Waktu itu tahun 80-an di mana listrik belum masuk desa saya, sehingga ketika daya/energi (baterai) habis dan belum sempat membelinya, mereka harus menjemurnya di bawah matahari. Saya tidak tahu persis apakah itu efektif dilakukan, tetapi hal itu telah menjadi irama hidup mereka yang menyenangkan untuk saya lihat dengan bermalas-malasan.
Tak hanya sandiwara radio, ludruk dan kidungan juga menjadi acara yang cukup memikat selain mendengarkan lagu-lagu yang sedang hits pada waktu itu untuk menemani berbagai aktivitas.
Anak-anak kecil seperti saya tentu memiliki imajinasi tersendiri ketika turut serta mendengarkan kesenangan orang dewasa. Membayangkan rekaman di radio dengan rekaman sendiri di tape recorder menjadi hobi menyenangkan yang saya lakukan dengan salah seorang kakak laki-laki saya. Saya berpura-pura menjadi Simboknya Sarip dan kakak saya menjadi Saripnya.
Dan pada saat duduk di bangku TK, saya pun sangat bahagia ketika diajak rekaman menyanyi di sebuah radio oleh guru TK saya tercinta, Bu Sri Muah. Akhirnya saya tahu bagaimana suasana rekaman di radio dan itu telah cukup menjawab rasa penasaran saya di masa kanak-kanak.
Namun siapa sangka akhirnya saya yang malas belajar di masa kecil itu akhirnya benar-benar bermain ludruk, pernah rekaman kentrung maupun ludruk, dan pernah menjadi pemain tetap ludruk RRI Surabaya. Dan cita-cita masa kecil saya untuk bisa rekaman di radio pun tercapai ketika telah saya lupakan.
Demikian pula keterampilan mengenakan jarit dan menggulung kendit yang saya dapatkan tatkala bermain ludruk pun ternyata juga dapat saya bagikan ke anak didik sanggar setelah sepuluh tahun kemudian, ketika saya menjadi seorang pamong sanggar tari di Jawa Tengah, tempat di mana saya tinggal sekarang.
Waktu memang berbaris di depan dan hanya satu jalan yang akan saya lewati, yang pada suatu hari nanti saya akan melihatnya dengan tanpa penyesalan jika saya menapakkan kaki dengan penuh kesadaran. Setelah berjalan menyusuri kenangan demi kenangan, akhirnya saya pun sampai kepada diri saya pada momen hari ini.
Saya telah membuka pintu kenangan ketika hujan mengajak bersenda gurau dengan keindahan rintikannya. Hari ini saya benar-benar tersenyum tanpa penyesalan ketika melihat kembali ke masa lalu. Dan yang ada hanya titik air mata keharuan yang menghadirkan rasa syukur setelah menyadari bahwa saya telah jauh melangkah.
Bagaimanakah nasib Ludruk RRI Surabaya bila radio tak lagi mengudara?
Tak hanya sumber daya manusia termasuk pelaku seni di ludruk RRI Surabaya yang perlu berbenah diri untuk dapat mengikuti perkembangan zaman dengan teknologi yang semakin maju, Gedung Cak Durasim di bawah pimpinan Bapak Pribadi Agus Santoso kala itu pun juga bersiap-siap berbenah agar ke depan dapat tampil dengan wajah baru baik interior maupun eksterior yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan pementasan sebuah karya seni.
Zaman memang semakin maju dan untuk menikmati ludruk RRI Surabaya, kini saya pun dapat dengan mudah bisa menyaksikannya di kanal YouTube, meskipun tetap saja sensasi menonton ludruk secara langsung tidak dapat tergantikan.