By Christie Damayanti
Istana Gyeongbokgung, diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Istana yang Sangat Diberkati oleh Surga."
Dihancurkan parah oleh pemerintah Jepang pada awal abad ke-20, kompleks istana perlahan-lahan dikembalikan ke bentuk aslinya sebelum dihancurkan. Pada 2009, sekitar 40 persen dari jumlah asli bangunan istana masih berdiri atau sedang dibangun kembali.
Gangnyeongjeon Hall, adalah sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat tidur dan tempat tinggal utama raja.Â
Bangunan berisi kamar tidur raja dan pertama kali dibangun pada tahun 1395, tahun keempat Raja Taejong.
Hancur selama invasi Jepang ke Korea pada tahun 1592, bangunan itu dibangun kembali ketika Gyeongbokgung dibangun kembali pada tahun 1867, tetapi kembali dibakar oleh api besar pada November 1876 dan harus dipulihkan pada tahun 1888 atas perintah Raja Gojong.
Namun, ketika Huijeongdang dari Istana Changdeokgung terbakar habis pada tahun 1917, pemerintah Jepang memotong-motong bangunan tersebut dan menggunakan bahan konstruksinya untuk merestorasi Huijeongdang pada tahun 1920.
Bangunan saat ini dibangun kembali pada tahun 1994, dengan cermat mengembalikan Gangnyeongjeon Hall ke spesifikasi dan desain aslinya.
Gangnyeongjeon Hall terdiri dari empat belas kamar persegi panjang, masing2 tujuh kamar terletak di sisi kiri dan kanan bangunan dengan tata letak keluar seperti papan catur, dan koridor.
Raja menggunakan ruang tengah sementara para pelayan istana menempati ruang samping lainnya untuk melindungi, membantu, dan menerima perintah. Bangunan ini terletak di atas fondasi batu yang tinggi, dan dek batu atau beranda terletak di depan bangunan.
Ciri khas bangunan ini adalah tidak adanya bubungan atap berwarna putih yang disebut yongmaru  dalam bahasa Korea.
Ada banyak teori yang menjelaskan ketidakhadiran itu, salah satunya yang terkenal menyatakan bahwa karena raja dilambangkan sebagai naga selama Dinasti Joseon, yongmaru, yang mengandung huruf naga atau yong, tidak dapat beristirahat di atas raja ketika dia tertidur.
***
Desain arsitektural Isata Gyeongbokgung, sangat unik berdasarkan arsitektural Korea kuno.
Arsitektur Korea kuno dilambangkan dengan kombinasi seni kayu dan batu untuk menciptakan struktur multi-ruangan yang elegan dan luas.
Ditandai dengan atap genteng tanah liat, penutup di dalam dinding pelindung, halaman interior dan taman, dan keseluruhan ditempatkan di atas platform yang ditinggikan, biasanya dari bumi yang dikemas.
Topografi langsung bangunan juga penting karena para arsitek berusaha untuk memadukan desain mereka secara harmonis ke dalam lingkungan alam dan memanfaatkan pemandangan yang indah.
Karya arsitek Korea juga terlihat di dinding benteng dan makam di seluruh semenanjung mulai dari dolmen Zaman Perunggu hingga kandang berkubah besar raja2 Korea kuno.
Arsitektur Korea kuno, paling baik dijelaskan dalam kaitannya dengan tiga periode sejarah Korea yang paling berbeda dalam kerangka waktu kita: periode Tiga Kerajaan dari abad ke-4 hingga ke-7 ketika Silla , Dinasti Goguryeo (Koguryo), dan Baekje (Paekche) memerintah semenanjung.
Kerajaan Silla Bersatu, yang memerintah dari tahun 668 hingga 935 M; dan Dinasti Goryeo (Kory) yang memerintah dari tahun 918 hingga 1392 M.
Namun, sebelum membahas periode ini, Korea Prasejarah memang memberikan beberapa contoh menarik dari arsitektur monumental dalam bentuk makam dolmen.
Nah, ketika Dinasty Joseon Berjaya, desain arsitektural Korea pun terus berkembang. Dengan detail2 atap khas Korea pada Istana Gyeongbokgung, yang unik dan artisik, merupakan turunan dari desain arsitektural Korea kuno.
Material kuno antara kayu dan batu, yang dicat dengan warna2 alam, serta kuda2 atap warna warni, sangat membedakan dengagn arsitektur2 Asia pada umumnya.
Teritisan yang cukup besar (sebagian besar sepanjang 1 meter) untuk menutupi tampiasan air hujan. Walau Korea juga merupakan Negara 4 musim, konsep atap bangunan Asia dengan curah hujan yang rata2 tinggi, memang membuat sejak kuno Korea, sudah terlihat teritisan2 khas Asia.
Istana Gyeongbokgung dengan bangunan2 di dalamnya ini, sdah direstorasi berkali2, yang walaupun memang sangat diusahakan seperti bangunan2 aslinya, tetapi sentuhan modern pun cukup nyata.
Contohnya, warna hijau adalah "warga modern", dan itu selalu ada di kuda2 atap bangunan2 tersebut .....
Itu yang terlihat pada bangunan2 di Istana Gyeongbokgung. Dimana Seoul dan Korea Selatan memang merupakan dataran berbukit2, sehingga memang topografi sangat berpengaruh dalam mendesain.
Seperti misalnya Pavilion Gyeonghoeru, yan akhirnya berdiri sebagian adalah dataran dan sebagian diatas danau dengagn pondasi2 khususnya.
Atau Gangnyeongjeon Hall, dengan tanah yang berbukit, akhirnya mereka mendesai seperti berundak dan berpanggung.
Berbeda dengan bangunan2 panggung di Indonesia, dimana bukan dengan batu, tetapi degan kayu, sehingga undak2annya tidak full seperti ini, melainkan hanya 1 titik saja .....
***
Kamar tidur raja dan keluarganya dalam Gyeongjeongjeon Hall ini, memang tidak seperti kerajaan2 tua di Eropa dalam 1 bangunan yang luar biasa besar.
Sepertinya, itu juga berhubungan dengan luas lahan benua. Dimana benua Eropa relative lebih kecil dengan benua Asia. Sehingga, untuk membangun istana di Korea, jepang bahkan di Indonesia, selalu terapat banak bangunan dalam lingkungagn istana.
Berbeda dengan kerajaan Eropa, dimana lahan Eropa kecil, sehingga kerejaan di Eropa dibangun dalam 1 bangunan besar, bahkan tinggi, untuk tingkat2 ruangan2 yang beraneka.
Tetapi, apapun yang terjadi di jaman itu, Korea memang mempunyai cirri khas yang berbeda .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H