Beberapa kenangan yang hampir hilang dari ingatan tiba-tiba saja datang kembali ketika hujan mengajak bersenda gurau tentang apa yang telah disaksikannya 22 tahun silam. Ya, kenangan 22 tahun silam tatkala saya pernah menjadi bagian dari perjalanan salah satu kelompok ludruk tertua dan masih eksis pada waktu itu, yakni ludruk RRI Surabaya.
Dari sudut desa Ngadirejo yang berada di kaki gunung Kawi, langkah-langkah kaki telah menuntun saya menuju kota Surabaya dan di sanalah semuanya bermula.
Setelah hampir satu tahun menjadi kepompong yang bahagia, tidur nyenyak dengan mendengarkan lagu kenangan dari salah satu stasiun radio yang selalu diputar oleh Bapak saya tercinta, cakrawala baru pun akhirnya bersinar. Dan di bawah benderang sang Surya, sayap kupu-kupu pun akhirnya terbuka dan mulailah saya belajar terbang mengepakkan sayap.
Rekaman Kentrung di RRI Surabaya
Saya sempat belajar berjalan dengan anggun di catwalk dalam sebuah komunitas di Surabaya. Meskipun hanya sebentar, saya menganggap itu hal aneh yang pernah saya lakukan.
Namun demikian, dari sanalah hobi menyanyi dan bermain gitar sejak duduk di bangku SMP kembali menggeliat dan membuka akses menuju Departemen Penerangan kota Surabaya.
Pada waktu itu, Departemen Penerangan masih berjaya walaupun reformasi 1998 sudah mulai melakukan perombakan.
Ya, di Departemen Penerangan kota Surabaya yang memiliki komunitas seni itu saya seringkali menyanyikan lagu kenangan dan bermain musik. Hingga pada suatu hari, saya diminta mencoba bermain kentrung dan pada akhirnya saya menjadi bagian dari kelompok kentrung yang berada dalam naungan Departemen Penerangan itu.
Dua minggu sekali setiap hari Selasa saya pun akhirnya rekaman kentrung di RRI Surabaya. Bahkan ketika tahun 1999 tatkala saya diminta Bang Adi Widayat, seorang sutradara sebuah kelompok teater untuk bergabung dengan kelompok teaternya di Malang dan tinggal di kota indah itu untuk sementara waktu, saya pun masih menyempatkan diri untuk tetap mengikuti rekaman kentrung di Surabaya.
Setelah latihan teater dari pukul 21.00 hingga 03.00 dini hari, saya selalu meluangkan waktu untuk istirahat sejenak sebelum menembus dinginnya kabut menuju terminal Arjosari Malang, naik bis Pertiwi yang terkenal "super ngebut" menuju kota Surabaya yang panas.
Saya memang harus datang tepat waktu untuk rekaman kentrung di RRI Surabaya dan menikmati segarnya es teh dari kantin di belakang RRI yang makanannya juga terkenal nikmat luar biasa dengan harga terjangkau.
Menjadi Pemain Tetap Ludruk RRI Surabaya
Darah seni kakek saya sebagai seorang pemain ludruk yang memerankan tokoh wanita dalam sebuah kelompok ludruk pada masa penjajahan akhirnya mengalir pada saya, dan baru saya sadari tatkala saya diminta bergabung dengan ludruk RRI Surabaya pada tahun 2000. Meskipun saya pernah belajar teater, untuk bermain ludruk ternyata bukan suatu hal yang mudah dilakukan, apalagi dengan pengetahuan saya yang sangat minim tentang ludruk.
Setelah pimpinan ludruk RRI Surabaya yang pada waktu itu dipegang oleh Bapak Agus Kuprit memintakan izin kepada Bapak saya, babak baru dalam kehidupan saya sebagai seorang gadis tomboi yang gemar naik pohon pun menjadi berbalik 180 derajat. Saya harus belajar banyak hal yang belum pernah ada di dalam kamus kehidupan saya sebelumnya dan ini juga merupakan suatu hal aneh yang pernah saya jalani lagi.
Tetapi begitulah kehidupan orang Jawa, tidak semua yang dijalani harus masuk akal, terkadang keyakinan dalam menjalani suatu peran di dalam kehidupan dengan mendengarkan suara hati nurani malah membuka jalan cahaya kepada takdir dengan lebih mudah.
Berhias, menata rambut, mengenakan jarit dan kebaya, menari bahkan sampai menembangkan lagu Jawa saya lakoni dengan penuh perjuangan. Beruntung banyak tangan-tangan malaikat di ludruk RRI Surabaya yang membantu saya belajar dengan sabar dan telaten.
Bermain drama tanpa script juga mulai harus saya pelajari dan saya biasakan seperti di kentrung. Sang sutradara ludruk RRI Surabaya Bapak Heriyanto tentu sangat berperan besar dalam hal ini. Melatih saya dengan telaten agar saya dapat berpikir cepat untuk berimprovisasi dengan pemain lainnya saat berada di atas panggung.
Kecepatan dan ketepatan, nada suara, bahasa tubuh termasuk ekspresi wajah dan juga emosi akhirnya benar-benar menjadi perhatian saya pada waktu itu.
Setelah turun dari panggung, hal penting yang harus saya lakukan adalah membangun komunikasi yang baik agar dapat diterima di komunitas ludruk RRI Surabaya. Karena di sana bukan saja pegawai RRI Surabaya yang sudah saya kenal, namun ada banyak pemain ludruk tidak tetap yang mewarnai panggung pertunjukan RRI Surabaya tiap kali ada pementasan di daerah-daerah.
Kehadiran saya yang tiba-tiba dan langsung menjadi pemain tetap ludruk RRI Surabaya tentu bukan hal yang mudah untuk diterima oleh sebuah komunitas seni tradisional. Persaingan bukan hal yang asing di sana dan saya pun perlahan-lahan mencoba meyakinkan bahwa saya bukanlah pesaing bagi mereka. Saya datang untuk belajar dan menjadi bagian dari keluarga besar ludruk RRI Surabaya yang pada waktu itu membutuhkan pemain berusia muda untuk kaderisasi.
Meskipun ada yang berdecak kagum, tentu tetap ada yang mencibir dan menertawakan. Keduanya seperti sisi mata uang. Maka, berpegang teguh dengan nasihat nenek moyang untuk senantiasa bersyukur menjalani peran yang sudah ada di depan mata, semakin meneguhkan hati untuk melakukan tindakan yang benar, menjejakkan kaki dengan mantap dan penuh kesadaran untuk tetap bermain peran dengan total baik di panggung sandiwara maupun di panggung kehidupan nyata.
Waktu memang berbaris di depan dan hanya satu jalan yang akan saya lewati, yang pada suatu hari nanti saya akan melihatnya dengan tanpa penyesalan jika saya menapakkan kaki dengan penuh kesadaran.
Perkembangan Kelompok Ludruk di Surabaya pada tahun 2001
"Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah sengsoro", kidungan Cak Durasim yang fenomenal di masa perjuangan tersebut pun akhirnya mengiringi semangat saya ketika saya mendapatkan kesempatan terlibat dalam manajemen di beberapa festival seni budaya di Taman Budaya Jawa Timur yang berada di Jalan Genteng Kali Surabaya.
Ludruk tentu menjadi perhatian saya. Festival ludruk dan lomba kidungan pun digelar dalam Festival Cak Durasim II pada tahun 2001 dengan melibatkan Cak Kartolo, Cak Agus Kuprit dan para tokoh ludruk lainnya. Bersama RRI dan persatuan radio swasta di Surabaya, kerja sama untuk menggaungkan Festival Seni dan Budaya pun terjalin baik dan sukses dengan sempurna.
Pada malam-malam tertentu sebelum festival digelar, saya pun berkunjung ke komunitas-komunitas ludruk untuk mengetahui sejauh mana perkembangan kelompok ludruk di kota Surabaya selain sebagai bahan pertimbangan untuk memilih kelompok ludruk mana yang akan ditampilkan dalam festival di gedung Cak Durasim.
Tak bisa dipungkiri, kekuatan siaran di radio memang menjadi ujung tombak yang membuat ludruk RRI masih eksis dibandingkan komunitas ludruk lainnya pada waktu itu. Banyak kelompok ludruk di Surabaya yang telah tergilas roda zaman yang terus berputar.
Pada waktu itu, beberapa kelompok ludruk memang bersikukuh untuk tetap mengadakan pertunjukan dengan jumlah penonton yang minim dan pemasukan keuangan yang tidak seimbang. Maka saya pun sangat mengapresiasi jerih payah mereka dengan sebuah kesadaran bahwa mereka pun juga sedang menjalankan perannya di dalam kehidupan berbekal keteguhan mengikuti nuraninya dengan tanpa pamrih.
Akhirnya saya pun turut berziarah ke makam Cak Durasim bersama salah satu kelompok ludruk tersebut sebelum festival digelar selama satu bulan penuh.
Kekuatan Siaran "On Air" Ludruk RRI Surabaya
Pementasan ludruk RRI Surabaya tatkala siaran on air di studio RRI Surabaya memang selalu dinanti pendengar setianya. Ini dapat dilihat dengan banyaknya permintaan pementasan di daerah-daerah di Jawa Timur dengan penonton yang selalu membeludak.
Rekaman ludruk pada waktu itu dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis oleh pegawai negeri sipil RRI Surabaya tanpa adegan, yang kemudian akan dinantikan oleh penggemarnya saat off air atau ketika pementasan.
Jadwal pementasan yang juga disiarkan saat on air pun sangat memungkinkan membuat para penggemar ludruk RRI Surabaya dapat menjadwalkan kedatangan mereka ke daerah tempat pertunjukan akan dilangsungkan untuk bertemu dengan sang idola.
Pernah dalam satu bulan penuh jadwal pementasan ludruk untuk acara pernikahan, khitanan dan juga perayaan hari kemerdekaan hanya beberapa hari saja yang kosong. Irama hidup saya pun langsung terbalik ketika itu, tidur di pagi hari hingga siang, dan sore hari sudah bersiap untuk berangkat ke lokasi pertunjukan.
Kekuatan siaran on air ludruk RRI Surabaya memang saya akui sangat berperan penting untuk menjadikan ludruk RRI Surabaya sebagai salah satu kelompok ludruk yang memiliki nama besar di Jawa Timur dan masih eksis pada waktu itu.
Gending Jula-juli pun mengiringi kidungan dari penari Remo dalam pembukaan pagelaran ludruk. Setelah Tari Remo kemudian dilanjutkan dengan lawakan dan kidungan oleh pelawak-pelawak terkenal di Jawa Timur yang lahir dari RRI Surabaya seperti Cak Kartolo, Cak Kancil, Cak Sidik, Cak Agus Kuprit, Cak Muali, Ning Kastini dan lainnya.
Bagi pelawak-pelawak yang telah pensiun atau yang sudah tidak lagi tergabung dalam ludruk RRI Surabaya, yang rata-rata sudah memiliki kelompok ludruk sendiri, mereka pun tetap bisa datang sebagai bintang tamu sesuai dengan permintaan penanggapnya. Tentu saja, nama besar mereka pun juga tak lepas dari peran besar RRI Surabaya.
Dan bedayan dalam pementasan ludruk RRI Surabaya yang menampilkan pemain ludruk wanita untuk menari dan menyanyi di atas panggung membuktikan bahwa kekuatan siaran on air ludruk RRI Surabaya ternyata juga membawa pengaruh besar terhadap eksistensi ludruk RRI Surabaya pada masa reformasi kala itu.
Suara riuh penonton tak lagi dapat dibendung ketika para pemain ludruk wanita yang disebutkan namanya satu per satu tak asing di telinga mereka.
Atmosfer kebahagiaan pun sangat terasa pada setiap tahapan pementasan ludruk. Dimulai dari Tari Remo, Lawakan dan Kidungan, Bedayan hingga puncaknya yakni seni drama tentang kehidupan rakyat sehari-hari, kisah perjuangan dan lain sebagainya yang senantiasa diselingi lawakan dengan iringan musik dari gamelan.
Dan saya masih tetap saja rekaman kentrung serta bermain ludruk di sela-sela kesibukan saya dalam manajemen di beberapa festival seni dan budaya sepanjang tahun 2001, sebelum akhirnya saya berpamitan kepada Bapak Agus Kuprit (Ludruk RRI Surabaya) untuk melanjutkan peran hidup saya berikutnya, yang lagi-lagi tidak masuk akal dengan meninggalkan peran saya sebagai pelaku seni di kota Surabaya.
Cita-cita Masa Kecil
Betapa menyenangkan menyaksikan hiruk-pikuk orang-orang dewasa ketika jadwal mendengarkan sandiwara radio memanggil mereka.
Waktu itu tahun 80-an di mana listrik belum masuk desa saya, sehingga ketika daya/energi (baterai) habis dan belum sempat membelinya, mereka harus menjemurnya di bawah matahari. Saya tidak tahu persis apakah itu efektif dilakukan, tetapi hal itu telah menjadi irama hidup mereka yang menyenangkan untuk saya lihat dengan bermalas-malasan.
Tak hanya sandiwara radio, ludruk dan kidungan juga menjadi acara yang cukup memikat selain mendengarkan lagu-lagu yang sedang hits pada waktu itu untuk menemani berbagai aktivitas.
Anak-anak kecil seperti saya tentu memiliki imajinasi tersendiri ketika turut serta mendengarkan kesenangan orang dewasa. Membayangkan rekaman di radio dengan rekaman sendiri di tape recorder menjadi hobi menyenangkan yang saya lakukan dengan salah seorang kakak laki-laki saya. Saya berpura-pura menjadi Simboknya Sarip dan kakak saya menjadi Saripnya.
Dan pada saat duduk di bangku TK, saya pun sangat bahagia ketika diajak rekaman menyanyi di sebuah radio oleh guru TK saya tercinta, Bu Sri Muah. Akhirnya saya tahu bagaimana suasana rekaman di radio dan itu telah cukup menjawab rasa penasaran saya di masa kanak-kanak.
Namun siapa sangka akhirnya saya yang malas belajar di masa kecil itu akhirnya benar-benar bermain ludruk, pernah rekaman kentrung maupun ludruk, dan pernah menjadi pemain tetap ludruk RRI Surabaya. Dan cita-cita masa kecil saya untuk bisa rekaman di radio pun tercapai ketika telah saya lupakan.
Demikian pula keterampilan mengenakan jarit dan menggulung kendit yang saya dapatkan tatkala bermain ludruk pun ternyata juga dapat saya bagikan ke anak didik sanggar setelah sepuluh tahun kemudian, ketika saya menjadi seorang pamong sanggar tari di Jawa Tengah, tempat di mana saya tinggal sekarang.
Waktu memang berbaris di depan dan hanya satu jalan yang akan saya lewati, yang pada suatu hari nanti saya akan melihatnya dengan tanpa penyesalan jika saya menapakkan kaki dengan penuh kesadaran. Setelah berjalan menyusuri kenangan demi kenangan, akhirnya saya pun sampai kepada diri saya pada momen hari ini.
Saya telah membuka pintu kenangan ketika hujan mengajak bersenda gurau dengan keindahan rintikannya. Hari ini saya benar-benar tersenyum tanpa penyesalan ketika melihat kembali ke masa lalu. Dan yang ada hanya titik air mata keharuan yang menghadirkan rasa syukur setelah menyadari bahwa saya telah jauh melangkah.
Bagaimanakah nasib Ludruk RRI Surabaya bila radio tak lagi mengudara?
Tak hanya sumber daya manusia termasuk pelaku seni di ludruk RRI Surabaya yang perlu berbenah diri untuk dapat mengikuti perkembangan zaman dengan teknologi yang semakin maju, Gedung Cak Durasim di bawah pimpinan Bapak Pribadi Agus Santoso kala itu pun juga bersiap-siap berbenah agar ke depan dapat tampil dengan wajah baru baik interior maupun eksterior yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan pementasan sebuah karya seni.
Zaman memang semakin maju dan untuk menikmati ludruk RRI Surabaya, kini saya pun dapat dengan mudah bisa menyaksikannya di kanal YouTube, meskipun tetap saja sensasi menonton ludruk secara langsung tidak dapat tergantikan.
Tentu saja saya merasa sedih ketika hujan dan angin mengabarkan bahwa Radio Berhenti Mengudara. Saya memang hampir tak percaya radioku tersayang berhenti mengudara, namun saya mencoba untuk segera mengerti bahwa semua memiliki masanya sendiri.
Perasaan senang memang tak berhenti membuncah selama saya bermain ludruk, terutama setelah saya mengenal lebih dalam tentang ludruk.
Ya, sesuai dengan arti kata ludruk yakni leuk en druk (bahasa Belanda) yang memiliki arti menyenangkan. Menyenangkan karena telah menyaksikan suatu adegan yang lucu dan menghibur namun tetap memiliki makna yang mendalam tentang kehidupan.
Hujan telah reda, lampu saya matikan dan saya membiarkan cahaya rembulan memasuki ruangan di mana saya sedang menikmati dinginnya udara pegunungan, kemudian saya pun menghirup napas dalam-dalam dan rasanya, "Oh... betapa indahnya dunia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H