Saya memang harus datang tepat waktu untuk rekaman kentrung di RRI Surabaya dan menikmati segarnya es teh dari kantin di belakang RRI yang makanannya juga terkenal nikmat luar biasa dengan harga terjangkau.
Menjadi Pemain Tetap Ludruk RRI Surabaya
Darah seni kakek saya sebagai seorang pemain ludruk yang memerankan tokoh wanita dalam sebuah kelompok ludruk pada masa penjajahan akhirnya mengalir pada saya, dan baru saya sadari tatkala saya diminta bergabung dengan ludruk RRI Surabaya pada tahun 2000. Meskipun saya pernah belajar teater, untuk bermain ludruk ternyata bukan suatu hal yang mudah dilakukan, apalagi dengan pengetahuan saya yang sangat minim tentang ludruk.
Setelah pimpinan ludruk RRI Surabaya yang pada waktu itu dipegang oleh Bapak Agus Kuprit memintakan izin kepada Bapak saya, babak baru dalam kehidupan saya sebagai seorang gadis tomboi yang gemar naik pohon pun menjadi berbalik 180 derajat. Saya harus belajar banyak hal yang belum pernah ada di dalam kamus kehidupan saya sebelumnya dan ini juga merupakan suatu hal aneh yang pernah saya jalani lagi.
Tetapi begitulah kehidupan orang Jawa, tidak semua yang dijalani harus masuk akal, terkadang keyakinan dalam menjalani suatu peran di dalam kehidupan dengan mendengarkan suara hati nurani malah membuka jalan cahaya kepada takdir dengan lebih mudah.
Berhias, menata rambut, mengenakan jarit dan kebaya, menari bahkan sampai menembangkan lagu Jawa saya lakoni dengan penuh perjuangan. Beruntung banyak tangan-tangan malaikat di ludruk RRI Surabaya yang membantu saya belajar dengan sabar dan telaten.
Bermain drama tanpa script juga mulai harus saya pelajari dan saya biasakan seperti di kentrung. Sang sutradara ludruk RRI Surabaya Bapak Heriyanto tentu sangat berperan besar dalam hal ini. Melatih saya dengan telaten agar saya dapat berpikir cepat untuk berimprovisasi dengan pemain lainnya saat berada di atas panggung.
Kecepatan dan ketepatan, nada suara, bahasa tubuh termasuk ekspresi wajah dan juga emosi akhirnya benar-benar menjadi perhatian saya pada waktu itu.
Setelah turun dari panggung, hal penting yang harus saya lakukan adalah membangun komunikasi yang baik agar dapat diterima di komunitas ludruk RRI Surabaya. Karena di sana bukan saja pegawai RRI Surabaya yang sudah saya kenal, namun ada banyak pemain ludruk tidak tetap yang mewarnai panggung pertunjukan RRI Surabaya tiap kali ada pementasan di daerah-daerah.
Kehadiran saya yang tiba-tiba dan langsung menjadi pemain tetap ludruk RRI Surabaya tentu bukan hal yang mudah untuk diterima oleh sebuah komunitas seni tradisional. Persaingan bukan hal yang asing di sana dan saya pun perlahan-lahan mencoba meyakinkan bahwa saya bukanlah pesaing bagi mereka. Saya datang untuk belajar dan menjadi bagian dari keluarga besar ludruk RRI Surabaya yang pada waktu itu membutuhkan pemain berusia muda untuk kaderisasi.
Meskipun ada yang berdecak kagum, tentu tetap ada yang mencibir dan menertawakan. Keduanya seperti sisi mata uang. Maka, berpegang teguh dengan nasihat nenek moyang untuk senantiasa bersyukur menjalani peran yang sudah ada di depan mata, semakin meneguhkan hati untuk melakukan tindakan yang benar, menjejakkan kaki dengan mantap dan penuh kesadaran untuk tetap bermain peran dengan total baik di panggung sandiwara maupun di panggung kehidupan nyata.