Telah terbuka tirai kabut yang turun dari lereng gunung Sakya, seiring dengan terbitnya sang fajar yang meneteskan embun di ujung rumput.
Demikian pula setiap anak yang terlahir ke dunia. Dengan cahaya yang ada di dalam dirinya, mereka pun akan dapat menyingkap tirai kabut kehidupan yang menghalangi pendaran cahaya mereka, dan cepat atau lambat pintu akan terbuka lebar untuk memudahkan jalan menuju peran hidupnya di alam semesta, yang telah tertulis dalam buku kehidupan.
Perubahan zaman yang semakin pesat memang telah membuat segala aspek kehidupan juga turut bergerak cepat seiring dengan perjalanan kehidupan manusia. Oleh karenanya, dunia pun semakin berwarna dengan dampak yang menyertainya.
Pola pengasuhan anak, pola makan yang diterapkan, dan pola pendidikan pun juga semakin berwarna seiring dengan waktu yang bergulir pasti, membungkus keindahan pada setiap warna kehidupan yang dilewatinya.
Dan karena setiap insan memang memiliki peran hidup yang berbeda di semesta, maka perlakuan yang berbeda dan hak-hak yang diterima anak dari orangtua dan lingkungan pun bisa saja berbeda, bahkan sejak dari dalam kandungan.
Tentang Veganisme dan Bayi Vegan
Beberapa tahun terakhir veganisme memang semakin populer. Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, veganisme adalah filosofi atau gaya hidup yang tidak mengonsumsi daging, ikan, produk susu, atau telur.
Jika diterapkan dengan benar, sangat masuk akal bila pola makan vegetarian maupun vegan akan dapat memberikan manfaat kesehatan dalam pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu.
Demikian pula menurut Academy of Nutrition and Dietetics, pola makan vegetarian dan vegan pun juga dinyatakan sehat, dengan catatan pola makan yang diterapkan terencana dengan tepat dan cukup nutrisi, tentu saja dengan memerhatikan/mengontrol kandungan gula, natrium dan lemak jenuhnya.
Maka, ketika orangtua memiliki kebijakan untuk memperkenalkan pola makan vegan kepada bayinya dalam jangka waktu tertentu atau seterusnya, tentu saja yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan nutrisinya.
Diet vegan biasanya memang lebih rendah kalsium, vitamin D, dan vitamin B12. Untuk mengatasi hal tersebut, ibu perlu menyusui dengan super eksklusif, karena ASI (Air Susu Ibu) adalah sumber nutrisi terbaik untuk bayi.
Menurut pengalaman penulis yang mengenalkan pola makan vegan kepada sang buah hati sampai usia 2 tahun, memberikan ASI eksklusif selama 12 bulan sangat dianjurkan untuk bayi vegan.
Intensitas bayi yang menyusu pada ibunya memang sangat tinggi dikarenakan air susu ibu memang mudah dicerna oleh tubuh bayi, sehingga pada awal menyusui, hampir satu sampai dua jam bayi sudah butuh menyusu lagi. Dan siklus menyusui ini kemudian akan mengikuti pertumbuhan berat badan dan aktivitas bayi seiring dengan bertambahnya usia.
Setelah sang bayi berusia satu tahun, makanan pendamping ASI sebaiknya mulai diperkenalkan, seperti air buah dari jeruk baby atau semangka, dan juga buah yang dilumatkan seperti pisang.
Secara bertahap kemudian dapat dilanjutkan dengan makanan padat dari labu kuning, ubi atau kentang rebus yang dilumatkan seperti bubur dengan rasa orisinal, hingga pada akhirnya dapat diperkenalkan pula bubur nasi dengan sayuran seperti brokoli, bayam, wortel, kacang panjang dan sebagainya.
Protein nabati dari kedelai seperti tahu dan tempe pun bisa diolah sedemikian rupa. Namun demikian, garam dan gula juga perlu mendapat perhatian dalam memberikan makanan padat pertama pada bayi.
Ginjal muda pada bayi tentu tidak dapat mengatasi pengolahan terlalu banyak garam. Demikian pula dengan gula yang dapat menyebabkan kerusakan gigi.
Belajar dari pengalaman si sulung yang terlalu banyak mengonsumsi makanan manis hingga menyebabkan kerusakan pada giginya (gigis pada gigi di bagian depan), kepada anak berikutnya kebijakan membiasakan anak berkumur air putih setelah menyantap makanan manis akhirnya diterapkan, serta diikuti dengan menyikat gigi dengan bersih.
Karena hanya pendamping dan konsepnya adalah mengenalkan berbagai jenis makanan, tentu jumlah makanan yang diberikan sebaiknya tidak lebih banyak dari ASI, ini dimaksudkan agar ASI tetap mendominasi sebagai sumber nutrisi yang dibutuhkan bayi.
Memberikan makanan pendamping ini sebaiknya hanya satu kali kenyang dalam sehari, selebihnya hanya untuk mengeksplor rasa dan tekstur dari makanan sampai usia 2 tahun, dengan menciptakan aktivitas kuliner yang menyenangkan tanpa paksaan.
Namun apabila dalam kondisi tertentu sang ibu tidak dapat menyusui bayinya setelah usia 1 tahun, suplemen vitamin tentu saja perlu diberikan kepada bayi vegan.
Menyimak dari How to Raise a Vegan Baby di www.parent.com, ahli diet Kaleigh McMordi, MCN, RDN, LD pun juga merekomendasikan hal yang sama untuk menambahkan lebih banyak bulan ke dalam siklus menyusui, jika akan membesarkan bayi menjadi vegan.Â
"Bayi vegan mungkin perlu disusui lebih lama daripada non-vegan karena ASI merupakan sumber nutrisi yang sangat baik," katanya.
Membuka Cakrawala Baru bagi Generasi Berikutnya
Setelah sang buah hati yang pertama lahir, kebijakan mengenalkan pola makan vegan kepada anak sampai usia 2 tahun pun diputuskan oleh suami penulis.
Selain untuk menanamkan nilai-nilai hidup sejak dini, tujuan lainnya adalah untuk membuka cakrawala baru bagi generasi berikutnya, agar kelak dapat mengeksplor berbagai pola makan yang ditawarkan oleh zaman yang terus berkembang, dengan tetap mengasah dan memerhatikan kepekaan tubuh dalam menerimanya.
Pola makan vegan pun kemudian diterapkan kepada anak-anak kami hingga mereka berusia 2 tahun dimulai sejak tahun 2005. Diawali ketika penulis tidak dapat mengonsumsi daging selama kehamilan anak pertama pada pertengahan tahun 2004.
Pada awalnya penulis memang tidak begitu memerhatikan, namun setelah beberapa kali menyantap nasi padang dengan tambahan daging, beberapa saat kemudian selalu terjadi gejolak dalam lambung hingga harus mengeluarkannya sampai kosong. Dan ini tidak hanya terjadi pada nasi padang saja, tetapi hampir pada semua makanan yang mengandung unsur hewani.
Setelah beberapa kali mengalaminya, akhirnya penulis pun mencoba untuk lebih peka mendengar sinyal dari sistem pengendali tubuh (otak) melalui reaksi yang terjadi pada tubuh dan berusaha mematuhinya.
Sebagai orangtua, penulis dan suami pun kemudian mencoba menyadari bahwa setiap insan yang hadir ke semesta memang memiliki peran hidup yang berbeda. Oleh karenanya, setiap kehamilan memiliki keunikannya masing-masing.
Tinggal di negeri dengan ribuan budaya dengan berbagai mitos di dalamnya ternyata memberikan warna tersendiri bagi kehidupan penulis, termasuk mitos tentang kehamilan.Â
Tradisi dan budaya terkadang memang memiliki pesan misterius yang dibungkus dalam balutan serupa kabut dengan nama mitos. Mitos tentang kehamilan menurut orang Jawa seperti tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh berprasangka buruk, tidak boleh duduk di depan pintu, pada saat ngidam harus dikabulkan, tidak boleh duduk terlalu lama/bermalas-malasan dan masih banyak lagi, pada dasarnya adalah sesuatu yang sepatutnya dilakukan menurut perspektif subjektif penulis.
Dan seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, telah terjawab sudah mitos mengapa ngidam harus dituruti. Semua yang dimaksudkan dalam mitos sebenarnya adalah baik, karena dampak positifnya adalah dapat menjaga kesehatan psikologis dan kesehatan tubuh ibu hamil, seperti memenuhi kebutuhan nutrisi dari makanan tertentu, yakni makanan yang diidam-idamkan dan/atau dibutuhkan (ngidam).
Kepada si sulung yang telah lancar berkomunikasi di usia satu tahun, penulis menyampaikan bahwa hewan adalah teman, dan karena itulah pola makan vegan diterapkan kepadanya.
Di usia dini pada akhirnya empati itu muncul pada si sulung. Dan karena sudah lancar membaca, setiap ada makanan yang dibungkus dalam kemasan ia pun menjadi disiplin membaca komposisi kandungan yang ada di dalamnya, apakah ada unsur hewani seperti daging, ikan, produk susu, atau telur. Jika ada, ia tidak akan memakannya dan hal itu muncul dari kesadarannya sendiri.
Keistimewaan dan Keajaiban Air Susu IbuÂ
Proses menyusui sebenarnya tak hanya sekadar memberikan nutrisi yang terbaik kepada bayi. Lebih dari itu, kontak mata dan komunikasi pun juga akan terbentuk dengan baik pada saat proses menyusui.Â
Dukungan dari sang ayah dan lingkungan tentu sangat menentukan keberhasilan masa menyusui yang panjang bagi bayi vegan.
Tetapi, bukan berarti perjalanan menganut pola makan vegan pada waktu itu tidak mengalami hambatan karena minimnya pengetahuan tentang pola makan vegan dan hanya mengandalkan insting.
Pengetahuan yang cukup tentang pola makan vegan memang sebaiknya dimiliki orangtua yang akan membesarkan buah hatinya menjadi vegan, yang di masa kini sudah dapat dengan mudah diakses dari internet.
Demikian pula komunikasi orangtua terhadap anak, sebaiknya juga dibangun sejak dini untuk memudahkan dalam mencari solusi bersama apabila terjadi kendala yang harus dihadapi selama menjalankan pola makan tersebut.
Bagaimanapun juga keingintahuan alami anak dalam menjelajahi dunia kulinernya yang baru tentu memerlukan teman yang dapat mendampingi dan membantu memahami selera kulinernya, tatkala rasa dan tekstur yang berbeda dari makanan mulai diperkenalkan kepadanya.
Menyimak dari www.babycenter.com dalam When your baby's taste buds develop, ternyata pada saat usia kehamilan mencapai 9 minggu, mulut dan lidah bayi yang telah terbentuk bersama dengan pengecap pertamanya dapat turut merasakan apa yang dimakan sang ibu melalui cairan ketuban.
Secara alami bayi akan menghirup dan menelan cairan ketuban yang mengelilinginya ketika berada di dalam rahim, cairan yang juga membantu perkembangan paru-paru dan sistem pencernaan bayi. Ketika bayi merasakan cairan ketuban, pada saat itulah bayi mendapatkan pengalaman pertama dari berbagai rasa dan juga baunya.
Kemudian ketika bayi lahir dengan indera perasa yang berkembang pesat, tentu saja air susu ibu (ASI) dengan rasa manis dan gurihnya adalah preferensi pertama yang diterima bayi.
Dan penelitian pun menunjukkan bahwa rasa berbeda dalam ASI dapat memiliki efek positif pada selera makan bayi, yang membuatnya lebih terbuka dalam mengonsumsi makanan yang berbeda, seiring dengan bertambahnya usia.
Setelah si sulung berusia 2 tahun, berbagai jenis makanan pun diperkenalkan kepadanya. Sebagai orangtua, penulis pun kemudian memperbaharui kembali pernyataan sebelumnya dan mengatakan kepada si sulung bahwa menyantap makanan non-vegan bukan berarti tidak menyayangi teman.
Perlahan-lahan penulis bersama suami mencoba membuka cakrawala baru dalam ruang berpikir si sulung bahwa menyayangi binatang bisa dengan berbagai cara, seperti banyaknya warna kehidupan yang terhampar.
Karena orangtua adalah teladan pertama yang tampak bagi anak, maka ketika menerapkan pola makan vegan pada bayi sebaiknya sang ibu juga turut mengikuti pola makan anak tersebut.
Menurut pengalaman penulis ketika mengikuti pola makan vegan pada saat hamil dan menyusui, ternyata tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan mengenai kekurangan nutrisi, dengan catatan tetap memerhatikan kepekaan tubuh dan mematuhi sinyal yang diberikan otak ketika tubuh membutuhkan asupan gizi dari makanan sehat, serta istirahat yang cukup. Bila dipandang perlu, suplemen vitamin juga bisa diminum untuk melengkapi kebutuhan nutrisi ibu hamil dan menyusui yang menganut veganisme.
Kini telah terbuka tirai kabut yang turun dari lereng gunung Sakya, seiring dengan terbitnya sang fajar yang meneteskan embun di ujung rumput.
Semua makanan yang disediakan oleh alam sejatinya adalah berkah yang sepatutnya diterima dengan suka cita dan dinikmati sebagai bagian dari aktivitas spiritual.
Seperti pesan nenek moyang untuk senantiasa bersyukur masih diberi kesempatan hidup dan masih bisa makan, serta ada yang dimakan, apa pun itu makanannya, dengan membuka cakrawala baru dalam memandang beragam warna yang terhampar tentang bagaimana cara untuk menikmati hidup.
Bandungan, 20 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H