By Christie Damayanti
Suasana di Gijduvan Ceramic memang mencerminkan suasana yang syahdu di sebuah kota kecil bersebelahan dengan Bukhara Uzbekistan.
Hujan rintik yang turun membasahi bumi Gijduvan itu, mengantarkan aroma tanah basah alami yang menyegarkan hirupan nafasku, dan sejauh mata memandang aku meluhat bangunan-bangunan tua Gijduvan yang semakin menyentuh hatiku sebagai wisatawan dari Indonesia.
Lingkungan tempat tujuan kami memang benar-benar syahdu karena tidak banyak kegiatan di sana. Hanya beberapa mobil yang lewat dan 1 atau 2 orang saja yang waktu itu sepertinya hanya berjalan lewat saja, karena memang di area itu adalah permukiman tua.
Kami turun dari bus tour kami, aku dibantu oleh Zoyir untuk ke bawah dan kursi rodaku sudah siap menyambutku di bawah setelah aku turun. Dan dari situ, Zoyir membawa kami untuk masuk ke sebuah rumah tua, tanpa aku tahu itu rumah siapa dan mau apa di sana. Yang aku tahu jadwal saat itu adalah masuk ke sebuah pabrik tradisional keramik lalu makan siang disana.
Begitu kami masuk pintu pagar yang merupakan pintu kayu tua yang berat, dan masuk ke area pekarangan rumah dengan beberapa ruang serta berlantaikan tanah basah sehabis hujan.
Pemandangannya syahdu karena benar-benar dari rumah tua ini, dengan beberapa ruangan, dan turun ke bawah sebagai bunker untuk penyimpanan bahan makanan di musim dingin, atau memang untuk berlindung jika terlalu dingin.
Di ujung yang berbeda, ada ruang terbuka dengan ayunan, kursi taman tua dan di ujung yang berbeda lagi, seperti ruang terbuka tanpa atap tetapi ada beberapa pintu, katanya itu untuk kendang keledai yang mereka pakai untuk menggiling tanah liat dan Jerami untuk pembuatan keramik-keramik mereka.