Mohon tunggu...
Sketsanol
Sketsanol Mohon Tunggu... Guru - Meraih kebebasan berkarya dan berekspresi tanpa batas.

Sketsanol tercipta dari sketsa-sketsa kehidupan yang diawali titik nol.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kentung

21 Juli 2019   19:05 Diperbarui: 24 Juli 2019   12:07 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia sangat menikmati ikan asin kecil cuma  tinggal 1 ekor sampai kedatangan diriku yang sudah panas hati pun tak dihiraukanya. Akhirnya sapu tua membalas semua rasa kesal dan amarahku pada Kentung. Rasa sakit jelas terlihat dari erangan Kentung sontak berlari kencang menjauh dariku. Kemudian langkahnya terhenti kembali melihatku seolah ingin mencarut marut dalam hati.

"Aku sudah mengantarmu pada orang kaya yang punya banyak makanan, setelah kau dapat dari  mereka kini kau rampas milikku. Dasar hewan sialan! Seharusnya kau berterima kasih padaku bukan menjarah milik tuanmu!"

"Ngeong..."

"Kau tahu betapa sulitnya mendapat pekerjaan lain selain kuli bangunan? Hanya karena tamatan SD. Negeri ini gila ijasah tak butuh praktek yang penting teori. Gajiku cukup untuk makan sehari. Lihat saja pakaian kumal ini tak layak pakai, lihat perabotan rumah hampir ringsek, sandal usang dan sarung yang banyak tembelan.

Aku ingin sekali hidup layak, Tung. Setidaknya hidupku tak lagi ditertawakan orang karena hidup miskin.  Makanan itu sisa makanan semalam untuk ku makan sekarang. Begitu santai kau mengambil dan mempertontonkan dirimu melahap makanan itu tanpa sisa. Sungguh menyesal berbaik hati memikirkan makanan untukmu, ternyata balasan ku dapat seperti ini!."

 "Ngeoooo...ng" sahut Kentung panjang mengimbangi kalimat panjang yang terucap dari bibirku.

"Pergi! Pergilah! Jangan pernah kembali!" kataku dengan nada tinggi membentak, Kentung kaget lalu pergi meninggalkan rumah. Aku terduduk lemas sementara perut berbunyi nyaring minta diisi. Sisa waktu tinggal setengah jam untuk kembali bekerja, tiba-tiba semua seperti berputar  ku biarkan tubuh rebah di lantai dapur.

Terdengar samar-samar suara seorang perempuan memanggil namaku. Suara itu tak asing lagi bagiku. Badanku seakan terguncang oleh sesuatu, semakin lama suara itu semakin kencang. Mataku terbuka dan melihat lurus ke atap rumahku yang kumuh, tampak wajah perempuan paruh baya  melihatku dengan ekspresi aneh. Sontak aku sadar, perempuan paruh baya itu Mbok Ijah. Segera aku bangun dari tidur singkat lalu terduduk dengan wajah tertunduk malu karena tidur di lantai dapur.

"Ada apa, Mbok?" tanyaku pelan sembari mengucek mata.

"Mbok liat pintu rumahmu terbuka jadi mbok dateng, eh..Sugeng tidur di lantai dapur. Trus mbok liat sanginya tergeletak di lantai dan piring itu pecah pasti jatuh dari meja. Mbok mengira makananmu dimakan kucing, jadi mbok dateng nganter makanan, kebetulan di rumah pak Wowo lagi masak rendang jadi mbok bawa kemari"

Sejak orangtua meninggal mbok Ijah adalah wanita yang kerap memperhatikan hidupku. Sering ia menasehati agar bekerja dengan jujur agar Tuhan melimpahkan rejeki banyak. Mbok Ijah adalah perempuan yang ditinggal suami karena meninggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun