Matahari pagi terus mendaki langit ketika sepasang kaki saya berjalan mengikuti nasihat dari dalam hati, perlahan-lahan menyusuri jalan setapak menyibak dinginnya tirai kabut sutra Gunung Ungaran yang menyuguhkan indahnya nuansa perpaduan antara alam dan makhluk hidup yang menghuninya, dengan harapan dapat menangkap semua rasa dari setiap pijakan pada tanah suci para leluhur.
Gunung Ungaran berada di desa Candi, kecamatan Bandungan, kabupaten Semarang ini merupakan gunung berapi bertipe stratovolcano (berbentuk kerucut). Di kaki gunung  ini, terdapat sumber air panas yang mengindikasikan adanya aktivitas panas bumi di bawah tanahnya, dan Candi Gedong Songo yang memiliki unsur spiritual, daya cipta tinggi dan estetika yang luhur pun berada di lereng gunung ini, di tengah hutan tropis dengan beragam flora dan fauna yang membentuk lanskap alam begitu indah, disempurnakan dengan keberadaan kawah belerang di antara jajaran candi.
Hamparan hijau dari perkebunan kopi yang berada di area kawasan percandian Gedong Songo pun turut mengisi keajaiban alam di tanah suci para leluhur tatkala sinar cahaya matahari yang cantik pagi itu  menyisakan siluet yang indah di sudut sebuah sanggar kopi yang terletak di area masuk Candi Gedong Songo.
Langit mulai terang, namun sinar mentari masih tak sanggup menghangatkan dinginnya udara pegunungan. Secangkir kopi di sanggar kopi Pak Slamet yang berada di area tersebut rupanya menjadi pilihan yang tepat untuk membantu menyempurnakan perjalanan saya menyibak tirai kabut sutra Gunung Ungaran, selain untuk menghangatkan badan saya menuju suhu tubuh normal.
Kopi memang bukanlah sekedar minuman, ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Rasanya setiap rumah pun memiliki persediaan kopi, apakah untuk diminum sendiri atau disajikan untuk tamu, apakah itu kopi yang diolah secara tradisional sendiri atau kopi kemasan yang didapatkan dari toko atau swalayan.
Tak dapat dipungkiri bahwa di dalam secangkir kopi memang terdapat pahit manisnya kisah irama hidup antara alam, petani kopi, produsen, pelaku pemasaran dan juga penikmatnya. Proses yang panjang pengolahan kopi hingga menjadi minuman yang tersaji di atas meja pun juga memiliki kisah tersendiri.
Kopi luwak liar alam Gunung Ungaran di sanggar kopi Pak Slamet menjadi pilihan pertama saya untuk menikmati segarnya udara pegunungan. Aroma khas dari kopi luwak liar yang menguar pun langsung menggoda saya untuk segera menikmatinya dengan gula aren yang disajikan terpisah. Namun, saya tak mau gegabah begitu saja untuk menikmatinya.Â
Perlahan saya pun menghirup aromanya yang khas seraya duduk lesehan di gazebo dari kayu yang senada dengan warna alam, seolah menyerap energi positif dari seluruh keindahan pesona alam Gunung Ungaran dari kepulan asapnya. Imajinasi saya pun kemudian membawa saya seperti menyaksikan sebuah tarian alam nan indah dari gerakan asap tipisnya yang membubung, meliuk lembut ke atas, diterpa dinginnya semilir angin pegunungan.
Sebenarnya, saya sudah menikmati kopi luwak liar alam Gunung Ungaran dari kebun kopi Pak Slamet sejak delapan tahun yang lalu dengan disangrai dan ditumbuk secara tradisonal, sebelum Pak Slamet membuka sanggar kopi beberapa tahun belakangan ini. Saya memang merasa sangat beruntung, karena setiap musim panen kopi tiba, Pak Slamet selalu membagikan kopi luwaknya untuk keluarga saya dan memberikan kesempatan kami mencicipinya.
Dan perjalanan saya yang mencoba mengungkap misteri di balik cita rasa yang menakjubkan dari secangkir kopi luwak liar ini pun terjadi pada pagi yang dingin di bawah sinar cahaya mentari tahun 2017 ketika sanggar kopi Pak Slamet baru saja dibuka.
Sekilas tentang Kopi Luwak        Â
Enam belas tahun yang lalu saya pernah diajak rekan untuk mencicipi kopi luwak di sebuah kafe di kota Malang. Saya masih ragu waktu itu, mengingat proses fermentasi biji kopinya terjadi di saluran cerna luwak dan keluar dari tubuh luwak bersama kotoran (feaces)nya.
Namun, delapan tahun yang lalu ketika kopi luwak liar dari kebun kopi Pak Slamet hadir di hadapan saya, aromanya yang unik dan khas pun meluruhkan keraguan saya mengenai keamanannya untuk dikonsumsi. Aromanya sungguh sangat menggoda.
Beruntung pada saat yang sama, ada seorang kerabat yang bersedia membantu saya menerjemahkan hasil penelitian dari Bapak Massimo F. Marcone, seorang peneliti makanan dari Universitas Guelph, Guelph, Ontario Canada yang akhirnya mampu menjawab pertanyaan saya mengenai kelayakan dan keamanan kopi luwak untuk dikonsumsi.
Dan hasil penelitian pada tahun 2002 yang dilakukannya pun menyatakan bahwa setelah diperiksa/diuji sifat kimia dan fisika dari kopi luwak, ternyata kopi luwak aman dikonsumsi karena jumlah bakterinya lebih rendah daripada kopi pada umumnya, bisa jadi ini disebabkan oleh proses pencucian yang dilakukan petani kopi. Kulit biji kopi (endocarp) yang membungkus biji kopi pun tidak seluruhnya dapat dicerna hewan luwak, maka endocarp juga harus dihilangkan (dikupas) dalam proses ini.
Diyakini, bau dan rasa yang unik dari kopi luwak berasal dari proses fermentasi biji kopi yang dicerna di dalam lambung hewan luwak. Setelah melalui saluran cerna hewan luwak, ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kopi luwak benar-benar berbeda dengan biji kopi biasa.
Serangkaian tes pada biji kopi luwak Indonesia dibandingkan dengan biji kopi Kolombia dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah setelah melewati saluran cerna hewan luwak, biji kopi luwak menjadi berbeda dengan biji kopi biasa.
Dengan menggunakan alat yang bernama colorimeter untuk mendekteksi warna, ternyata sebelum disangrai biji kopi luwak Indonesia tampak lebih merah dan kekuningan, sedangkan biji kopi Kolombia lebih kehijauan.
Dengan menggunakan mikroskop elektron, didapatkan hasil bahwa permukaan biji kopi luwak lebih halus, dan ini menunjukkan bahwa asam lambung dan enzim yang ada di dalam lambung hewan luwak berperan penting dalam mengelupaskan permukaan biji kopi.
Dengan menggunakan elektroforesis, metode untuk mengetahui jejak protein, perbedaan kandungan protein antara kopi luwak dan biji kopi Kolombia pun dapat diketahui. Dan ternyata kandungan total protein kopi luwak lebih rendah, yang berarti bahwa protein-protein itu sebagian pecah dan larut selama perjalanannya di dalam saluran cerna hewan luwak.
Yang menakjubkan, komposisi protein ternyata memengaruhi rasa dan aroma dari biji-biji kopi, terutama tingkat kepahitan rasa pada kopi. Kenapa kopi luwak tidak terlalu pahit? Inilah jawabannya, karena kopi luwak memiliki sedikit protein.
Kopi Luwak Liar Pak Slamet
Saat panen kopi tiba, warna kemerahan pun menghiasi hamparan hijau kebun kopi arabika organik Pak Slamet yang terletak di area hutan kawasan Candi Gedong Songo, Gunung Ungaran yang berada di ketinggian 1.300-1.800 mdpl di mana hewan luwak hidup bebas dan merdeka di sana. Luwak-luwak liar itu pun sibuk melintas hilir mudik di malam hari turut menikmati buah kopi di kebun kopi Pak Slamet.
Saya memandangnya ini sebagai kombinasi yang harmonis antara petani kopi dan hewan luwak. Sebagai petani kopi, Pak Slamet benar-benar membebaskan hewan luwak itu memakan buah kopi sepuasnya tanpa mengusik kehidupan dan habitatnya. Dan luwak-luwak itu pun kemudian meninggalkan banyak kotoran (feaces) nya, yang setelah diproses dengan sedemikian rupa ternyata menjadi bubuk kopi yang memiliki cita rasa tinggi.
Kopi luwak memang diperoleh dari biji kopi hasil pilihan hewan luwak, yang konon katanya selalu memilih buah kopi yang benar-benar masak dan mengalami proses yang kompleks melalui pencernaannya. Hewan luwak selalu meninggalkan kotorannya di batu atau tanah keras di sepanjang jalan yang dilintasinya. Susungguhnya ini merupakan implikasi ekologis yang penting dari kebiasaan hewan luwak sebagai pemencar biji kopi kualitas terbaik untuk menjaga ekosistem hutan di Gunung Ungaran.
Dan kotoran (feaces) hewan luwak yang ditinggalkan di kebun kopi Pak Slamet inilah yang dipungut oleh petani kopi untuk diolah menjadi bubuk kopi dengan cita rasa tinggi. Tak tanggung-tanggung, Pak Slamet pun memperlakukan kotoran hewan luwak ini dengan sangat istimewa.
Setelah dipungut dari kebun kopi, kotoran itu langsung dicuci sampai bersih dan tidak asal jemur dalam proses panjang pengeringannya, sebelum memasuki proses sangrai. Saya akui proses pengeringan ini memang membutuhkan ketelatenan tersendiri, dan ini ditangani langsung oleh Pak Slamet sendiri.
Layak, bila kopi luwak sangat dihargai, bukan hanya karena rasanya yang lembut dan tidak terlalu pahit, tapi juga karena proses panjang mulai dari awal tanam kopi serta kesadaran petani kopi berbagi hasil panen dengan hewan luwak tanpa mengusik habitatnya dengan tidak menangkarkannya.Â
Belum lagi adanya proses fermentasi biji kopi di tubuh hewan luwak yang kompleks, proses memungut kotorannya dengan telaten dan pencuciannya hingga bersih, juga proses mengolah sampai menyeduhnya menjadi minuman yang memiliki cita rasa yang sungguh istimewa dibandingkan dengan kopi pada umumnya.
Setiap rasa yang muncul dari setiap proses tentu berpengaruh pada hasil akhirnya. Saya pun mencoba menangkap semua rasa dalam setiap proses yang tertuang dalam secangkir kopi luwak liar yang tak ternilai harganya itu. Dan secangkir kopi luwak liar di sanggar Pak Slamet pun akhirnya mewakili selaksa keindahan alam Gunung Ungaran di dalam setiap tegukannya, bahkan sudah saya rasakan pada tegukan yang pertama.
Namun perjalanan saya mencoba mengungkap cita rasa yang menakjubkan dari secangkir kopi luwak liar alam Gunung Ungaran pagi itu, ternyata tetap saja tak mampu membuka tabir kabut sutra Gunung Ungaran yang tetap menyimpan kemisteriusannya dalam menyembunyikan rahasia kenikmatan biji kopi luwak liar alam Jawa yang ada di baliknya, meskipun saya telah meneguk kenikmatan dari kopi yang langka dan mahal ini berulang kali.
Maka, saya pun mencoba menikmati kopi luwak liar alam Gunung Ungaran hari itu dengan rasa syukur sebagai sebuah berkat dariNYA, bukan hanya karena jumlahnya yang terbatas di setiap musim panen kopi. Tapi di setiap produksinya, ternyata selalu saja memiliki rasa yang berbeda meski dengan kenikmatan aroma yang tetap selalu menawan, apakah itu disangrai dan ditumbuk secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan modern.
Tentu saya tak lagi dapat menikmati secangkir kopi luwak liar alam Gunung Ungaran seperti hari itu di masa pandemi sekarang ini. Di @memayu.coffee mungkin saya masih bisa mendapatkan kopi luwak liar olahan sanggar kopinya Pak Slamet. Itu pun bila saya beruntung, kalau tidak, saya harus menunggu musim panen kopi berikutnya.
Bila mendapatkan kesempatan mencicipi, cobalah menikmatinya dengan mulai mendengarkan suara jiwa yang terdalam, kemudian perlahan-lahan menghirup aromanya yang khas dengan membayangkan  keindahan alam Gunung Ungaran serta proses panjang kopi luwak liar itu menjadi minuman yang istimewa.
Untuk menemukan keajaiban-keajaiban rasa di setiap tegukannya, cobalah membiarkan jejak-jejak kenikmatan yang ditinggalkan tetap misterius penuh makna dan langka adanya, sebagai simbol kemewahan dari  cita rasa dalam secangkir kopi luwak liar.
.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H