Ia seolah lupa sedang berada di atas kendi, karena ia menari dengan  segenap rasa di hatinya, membuat yang menyaksikan tarian ini harus pasrah dan percaya dengan kemampuannya menjaga keseimbangan tubuhnya, tatkala menari dengan gemulai di atas kendi.
Dengan telapak kaki masih di atas kendi, remaja putri (sang penari) itu pun kemudian memutar kendi yang dinaiki searah dengan jarum jam ke delapan arah mata angin seraya memutar payung yang dibawanya. Ia berputar seperti bumi mengitari matahari dan sekaligus seperti  bumi yang berotasi pada porosnya. Begitu indah dan menakjubkan.
Dari tatapan matanya yang misterius namun menenangkan, dari gerakannya yang anggun dan terkendali dengan sempurna, serta paras ayu pancaran dari keindahan hati dan jiwanya, semua itu menunjukkan potret indah representasi dari perempuan Jawa, yang tersirat di dalam tarian yang dibawakannya malam itu.
Seni dan budaya memang tidak serta-merta hadir sebagai tontonan atau hiburan semata. Seni dan budaya itu lahir dari nilai-nilai filosofis yang tinggi dan latar belakang falsafah yang mendalam warisan leluhur, potret dari tuntunan hidup pada masanya, yang di masa kini tentu dapat pula kita jadikan sebagai fondasi untuk berpijak agar kita tidak kehilangan arah di dalam menjalankan kehidupan ini.
Dan bila kita mampu menyibak makna di balik tirai yang menyelimutinya, tentu kita akan dapat melihat dengan jelas profesi seperti apa yang tepat bagi kaum perempuan di masa kini.
Di ujung malam yang dingin, April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H