Mohon tunggu...
Christina Budi Probowati
Christina Budi Probowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis di waktu senggang.

Hidup adalah kesempurnaan rasa syukur pada hari ini, karena esok akan menjadi hari ini....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cita Rasa dari Secangkir Kopi Luwak Liar

13 Desember 2020   20:48 Diperbarui: 14 Desember 2020   04:11 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kopi Luwak Liar Pak Slamet

Saat panen kopi tiba, warna kemerahan pun menghiasi hamparan hijau kebun kopi arabika organik Pak Slamet yang terletak di area hutan kawasan Candi Gedong Songo, Gunung Ungaran yang berada di ketinggian 1.300-1.800 mdpl di mana hewan luwak hidup bebas dan merdeka di sana. Luwak-luwak liar itu pun sibuk melintas hilir mudik di malam hari turut menikmati buah kopi di kebun kopi Pak Slamet.

Saya memandangnya ini sebagai kombinasi yang harmonis antara petani kopi dan hewan luwak. Sebagai petani kopi, Pak Slamet benar-benar membebaskan hewan luwak itu memakan buah kopi sepuasnya tanpa mengusik kehidupan dan habitatnya. Dan luwak-luwak itu pun kemudian meninggalkan banyak kotoran (feaces) nya, yang setelah diproses dengan sedemikian rupa ternyata menjadi bubuk kopi yang memiliki cita rasa tinggi.

Kopi luwak memang diperoleh dari biji kopi hasil pilihan hewan luwak, yang konon katanya selalu memilih buah kopi yang benar-benar masak dan mengalami proses yang kompleks melalui pencernaannya. Hewan luwak selalu meninggalkan kotorannya di batu atau tanah keras di sepanjang jalan yang dilintasinya. Susungguhnya ini merupakan implikasi ekologis yang penting dari kebiasaan hewan luwak sebagai pemencar biji kopi kualitas terbaik untuk menjaga ekosistem hutan di Gunung Ungaran.

Dan kotoran (feaces) hewan luwak yang ditinggalkan di kebun kopi Pak Slamet inilah yang dipungut oleh petani kopi untuk diolah menjadi bubuk kopi dengan cita rasa tinggi. Tak tanggung-tanggung, Pak Slamet pun memperlakukan kotoran hewan luwak ini dengan sangat istimewa.

Setelah dipungut dari kebun kopi, kotoran itu langsung dicuci sampai bersih dan tidak asal jemur dalam proses panjang pengeringannya, sebelum memasuki proses sangrai. Saya akui proses pengeringan ini memang membutuhkan ketelatenan tersendiri, dan ini ditangani langsung oleh Pak Slamet sendiri.

Layak, bila kopi luwak sangat dihargai, bukan hanya karena rasanya yang lembut dan tidak terlalu pahit, tapi juga karena proses panjang mulai dari awal tanam kopi serta kesadaran petani kopi berbagi hasil panen dengan hewan luwak tanpa mengusik habitatnya dengan tidak menangkarkannya. 

Belum lagi adanya proses fermentasi biji kopi di tubuh hewan luwak yang kompleks, proses memungut kotorannya dengan telaten dan pencuciannya hingga bersih, juga proses mengolah sampai menyeduhnya menjadi minuman yang memiliki cita rasa yang sungguh istimewa dibandingkan dengan kopi pada umumnya.

Setiap rasa yang muncul dari setiap proses tentu berpengaruh pada hasil akhirnya. Saya pun mencoba menangkap semua rasa dalam setiap proses yang tertuang dalam secangkir kopi luwak liar yang tak ternilai harganya itu. Dan secangkir kopi luwak liar di sanggar Pak Slamet pun akhirnya mewakili selaksa keindahan alam Gunung Ungaran di dalam setiap tegukannya, bahkan sudah saya rasakan pada tegukan yang pertama.

Namun perjalanan saya mencoba mengungkap cita rasa yang menakjubkan dari secangkir kopi luwak liar alam Gunung Ungaran pagi itu, ternyata tetap saja tak mampu membuka tabir kabut sutra Gunung Ungaran yang tetap menyimpan kemisteriusannya dalam menyembunyikan rahasia kenikmatan biji kopi luwak liar alam Jawa yang ada di baliknya, meskipun saya telah meneguk kenikmatan dari kopi yang langka dan mahal ini berulang kali.

Maka, saya pun mencoba menikmati kopi luwak liar alam Gunung Ungaran hari itu dengan rasa syukur sebagai sebuah berkat dariNYA, bukan hanya karena jumlahnya yang terbatas di setiap musim panen kopi. Tapi di setiap produksinya, ternyata selalu saja memiliki rasa yang berbeda meski dengan kenikmatan aroma yang tetap selalu menawan, apakah itu disangrai dan ditumbuk secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun