By Christie Damayanti
Chichibu? Dimana itu?Â
Kesannya mendengar nama Chichibu adalah "dunia antah berantah, dunia kartu, dunia manga atau animee. Seakan, Chichibu bukan sebuah dunia yang ada di dunia, tetapi dunia anak2 ......
Itulah yang aku byangkan, ketika mba Hani Yamashita, seorang Kompasianer yang menikah dengan seorang Jepang dan tinggal di Jepang. Dan, nama kota tempat tinggalnya adalah Chichibu di Perfecture Saitama.
Aku sangat excited mendengar nama kota itu, apalagi ternyata Chichibu berada di pegunungan dan dikelilingi hutan! Waaaaaaaa ......
Chichibu berada di bagian paling barat Saitama. Tidak seperti bagian lain dari prefektur, sebagian besar pegunungan dan populasi terkonsentrasi di teras sungai di sepanjang Sungai Arakawa. Ini adalah kota Saitama terbesar dalam hal luas permukaan dan berbatasan dengan Tokyo, Yamanashi, Nagano, dan Prefektur Gunma. Sebagian besar kota ini milik Taman Nasional Chichibu-Tama-Kai.Â
Karena wilayah ini tidak cocok untuk menanam padi, banyak orang bergantung pada pertanian serikultur. Batu kapur dari Gunung Buk, yang naik ke selatan pusat kota, merupakan sumber pendapatan utama lainnya untuk wilayah ini. Kota ini mengalihkan fokusnya ke jalan-jalan, mengambil keuntungan dari lingkungan alamnya yang kaya dan kedekatan relatif dengan daerah metropolitan Tokyo. Kota ini juga terkenal dengan industri pembuatan birnya. Wikipedia
Mengapa ngeri?
Pertama, waktu itu adalah waktu2 badai typhoon. Walau secara forecast hari itu tidak ada badai, apalagi di daerah Chichibu, tetapi hari itu adalah di tengah2 badai dalam beberapa hari.
Kedua, naik kereta (bukan kereta peluru) dan bukan dengan Japan Railway (JR), perusahan negara Jepang. Aku harus naik kereta Seibu Ikebukuro Line, sebuah perusahaan kereta swasta yang aku tidak kenal Namanya. Karena belum pernah dan line nya pun aku tidak tahu, rasa ngeri itu tetap merasuk di hatiku.
Pemandangan kesana sangat indah. Pepohonan pinus, hijau royo2. Jalur kereta yang aku naiki sepertinya Cuma satu2nya jalur kereta. Disisinya adalah jalur mobil, dengan jakanan mulus dan sepi.
Aku Cuma membayangkan, jika badai itu dating tiba2 (catatan, forecast itu tetaplah dugaan manusia, dimana alam bias bertibdak anarkis, bukan?), aku bias saja "terlempar" dari bumi ini, karena kereta yang aku naiki bias juga terlempar oleh typhoon besar Krosa yang saat itu sedang melanda Jepang, khususnya di wilayah Kansai.
Lihat tulisanku,Â
"Typhoon Krosa", Awal Keberadaanku di Jepang di Musim Panas 2019
Aku juga membayangkan setelah mengamati lingkungan sekitar itu, hutan hijau itu benar2 hijau dan sepertinya sama sekali tidak ada penghuni manusia. Hutan itu sangat padat dan pekat. Tidak terlihat baguan sama sekali. Mungkin, jika malam tiba, lingkungan itu sangat gelap karena aku tidak melihat kabel2 atau lampu disana .....
Rasa "ngeri" itu semakin pekat merasuk dalam hatiku ketika aku membayangkan kenekatanku pergi kesana sendirian, dimana aku belum pernah kesana, dan di negeri gempa, serta susah berkomunikasi dengan masyrakat local disana.
Bagaimana aku bias bertanya atau meminta pertolongan jika ada yang benar2 aku tidak bisa melakukannya?
Seperti, ketika aku dari Stasiun Tokorozawa pertama ke Stasiun Tokorozawa kedua, yang berjalan cukup jauh dan berkelok2 di jalanan kecil (bukan kota, tetapi pedesaan). Aku bingung harus bertanya kepada siapa.
Masyarakat local disana, sepertinya berbeda dengan masyarakat perkotaan yang selama aku di Jepang, selalu dan cepat sekali membantuku jika aku butuh pertolongan, walau mereka tidak bias berbahasa Inggris.
Tetapi di sekitaran stasiun Tokorozawa Sairama itu, mereka acuh tak acuh, bahkan ketika aku bertanya dengan menunjukkan gambar stasiun tujuanku, mereka justru menghindar! @ orang ibu dan serang bapak, langsung menjauh dari ku ketika aku baru saja bilang,
"Excuse, me ....."
Dan seorang gadis kuliahan cdpat 'berlari' menghindariku, ketika aku mengarah kepadanya .....
Coba itu! Bagaimana aku tidak gamang?
Keretaku terus melaju .....
Sampai ketika sekita 15 menit dari Stasiun Chichibu, suasana menjadi terang benberang! Bedar2 terang benderang, karena kereta itu kekuar dari hujau hutan dengan pepohonan yang pekat dan rapat. Seakan, matahari mulai menyinari kereta ku.
Terang benderang juga benar2 menjadi semangat baru, karena dari hutan itu, tersembul lah kota Chichibu, dan aku berpikir positif karena akan dijembut mba Hani Yamashita .....
Jadi, walau aku sedang dikaki pegunungan di Saitama, di kota bernama Chichibu, saat itu benar2 tidak terasa sejuk2nya sama sekali, dan kelembabannya benar2 tinggu. Bajuku selalu basah oleh keringat selama musim panas 2019 ini di Jepang .....
Sampailah aku di Stasiun Seibu Chichiku. Setelah sekitar 2,5 jam aku menuju kesini. Aku bergerak turun, Bersama dengan penumpang2 lainnya. Dan aku diantar oleh petugas stasiun, dengan 'ramp mobile', dan mengantarku keluar dari stasiun.
Nah .....
Mba Hani Yamashita sudah meneriakkan namaku di luar stasiun, dan aku melambaikan tangaku, sebelum aku membayar tiket kereta ......
"Hai, mba Haniiiiiii ....."Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H