Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Terlantar di Perkotaan dengan Budaya Disabilitas sebagai Awal Perjuangan Mereka

17 Agustus 2021   15:37 Diperbarui: 17 Agustus 2021   15:42 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disabilitas dalam perkotaan, yang "terlantar" dengan fasilitas2 yang tidak ada untuk mereka. | thenationalnews.com

By Christie Damayanti

Meskipun UU disabilitas telah diberlakukan beberapa dekade yang lalu, arsitek masih harus berjuang dengan persyaratan disabilitas, terutama di Indonesia.

[NON] KEPEDULIAN PERKOTAAN

Beberapa arsitek dunia, mengeksplorasi bagaimana kebangkitan kota2 yang didorong oleh kecepatan dan efisiensi telah mengabaikan aksesibilitas, mengabaikan kebutuhan orang2 yang secara fisik tidak dapat hidup atau mengikuti lingkungan padat perkotaan.

Di kota2 kecil di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, mungkin tidak lama warga disana untuk berjalan atau bersepeda ke tempat tujuan mereka, tetapi justru banyak kota2 kecil tersebut tidak melayani disabilitas dan kaum prioritas.

Dengan kota2 kecil yang bisa berjalan kaki, bersepeda bahkan naik becak, justru bagi disabilitas kursi roda (berarti tubuh atau kakinya bermasalah), atau disablitas netra atau lansia dengan tongkat, mereka susah untuk berjalan dan bersepeda.

Karena pedestriannya, tidak berfungsi dengan baik. Tidak hanya terlalu kecil, bahkan tanpa pedestrian, apalagi jalur2 kuning untuk disabilitas netra.

Beberapa kota2 dunia, mengeksplorasi bagaimana perencana kota merancang kota mereka sesuai dengan waktu, dan bukan fungsi atau kebutuhan.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa fasilitas disabilitas, fasilitas di ruang public akan "menghambat" fasilitas2 umum lainnya.

Pemangku jabatan, akan lebih berpikir untuk membangun fasilitas disabilitas, tetapi dianggap "membuang waktu" serta "membuang uang dan tenaga", untuk membangun fasilitas disabilitas, yang hanya beberapa gelintir saja.

Belum lagi, tentang mobilitas kaum disabilitas dan prioritas yang dianggap meepotkan. Harus ada bus atau commuter khusus lah, atau mengkin harus mempunyai orang2 khusus untuk menjaga mereka lah!

Dan, membangun infrastruktur pejalan kaki yang aman dan dapat diakses yang memungkinkan koneksi yang aman untuk transportasi. Kurangnya jalur pedestrian atau sinyal pejalan kaki yang dapat diakses membuat hampir tidak mungkin bagi penyandang disabilitas untuk mencapai tujuan mereka pada waktu yang sama atau efisiensi sebagai warga negara yang berbadan sehat.

Mobilitas perkotaan adalah topik yang diperdebatkan secara luas. Termasuk mobilitas untuk disabilitas dan prioritas.

Di seluruh dunia, kota2 sedang mengembangkan standar desain yang inklusif dan dapat diakses untuk mengakomodasi penyandang disabilitas di ruang publik dengan lebih baik.

Namun, sebagian besar negara telah gagal menjadikan aksesibilitas sebagai kebutuhan, dan menganggapnya sebagai pertimbangan tambahan dari proyek. 

Kita harus memahai budaya dari perspektif manapun tentamg dampak budaya pada kesejahteraan emosional individu, terutama untuk kelompok minoritas sebagai disabilitas.

Ada beberapa penelitian tentang pengembangan identitas, sering prihatin dengan tekanan dan penghargaan dari identitas kelompok minoritas kaum disabilitas.

Fungsi2 urban, perkotaan yang kompleks dunia ini, berusaha untuk mengintegrasikan dengan semua fungsi2 kegiatan itu, salah satunya antara disabilitas ke dalam kehidupan prosesi keagamaan masing2 individu.

Dan, pada umumnya di hampir semua Negara, belum mentrapkan fungsi2 fasilitas disabilitas di kegiatan rumah2 peribadahan perkotaan.

Beberapa "pejuang disabilitas", termasuk aku, untuk membuka wawasan para arsitek untuk lebih memperhatikan desain kami untuk warga yang bermasalah dengan anggota tubuh mereka, seringkali mencoba mempresentasikan secara terbuka tentang pemikiran2 sebuah budaya disabilitas.

Aku sering menggunakan model keluarga dan sahabat, untuk menggambarkan ketergantungan kita yang seperti anak yatim pada budaya orang tua yang arogan dan menolak kemampuan mereka.

Kaum disabilitas sendiri, tetap mempunyai impian2nya untuk bisa meraihnya, dengan apa yang ada. Dengan keterbatasan2 mereka, dengan fasilitas2 disabilitas yang sangat terbatas, kaum disabilitas, tetap berusaha "bergerak maju"

"Budaya disabilitas" itu akan "menyembuhkan" mereka.

Aku sebenarnya, hanya ingin membuka wawasan kita semu tentang bagaimana disabilitas itu sebenarnya mempunyai gejolak serta impin yang sama dengagn warga yang sehat dan normal.

Bahwa, disabilitas, termasuk aku, mempunyai budaya2 khusus untuk bisa menjadi sebuah realitas sebagi start awal untuk meraih impiannya.

FUNGSI BUDAYA DISABILITAS 

Pembentengan 

Definisi dan ekspresi nilai kita sebagai komunitas membebani kita dan memperkaya hidup kita, memberi kita energi dan daya tahan melawan "penindasan".

Unifikasi 

Penyandang disabilitas adalah komunitas heterogen yang mencakup berbagai usia, ras, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, dll. Namun, ekspresi keyakinan dan warisan kita dalam kegiatan budaya menyatukan kita, mendorong saling mendukung.

Komunikasi 

Seni, bahasa, simbol, dan ritual kita yang berkembang membantu kita mengartikulasikan kepada dunia dan memberi isyarat kepada satu sama lain siapa kita sebagai orang yang berbeda.

Rekrutmen

Ekspresi budaya kita adalah konversi positif dan menantang dari marginalisasi sosial kita menjadi perayaan perbedaan kita. Ini mendorong penyandang disabilitas (khususnya penyandang disabilitas baru dan muda) untuk "keluar" sebagai bagian dari masyarakat.

Memungkinkan mereka akhirnya untuk mengintegrasikan disabilitas mereka ke dalam identitas individu mereka dan menawarkan mereka rasa "memiliki" kelompok.

Dengan fungsi2 budaya disabilitas ini, bersama dengan arsitek2 yang sudah mulai peduli dengan berbagai konsep disabilitas, mengkolaborasikan antara budaya disabilitas dengan bagaimana desain universal perkotaan.

Unsur2 budaya disablitas termasuk, tentu saja, penindasan sosial yang sudah berlangsung lama, yang tetap berada di jaman ini, dimana seakan2 pemangku jabatan peduli kepada disabilitas, tetapi hasilnya hanya kepedulian yang basa-basi.

Terutama tentang fasilitas perkotaan untuk isabilitas, banyak yang terlihat ada, tetapi tidak ada. Fasilitas2 perkotaan itu memang ada dan dibangun, tetapi fungsi2nya justru bnyak disabilitas tidak bisa memakainya.

Misalnya, jalur kuning untuk disabilitas netra, yang dipakai oleh fungsi2 yang lainnya.

Budaya disabilitas telah ditenggelamkan oleh kedalaman penindasan dan kekuatan yang telah memisahkan kita satu sama lain, antara disabilitas dan non-disabilitas..

Tetapi setiap kali penyandang disabilitas dapat berkumpul, budaya telah berkembang - di bangsal rumah sakit, di sekolah khusus, di kamp amal, selama aksi duduk, selama lokakarya kreatif, dalam kelompok dukungan sebaya, di koridor hotel konferensi disabilitas , di penjara.

Sekarang, disabilitas terus bertambah.

Bagi yang masih junior, mereka akan meneruskan perjuangan kami, sebagai disabilitas senior. Aku terus berjuang untuk terus meningkatkan fasilitas2 disabilitas di perkotaan Jakarta, khususnya.

Dengan disabilitas2 yang terus bertambah, justru seharunya para pemangku jabatan di seluruh dunia, semakin  menyebarkan rasa kepedulian serta membangun fasilitas2 fungsi disabilitas.

Hak2 disabilitas dan gerakan hidup mandiri telah mempercepat transmisi budaya kita.

Reaksi emosional dan keyakinan kita mengenai issue2 disabilitasdan segala sesuatu yang "istimewa" menjadi universal. Bukan hanya karena pertukaran informasi kita yang lebih banyak, tetapi juga karena transmisi nilai-nilai kita tentang kehidupan penyandang disabilitas.

***

Mungkin "budaya" bukanlah istilah yang tepat untuk sekumpulan elemen yang berasal dari campuran perbedaan yang melekat, perlakuan sosial dan fakta.

Tetapi istilah apa yang lebih baik untuk kumpulan pandangan dan ekspresi umum yang semakin mencirikan penyandang disabilitas di seluruh dunia?

Dalam waktu kurang dari satu decade (minimal selama aku menjadi seorang disabilitas, karena serangan stroke tahun 2010 lalu di San Francisco), "budaya disabilitas" telah menjadi istilah populer di kalangan masyarakat kita baik aktivis atau tidak, tua atau muda, terpelajar atau tidak berpendidikan.

Aku sendiri, terus belajar tentang kehidupan mejadi seorang disabilitas, yang membuataku dan teman2 disabilitas iu unik, tetapi menegaskan kemanusiaan kita bersama.

Aku menolak menyembunyikan perbedaan kita. Tetapi, justru sebaiknya aku mengeksplorasi, mengembangkan dan "merayakan" keunikan kami dan menawarkan inspirasi bagi dunia .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun