergema di dalam dadanya, yang terus menggelorakan dan menumbuhkan jiwa patriotisme dalam dirinya.
Melalui bidang seni dan budaya, sang budayawan pengagum Leo Kristi itu pun akhirnya dapat mewakili bangsanya di kancah Internasional tanpa harus meninggalkan tanah airnya. Ia berdiri tegak di tanah pusakanya yang kaya, di sebuah rumah budaya kecil, yang pertama ada di kota Surabaya.
Kegiatan pameran lukisan, penerbitan buku biografi pelukis, pembuatan film dokumenter profil pelukis, sarasehan dan bedah buku, pembacaan puisi dan sastra, macapatan, karawitan, teater anak, melukis dan juga menari baik tari Jawa klasik maupun tari kreasi baru, kesemuanya memberikan warna pada rumah  budaya tersebut.
Beberapa pelukis tanah air juga sempat mewarnai indahnya galeri di rumah budaya tersebut mulai dari pelukis Masoedin (Solo), beberapa pelukis muda Surabaya, pelukis H. Hardjiman (Yogyakarta), Setyoko (Surabaya), Lim Keng (Surabaya), dan juga Djoko KS (Bali).
Pelukis dari Jerman, Brigitte Loch juga pernah berpameran tunggal di Candhik Ayu pada akhir 2001. Demikian pula dengan pelukis berkewarganegaraan Amerika Serikat, John Schlechter yang ketika itu telah berusia 79 tahun sempat pula menorehkan warna pada pameran tunggalnya di sana.
Sang budayawan pernah dianggap sebagai sosok yang mampu merobohkan benteng tembok Cina ketika berhasil meyakinkan sosok Lim Keng, seorang sketser yang berpendirian kuat untuk yang pertama kali di dalam hidupnya bersedia berpameran tunggal di rumah budayanya dengan tajuk "Garis dalam Hidup Saya".
Ketika itu pameran dibuka oleh Wakil Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya bersamaan dengan peluncuran buku biografinya oleh Dr. Dwi Marianto (ISI Yogyakarta) yang diterbitkan oleh rumah budayanya tersebut.
Menyusul Djoko KS (Bali) yang juga berpameran tunggal untuk kali pertama dengan tema "Untitled" pada tahun yang sama, dibuka oleh Konsul Jenderal Perancis di Surabaya bersama dengan peluncuran bukunya dengan judul "Energy within the untitled works of Djoko KS" oleh Jean Couteau.
Pembacaan Cerpen dan Proses Kreatif Ratna Indraswari Ibrahim yang merupakan seorang penulis dari Malang pun juga sempat mengisi ruang sastra di sana dengan tema "Penindasan" pada awal 2002.
Dan pameran tunggal karya lukis John Schlechter, dengan tajuk "The Mysterious World" yang dibuka oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat pada 2002, akhirnya mengantar sang idola datang padanya.
Pertemuan Sang Idola dan Penggemarnya
Hari itu seorang pelukis ternama di Surabaya bernama Asri Nugroho datang melihat pameran lukisan karya John Schlechter bersama sang musisi, Leo Kristi ke Rumah Budaya Candhik Ayu.
Sang musisi tampak begitu menikmati satu persatu sketsa karya John Schlechter yang terpajang di dinding galeri dan juga ratusan karya lainnya dalam bentuk album khusus dengan ukuran besar.
Tak ada pembicaraan yang serius antara sang musisi dengan sang budayawan ketika itu, selain kesepakatan barter tiga sketsa karya John Schlechter dengan satu lukisan karya pelukis Asri Nugroho.
Namun ketika sang budayawan mengantarkan tiga sketsa karya John Schechter ke kediaman pelukis Asri Nugroho setelah pameran berakhir, pada pertemuan kedua itulah pembicaraan mendalam antara sang musisi dan sang budayawan itu pun terjadi.
Penulis benar-benar bersyukur pernah menyaksikan hampir seluruh pameran lukisan yang pernah terselenggara dan sempat menjadi bagian dari tim kreatif rumah budaya tersebut, sehingga dapat menyaksikan pertemuan antara sang musisi dengan sang budayawan, antara sang idola dengan penggemarnya di kediaman pelukis Asri Nugroho pada waktu itu.
Pada kesempatan tersebut, sang budayawan tampak begitu bersemangat menceritakan seluruh kekagumannya pada sang idola sejak ia masih kecil, yang kala itu (pada tahun 2002) sang idola sedang vakum berkarya.
Maka, bocah kecil yang tak lagi timur itu akhirnya berganti membakar semangat sang idola untuk kembali berkarya. Memberikan gagasan dan inspirasi untuk membuat konser rakyat yang berbeda dari sebelumnya, yakni konser rakyat dengan iringan orkestra seperti impiannya sewaktu kecil untuk sang idola.
Tentu tidaklah mudah mencari pemain orkestra yang mampu mengimbangi gaya unik sang idola, namun ada kelegaan yang tampak dari dua pasang mata hari itu. Dua pasang mata milik sang idola dan sang penggemarnya dengan tatapan yang begitu lekat. Tanpa kata, namun tersirat makna mendalam dan misterius.
Dan hari itu ternyata adalah pertemuan terakhir antara sang idola dan penggemarnya. Setelah mimpi untuk sang idola disampaikannya secara langsung, sang budayawan itu pun kemudian menutup rumah budaya yang telah dibangunnya selama empat tahun dan membuka cakrawala baru dari jejak-jejak indah yang ditinggalkannya. Karena meskipun telah tutup, aktivitas seni dan budaya yang ada di Candhik Ayu masih berjalan serta tersebar di sudut-sudut kota Pahlawan.
Salam dari desa yang pernah ia simpan rapat-rapat di sudut hatinya pun akhirnya ia buka lebar-lebar. Dan dengan keikhlasan yang sungguh sempurna, ia pun meninggalkan kota menuju sebuah desa di bawah gunung biru yang dirindukan.
Di desa, ia akhirnya dapat mengajarkan semangat cinta tanah air pada anak-anak negeri yang masih belum mampu menghafal lagu gema merdeka.
Sebelum sang idola tutup usia dan menyelesaikan perjalanannya dengan cinta yang suci, menuju dan menemukan yang ia cari, konser rakyat dengan iringan orkestra seperti yang diimpikan bocah kecil itu akhirnya dapat diwujudkan oleh sang idola.
Bagi penggemarnya, sang idola tetaplah hidup di dalam karya indahnya. Dan keindahannya akan selalu berderak mengisi kehidupan.
Musik Leo pun menyatukan putra-putri pertiwi lintas generasi
Setelah latihan dengan alat musik seadanya, akhirnya konser musik Leo Kristi dapat terlaksana pada tanggal 17 Agustus 2023. Sang budayawan pun menyanyikan lagu-lagu sang idola dengan penuh perasaan bersama putra-putrinya yang memainkan beragam alat musik. Ada si sulung yang mewakili dari generasi Y, ada yang dari generasi Z dan juga dari generasi Alfa.
Jika dalam keseharian putra-putri sang budayawan tersebut memiliki aktivitas yang berbeda, malam itu musik telah menjadi seutas benang merah yang mampu mengaitkan mereka dalam satu rajutan yang indah. Seni memang tak membutuhkan keahlian, tetapi ketulusanlah yang dapat memudahkan sang alam bekerja untuknya, memberikan pencerahan di setiap kesulitan yang datang.
Tentu tak mudah meniru permainan gitar sang musisi. Kepiawaian Leo dalam memetik gitar bernuansa Spanyol dan Italia memang begitu istimewa, apalagi ketika sang musisi meramunya bersama unsur alat musik daerah dengan komposisi aransemen musik khas seorang Leo Kristi.
Meski demikian, anak-anak dari sang budayawan tersebut akhirnya dapat menyanyikan gema merdeka dengan alat musik seadanya, yakni gitar, seruling, galon air minum, toples plastik, botol kaca berisi beras, botol plastik berisi makanan burung, dan handphone untuk aplikasi alat musik.
Kabut gunung biru pun kemudian perlahan-lahan turun menyempurnakan keindahan malam itu, berpadu dengan kehangatan suasana yang telah tercipta.
Suara Leo seolah kembali hidup, membakar semangat putra-putri pertiwi malam itu. Dan delapan lagu Leo pun akhirnya berhasil mengalun dengan merdu mengikuti perjalanan rembulan menuju puncak malam, yang diakhiri dengan lagu Dirgahayu Indonesia Raya. Dirgahayu... Dirgahayu... Indonesia Raya...
Bandungan, 30 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H