Pemandangan kesana sangat indah. Pepohonan pinus, hijau royo2. Jalur kereta yang aku naiki sepertinya Cuma satu2nya jalur kereta. Disisinya adalah jalur mobil, dengan jakanan mulus dan sepi.
Aku Cuma membayangkan, jika badai itu dating tiba2 (catatan, forecast itu tetaplah dugaan manusia, dimana alam bias bertibdak anarkis, bukan?), aku bias saja "terlempar" dari bumi ini, karena kereta yang aku naiki bias juga terlempar oleh typhoon besar Krosa yang saat itu sedang melanda Jepang, khususnya di wilayah Kansai.
Lihat tulisanku,Â
"Typhoon Krosa", Awal Keberadaanku di Jepang di Musim Panas 2019
Aku juga membayangkan setelah mengamati lingkungan sekitar itu, hutan hijau itu benar2 hijau dan sepertinya sama sekali tidak ada penghuni manusia. Hutan itu sangat padat dan pekat. Tidak terlihat baguan sama sekali. Mungkin, jika malam tiba, lingkungan itu sangat gelap karena aku tidak melihat kabel2 atau lampu disana .....
Rasa "ngeri" itu semakin pekat merasuk dalam hatiku ketika aku membayangkan kenekatanku pergi kesana sendirian, dimana aku belum pernah kesana, dan di negeri gempa, serta susah berkomunikasi dengan masyrakat local disana.
Bagaimana aku bias bertanya atau meminta pertolongan jika ada yang benar2 aku tidak bisa melakukannya?
Seperti, ketika aku dari Stasiun Tokorozawa pertama ke Stasiun Tokorozawa kedua, yang berjalan cukup jauh dan berkelok2 di jalanan kecil (bukan kota, tetapi pedesaan). Aku bingung harus bertanya kepada siapa.
Masyarakat local disana, sepertinya berbeda dengan masyarakat perkotaan yang selama aku di Jepang, selalu dan cepat sekali membantuku jika aku butuh pertolongan, walau mereka tidak bias berbahasa Inggris.