Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Potret Profesi Perempuan Jawa Itu Tersirat dalam Tari Bondan

13 April 2021   20:16 Diperbarui: 17 April 2021   00:34 1723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fotografer: Evilia Ichsanti

Tak hanya berparas ayu pancaran dari hati dan jiwanya yang indah, perempuan Jawa itu sepatutnya juga memiliki jiwa keibuan. Lemah lembut dalam tutur kata dan perilakunya, namun kuat secara mental dan gemulai saat menari di dalam kehidupan. Potret itu jelas tersirat di dalam Tari Bondan.

Tak perlu diragukan lagi, Tari Bondan memang masih tetap menjadi salah satu tarian Jawa klasik yang sangat memikat, karena keunikan dan nilai artistiknya yang tinggi, hingga tak lekang oleh waktu, meski zaman telah melaju dengan cepat, meninggalkan kejayaannya di Surakarta pada tahun 1960-an.

Tarian yang lahir dari kebudayaan masyarakat Jawa di masa lalu ini menunjukkan kepada dunia dan kepada generasi penerus bangsa, bahwa tugas utama perempuan Jawa itu adalah mendidik dan merawat anaknya, dengan penuh kasih sayang dan tanpa pamrih.

Seni dan budaya memang tidak serta-merta hadir sebagai tontonan atau hiburan semata. Seni dan budaya itu lahir dari nilai-nilai filosofis yang tinggi dan latar belakang falsafah yang mendalam warisan leluhur, potret dari tuntunan hidup pada masanya, yang di masa kini tentu dapat pula kita jadikan sebagai fondasi untuk berpijak, agar kita tidak kehilangan arah di dalam menjalankan kehidupan ini.

Dan bila kita mampu menyibak makna di balik tirai yang menyelimutinya, tentu kita akan dapat melihat dengan jelas, profesi seperti apa yang tepat bagi kaum perempuan di masa kini.

Pesan yang Terkandung di dalam Tari Bondan

Tari Bondan adalah salah satu tari Jawa klasik yang mengisahkan tentang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dan sekaligus merepresentasikan sosok perempuan Jawa yang lemah lembut namun kuat, tak sekedar berparas ayu namun juga memiliki jiwa keibuan, simbol dari Ibu Pertiwi yang senantiasa ikhlas tanpa pamrih dalam memelihara dan menyediakan keperluan hidup bagi seluruh makhluk tanpa terkecuali.

Ada beberapa properti yang dibawa saat menarikan Tari Bondan yang masing-masing memiliki makna yang dalam, yakni boneka anak, payung kertas dan kendi.

Payung terbuka yang dibawa saat menarikan tarian ini adalah simbol perlindungan dari seorang ibu terhadap anak dan keluarganya.

Sedangkan menggendong boneka anak merupakan lambang bahwa tugas utama dari perempuan Jawa itu adalah merawat dan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang untuk mengarahkannya menjadi manusia Jawa yang dapat memayu hayuning bawana (menjadikan alam semakin indah).

Yang ketiga adalah kendi, tempat air minum dari tanah liat ini merupakan simbol dari urusan dapur atau rumah tangga yang juga diemban oleh sosok perempuan Jawa. Menurut asal usul katanya, kendhi berasal dari istilah kendhalining budhi yang berarti kendali atas hati dan pikiran.

Sesuai dengan pesan luhur tersebut, perempuan Jawa juga diharapkan dapat mengendalikan hati dan pikirannya di dalam mengurus rumah tangganya, dengan senantiasa melibatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa di dalam setiap aktivitasnya.

Selain mengemban tugas di atas, perempuan Jawa pun masih harus memutar kendi ke delapan arah mata angin yang dapat diartikan bahwa perempuan Jawa itu juga memiliki tugas mendukung dan mendampingi suaminya di dalam suka dan duka, agar roda kehidupan keluarganya dapat terus berjalan.

Maka, perempuan Jawa sepatutnya memang memperoleh pendidikan yang tepat untuk mendapatkan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual agar dapat menunaikan tugas utamanya yang mulia tersebut, bahkan dapat menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga dengan penuh kebahagiaan.

Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan manusia dalam berpikir di mana ia memiliki kemampuan menganalisa, perencanaan, memecahkan masalah dan kemudahan dalam menangkap pelajaran yang diterima.

Sedangkan kecerdasan emosional adalah kecerdasan bagaimana manusia dapat menerima, menilai, mengontrol dan mengelola emosi dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya.

Dan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang erat kaitannya dengan spiritual yakni bersifat kejiwaan (rohani atau batin) di mana kecerdasan ini merupakan landasan bagi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional agar hidup menjadi lebih bermakna.

Menurut laman Wikipedia Indonesia, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan, untuk menerapkan nilai-nilai positif.

Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil pelajaran berharga dari suatu kegagalan, mampu mewujudkan hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara berbagai hal, mandiri serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya.

Untuk mendapatkan ketiga kecerdasan di atas dengan takaran yang kurang lebih sama, maka dibutuhkan pendidikan yang tepat secara alamiah dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Alam ke mana akan membawanya, apakah ke pendidikan formal, informal, ataupun non formal, karena masing-masing individu, sejatinya memiliki karakter dan potensi yang berbeda.

Belajar Itu Tidak Harus di Sekolah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan formal adalah segenap bentuk pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik bersifat umum maupun bersifat khusus. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan atau pelatihan yang terdapat di keluarga atau masyarakat dalam bentuk yang tidak terorganisasi.

Tidak bisa dipungkiri, peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memang sangatlah penting karena kaum perempuanlah yang melahirkan, merawat dan mendidik putra-putri pertiwi sebagai generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan memimpin, membangun dan mewakili bangsanya di masa depan.

Oleh karena itu, pendidikan bagi kaum perempuan patut memperoleh perhatian yang serius, dan selayaknya mereka pun mendapatkan kemerdekaannya dalam belajar, serta tidak dipandang sebelah mata bila pilihan metode pendidikan yang tepat untuknya ternyata bukan di jalur formal.

Pada dasarnya setiap orang memiliki karakter dan potensi yang berbeda, maka bentuk pendidikannya pun memang tidak seharusnya di sama ratakan. Setiap orang berhak mendapatkan metode pendidikan sesuai dengan potensinya masing-masing agar mereka lebih dapat memaksimalkan kemampuannya.

Belajar memang tidak harus di sekolah. Bahkan ketiga kecerdasan di atas tidak serta-merta bisa didapatkan dari sekolah (pendidikan formal). Pepatah mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik. Maka tidak ada salahnya bila kita kembali menengok potret pengalaman nenek moyang (tradisi leluhur) bagaimana pendidikan dan profesi bagi kaum perempuan di zaman dahulu, melalui seni dan budayanya.

Pada zaman sekarang, beragam informasi sangatlah mudah diakses. Peran keluarga terutama ibu kini benar-benar dibutuhkan untuk menyaring informasi yang diterima anak-anak berkaitan dengan keingintahuan mereka terhadap perubahan yang ada pada diri mereka baik secara fisik maupun kejiwaan, juga pengetahuan lainnya.

Sejatinya, ibu rumah tangga adalah salah satu profesi di mana pendidikan yang ditempuh lebih fleksibel, dikarenakan tugas mulia ini sebenarnya sederhana namun kompleks dan bisa juga sebaliknya, sangat kompleks namun bisa menjadi sederhana, tergantung kemampuan (kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual) yang diperoleh dari pendidikan yang ditempuh, apakah itu dari pendidikan formal, informal maupun non formal, atau bisa juga diperoleh secara otodidak, yang digunakan di dalam menjalankan profesi ini.

Maka, pendidikan formal sebenarnya tidaklah mutlak menjadi tolak ukur keberhasilan menjalankan profesi sebagai ibu rumah tangga, tapi lebih kepada kemampuan secara keseluruhan dan seberapa besar naluri keibuan yang dimiliki seorang perempuan secara alamiah.

Pada masa sekarang ini banyak profesi yang dimiliki kaum perempuan. Zaman memang telah berubah, namun di mana pun mereka berada, naluri keibuan tentunya tetap melekat padanya. Mereka pun bisa menjadi ibu (pendidik) bagi orang-orang di sekitarnya, baik di lembaga pemerintahan maupun swasta.

Potensi yang dimiliki kaum perempuan tentu dapat berperan besar dalam pembangunan di berbagai bidang. Namun semua itu kembali berpulang kepada masing-masing individu di dalam memilih profesinya.

Semua profesi pada dasarnya adalah salah satu bagian dari peran hidup manusia di alam semesta, dan juga salah satu cara bagaimana manusia dapat menikmati hidup dengan bahagia dan merdeka, dengan tetap mengingat asal usulnya dan tahu ke mana pada akhirnya ia kembali, yang terkadang tanpa harus melewati rimba di sisi gunung yang terjal, menembus pekatnya kabut malam.

Peran Tari Jawa Klasik dalam Pendidikan Perempuan Jawa

Dan malam pun kemudian memang beranjak meninggalkan masa silam, meski kerlap-kerlip bintang masih saja berlomba-lomba memancarkan cahayanya menembus pekatnya kabut malam. 

Gendhing Ayak-ayak Ladrang Ginonjing turut mengalun lembut membangkitkan hasrat kasih tak berkesudahan, dan menciptakan karsa sarat makna di setiap alunannya.

Suasana malam yang syahdu itu pun akhirnya mengembalikan ingatan penulis ke masa dua tahun silam sebelum pandemi menyapa, membangkitkan kenangan indah saat menyaksikan pementasan Tari Bondan oleh seorang remaja putri yang telah mendalami Tari Jawa Klasik dan filosofinya selama lebih dari enam tahun.  

Falsafah Joged Mataram yang lahir dari latar belakang falsafah hidup orang Jawa yakni sawiji, greged, sengguh dan ora mingkuh memang sepatutnya didalami oleh perempuan Jawa yang belajar menarikan Tari Jawa Klasik, agar dapat membantu membangun karakternya menjadi perempuan Jawa.

Dalam bahasa Sanskerta sawiji berarti satu atau bersatu yakni bentuk fokus dan konsentrasi total dalam menyatukan pikiran, hati, jiwa dan raga ke dalam tarian yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ikhlas tanpa pamrih.

Sedangkan greged memiliki arti dinamis atau penuh semangat dan tenaga yang membara namun tetap terkendali.

Dan sengguh berasal dari bahasa Sanskerta, meskipun secara harfiah berarti tinggi hati, namun dalam Falsafah Joged Mataram dimaknai sebagai bentuk rasa percaya diri namun tetap dengan kerendahan hati.

Yang terakhir adalah ora mingkuh, yakni bentuk pendirian teguh dan tidak goyah dengan tiga falsafah di atas, serta tidak menghindar dari setiap tanggung jawab yang diterima sebagai bentuk pengabdian total kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dan di ujung malam yang dingin itu, remaja putri (sang penari) itu benar-benar tampak menikmati tariannya. Ia menari dengan begitu gemulai dengan menyibakkan sampur, serta mengayunkan tubuhnya dengan anggun.

Ia seolah lupa sedang berada di atas kendi, karena ia menari dengan  segenap rasa di hatinya, membuat yang menyaksikan tarian ini harus pasrah dan percaya dengan kemampuannya menjaga keseimbangan tubuhnya, tatkala menari dengan gemulai di atas kendi.

Dengan telapak kaki masih di atas kendi, remaja putri (sang penari) itu pun kemudian memutar kendi yang dinaiki searah dengan jarum jam ke delapan arah mata angin seraya memutar payung yang dibawanya. Ia berputar seperti bumi mengitari matahari dan sekaligus seperti  bumi yang berotasi pada porosnya. Begitu indah dan menakjubkan.

Dari tatapan matanya yang misterius namun menenangkan, dari gerakannya yang anggun dan terkendali dengan sempurna, serta paras ayu pancaran dari keindahan hati dan jiwanya, semua itu menunjukkan potret indah representasi dari perempuan Jawa, yang tersirat di dalam tarian yang dibawakannya malam itu.

Seni dan budaya memang tidak serta-merta hadir sebagai tontonan atau hiburan semata. Seni dan budaya itu lahir dari nilai-nilai filosofis yang tinggi dan latar belakang falsafah yang mendalam warisan leluhur, potret dari tuntunan hidup pada masanya, yang di masa kini tentu dapat pula kita jadikan sebagai fondasi untuk berpijak agar kita tidak kehilangan arah di dalam menjalankan kehidupan ini.

Dan bila kita mampu menyibak makna di balik tirai yang menyelimutinya, tentu kita akan dapat melihat dengan jelas profesi seperti apa yang tepat bagi kaum perempuan di masa kini.

Di ujung malam yang dingin, April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun